Letjen Purn Kiki Syahnarki: Wujudkan MPR Inklusif, Parpol Harus Inklusif

Discussion MPR RI bertajuk “MPR Sebagai Lembaga Perwakilan Inklusif”, Senin (18/10). 

Jakarta, Bhirawa.
Menurut Ketua Persatuan Purnawirawan TNI AD (PPAD) Letjen TNI (Purn.) Kiki Syahnarki untuk mewujudkan MPR yang inklusif dan berfungsi dengan efektif, harus disertai dengan mewujudkan Partai Politik (Parpol) yang inklusif. Karena, anggota MPR yang terdiri dari anggota DPR plus anggota DPD, sebagian besar berasal dari Parpol.

“Caranya adalah dengan mereformasi Parpol. Yaitu mengembalikan dan memurnikan fungsi-fungsi Parpol. Seperti, fungsi komunikasi politik, sosialisasi politik, aktualisasi dan agregasi kepentingan dst. Hal itu harus dijalankan oleh sebuah Parpol. Khususnya para pemimpin Parpol dengan konsekuen dan konsisten. Tidak malah menjadi kan Parpol sebagai perahu yang diusahakan bagi yang ingin meraih jabatan publik,” papar Kiki Syahnakri dalam Focus Group Discussion MPR RI bertajuk “MPR Sebagai Lembaga Perwakilan Inklusif”, Senin (18/10). 

Nara sumber lainnya, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, staff Ahli Menteri PPN/ Kepala Bappenas bikdang Hubungan Kelembagaan Dr Diana Sadiawati, dan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, Moch. Nurhasim.

Letjen Kiki Syahnakri lebih jauh, dengan reformasi Parpol, seperti itu, maka kader-kader yang akan dihasilkan oleh Parpol untuk ditempatkan di eksekutif maupun legislatif, sudah pasti akan menjadi kader unggulan. Sehingga Parpol bisa memberikan kontribusi positif, demi mewujudkan MPR yang inklusif.

“Kesimpulan ya,  bahwa dalam sistem ketata Negarawan seperti yang berlaku saat ini, tidak mungkin MPR menjadi lembaga permusyawaratan yang inklusif dan efektif. Karena tidak sesuai dengan kriteria yang semestinya,” tambah Kiki Syahnakri.

Dia menyarankan agar kedudukan, peran dan fungsi tugas pokok susunan MPR, dikembalikan seperti yang dikehendaki oleh sistem sendiri. Dengan perbaikan dalam rekrutmen utusan golongan dan utusan daerah.

Dalam rekrutmen utusan daerah, misalnya dari Papua, hendaknya tidak di koptasi lagi oleh eksekutif. Di Papua ada lembaga-lembaga Adat, biarkan lembaga Adat itu yng menentukn sendiri, siapa-siapa yang akan menjadi utusan daerah nya. Masyarakat Dayak, juga seperti itu, sama. Utusan golongan bisa dari asosiasi- asosiasi, biarkan mereka memilih/menunjuk sendiri wakilnya.

“Bila hal itu dirasakan terlalu berat dan menghadapi banyak tantangan, bisa saja dilakukan secara gradual. Misalnya, pemilihan Presiden, kalau masyarakat masih mengingin kan secara langsung, ya monggo saja. tetapi dlam menetapkan PPHN (Pokok Pokok Haluan Negara), harus ada dalam satu paket. Jadi harus menempatkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Dan Presiden serta DPR bertanggung jawab kepada MPR,” papar Kiki Syahnakri.

Staf Ahli Menteri PPN/Kepala Bappenas Dr Diani Sandiawati menyepakati, PPHN akan menjadi perekat bangsa. Kalau dikaitkan dengan amandemen UUD 45, memang tidak dikenal yang namanya PPHN dan utusan golongan. Kalau mau dihidupkan kembali dalam format kelembagaan tertentu, maka tidak dapat dilaksanakan dengan mekanisme penyusunan UU dan tindakan yuridis lainnya.

“Saya melihat disini, bahwa persoalan PPHN dan utusan golongan, sebenarnya apa pada era ekstralegal di MPR. Maksudnya apa, karena sebenarnya pilihan untuk menghidupkan PPHN ini dan utusan golongan, bukan isu yuridis. Tetapi pilihan politik di MPR ini,” papar Dr Diani. (ira).

Tags: