Maduro dan Masa Depan Venezuela

Saprin-ZahidiOleh :
M. Syaprin Zahidi, M.A.
Dosen pada Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang

Ketegangan yang meliputi Venezuela pasca bentrokan antara kubu yang pro dan anti pemerintahan Maduro mulai 4 Februari 2014 bisa dikatakan merupakan tantangan terberat bagi Maduro dalam menjalankan pemerintahannya.
Pemerintahan Venezuela sendiri dalam merespon ketegangan tersebut mengeluarkan kebijakan pengusiran pada para Diplomat AS yang ada di Venezuela pada 25 Februari 2014. Karena, Pemerintahan Venezuela mensinyalir adanya campur tangan AS dalam bentrokan yang terjadi di Venezuela tersebut. Kondisi Venezuela saat ini akhirnya memantik keingintahuan penulis mengenai bagaimana kemungkinan masa depan Venezuela dibawah kendali Maduro yang akan penulis analisis melalui sosok dari Nicolas Maduro.
Terpilihnya Nicolas Maduro pada pemilu 14 April 2013 sebagai Presiden yang menggantikan mendiang Chavez menunjukkan bahwa rakyat Venezuela tidak lupa dengan sosok Chavez.  Chavez yang selama kepemimpinannya bersama dengan dua pemimpin Amerika latin lainnya yaitu Evo Morales di Bolivia, dan Rafael Correa di Ekuador mempromosikan “sosialisme abad 21” menunjukkan kepedulian yang tinggi kepada kesejahteraan rakyatnya terutama rakyat miskin.
Kebijakan-kebijakan domestik Chavez yang pro rakyat miskin dapat dilihat dari kebijakan nasionalisasinya yang sering dilakukan. Beberapa perusahaan asing yang mengelola Sumber Daya Alam (SDA) seperti minyak dan gas bumi mau tidak mau harus rela dinasionalisasi. Kebijakan tersebutlah yang membuat Chavez makin dicintai oleh rakyatnya. Dalam konteks politik luar negeri, Chavez  juga konsisten dengan ideologi sosialisme.
Ideologi sosialisme Chavez ini terlihat dari kebijakannya yang selalu bersebrangan dengan Amerika Serikat yang dia anggap sebagai leader dari kapitalisme global. Cukup banyak sudah bentuk-bentuk kebijakan luar negeri Chavez yang membuat merah telinga para elit Amerika Serikat. Hal yang pasti tidak akan pernah kita lupakan adalah statement Chavez di hadapan Sidang Majelis Umum PBB yang menyebut Bush (mantan presiden AS) sebagai setan.
Kharisma Chavez yang sangat berpengaruh di Venezuela tentunya menjadi suatu beban yang besar bagi penerusnya. Inilah pekerjaan rumah yang harus dihadapi oleh Maduro sebagai penerus Chavez. Apakah Ia mampu untuk meneruskan seluruh kebijakan Chavez yang berlandaskan pada sosialisme abad 21 dan menyamai kharisma Chavez?. Meminjam perspektif dari budayawan Goenawan Mohamad bahwa ada pepatah Cina yang mengatakan “orang besar adalah semacam kutukan bagi bangsanya” bisa jadi menjadi suatu ungkapan yang sesuai untuk menggambarkan kondisi Venezuela saat ini.
Maduro sang “mantan sopir” bus memikul beban yang sangat besar untuk melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan Chavez. Beban berat tersebut sudah mulai terlihat dengan terjadinya destabilisasi di Venezuela setelah terpilihnya Maduro mengalahkan pesaingnya Henrique Capriles sebagai pengganti Chavez pada pemilu 14 April 2013 lalu. Maduro unggul 262.000 suara dari 14,9 juta suara yang sah.
Dewan Pemilu Nasional (CNE) kemudian memutuskan Maduro menang dengan perolehan 50,8 persen suara berbanding 49,0 persen suara untuk Capriles. Tipisnya persentase kemenangan Maduro itulah yang memantik reaksi keras dari pendukung Capriles dan menuduh pemerintah curang dan memaksa diadakannya penghitungan ulang. Bahkan pertikaian antara dua kandidat Presiden tersebut telah menyebabkan tujuh orang tewas dalam bentrokan para pendukung mereka.
Kondisi Venezuela pasca pemilu ini akan menjadi pekerjaan rumah yang cukup berat bagi Maduro setelah Ia dilantik pada Jum’at (19/04/13). Ia harus mampu menstabilkan kondisi politik dalam negeri Venezuela yang bergejolak yang menurut Maduro disebabkan oleh campur tangan Amerika Serikat yang tidak akan mengakui kemenangannya sebelum diadakannya penghitungan suara ulang seperti yang dituntut Capriles.
Harapan besar para pendukung mendiang Chavez saat ini tentunya telah bermuara ditangan Maduro. Pertanyaannya kemudian adalah apakah Ia mampu konsisten dengan melanjutkan seluruh kebijakan mendiang Chavez atau malah akan terjadi kompromi dengan pihak oposisi yang disaat mendiang Chavez hidup tidak banyak bersuara?. Jika menilik latar belakangnya sebagai seseorang yang pernah  menjadi ketua serikat buruh, saat bekerja di sistem metro di Caracas dan selalu berada lingkaran kekuasaan Chavez sejak tahun 1999 serta berandil besar dalam penyusunan konstitusi Venezuela sebelum akhirnya menjabat sebagai Menteri luar negeri maka dapat dipastikan bahwa kebijakan Maduro tetap akan konsiten dengan kebijakan sosialisme yang dianut Chavez.
Modal dukungan bagi Maduro dalam menjalankan kebijakan sosialis tersebut telah Ia dapatkan dari para loyalis mendiang Chavez. Ini bisa dipastikan karena sebelum meninggalnya Chavez sempat berpesan “Pendapatku seterang bulan purnama, tak bisa dibatalkan, mutlak, dan total, kalian semua harus memilih Nicolas Maduro sebagai presiden,” kata Chavez, seperti dimuat CNN (9/12/12) sambil melambaikan kopian UU Venezuela. “Aku meminta dari hatiku yang terdalam. Ia adalah pemimpin muda yang punya kemampuan terbaik untuk melanjutkan, jika aku tak lagi mampu.”
Dalam konteks politik domestik dapat dipastikan bahwa Maduro akan selalu mempertahankan kebijakan Chavez yang pro terhadap kesejahteraan rakyatnya kemudian dalam konteks politik luar negeri kebijakan Chavez yang selalu berlawanan dengan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya bisa jadi akan terus dilanjutkan oleh Maduro. Karena, jika melihat track recordnya ketika menjadi menteri luar negeri kebijakan tersebut kemungkinan besar tetap akan dipertahankan.
Ketika menjabat sebagai Menteri luar negeri Maduro bisa dikatakan sebagai diplomat yang memiliki peran penting ketika ketegangan dengan Amerika Serikat memuncak, membuat Venezuela akhirnya bersahabat erat dengan Kuba. Pada tahun 2011 Maduro juga menentang keras daftar pedagang oabt bius asal Venezuela yang dikeluarkan oleh Department of the Treasury Amerika Serikat yang termasuk didalamnya empat pejabat tinggi Venezuela.
Maduro juga memprotes penahanan dirinya oleh petugas Bandara John F Kennedy New York pada tahun 2006 lalu. Ia menyebut Pemerintah AS “rasis” dan “Nazi”.  AS juga Ia sebut  tak menghargai negara  Amerika Latin. Dosen Ilmu Politik Amherst College, Massachusetts, Javier Corrales menyebut, ada dua kepribadian Maduro. “Di satu sisi ia ada di balik kebijakan luar negeri paling gila dan radikal pemerintahan Chavez. Seperti dukungan ke Libya,” kata dia. “Sebaliknya, ia juga ada di belakang keputusan paling pragmatis dan damai, termasuk soal Kuba.” Sehingga dapat dipastikan bahwa politik luar negeri Venezuela dibawah Maduro akan tetap menjalankan kebijakan yang Vis a Vis (berlawanan) dengan Amerika Serikat.

Rate this article!
Tags: