Mafia Narkoba dan Sikap Tegas Pemerintah

Dian M.Wijayanti, SPdOleh :
Dian M.Wijayanti, SPd
Guru SDN Sampangan 01 Kota Semarang, Tim Asesor EGRA USAID Prioritas Jawa Tengah

Hari Antinarkoba Sedunia diperingati Kamis (26/6) kemarin. Peringatan ini harus menjadi spirit pemerintah memerangi mafia narkoba.
Jaringan Mafia narkoba begitu kuatnya di seluruh dunia. Dapat dikatakan bahwa jaringan mafia ini sudah mengakar dan berurat. Mereka pun memiliki jalur distribusi dan sel-sel sampai ke akar rumput. Hebatnya lagi mereka merupakan lingkaran jaringan antarnegara. Gambar di film-film seakan-akan memberikan peringatan bahwa jaringan narkoba ini begitu rapi, begitu kuat, dan begitu menakutkan. Barangsiapa yang mencoba membongkar atau menghentikan kegiatan mereka, yang didapat adalah nyawa melayang. Mengerikan bukan?
Jika mau jujur, Indonesia sudah dibilang menjadi jalur utama dari jaringan narkoba internasional ini. Meskipun ada juga pemain-pemain lokal yang sebenarnya tidak kalah canggihnya dengan jaringan internasional.
Kasus mafia narkoba mencuat di media dalam dua hari terakhir tatkala Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD yang menyiratkan dugaan keterlibatan mafia narkoba dalam kasus pemberian grasi terpidana narkoba. Ya, beberapa waktu lalu Presiden SBY memberikan grasi kepada sejumlah terpidana narkoba termasuk salah satunya adalah Meirika Franola atau Ola.
Presiden berkelit bahwa pemberian grasi itu sudah mempertimbangkan masukan dari Menkum HAM dan juga penegak hukum lainnya. Tapi jawaban itu seakan menjadi jawaban normatif yang tidak bisa mengobati kekecewaan masyarakat. Apalagi sudah jelas bahaya narkoba bagi generasi penerus bangsa sangat besar sekali. Langkah pemberiaan grasi ini seakan kembali membuat citra SBY babak belur di mata rakyat. Presiden dianggap lalai atau settidaknya kecolongan.
Dasar dugaan Mahfud tidak mengada-ada, mengingat Presiden SBY dikenal begitu teliti dan sangat sulit untuk tidak cermat dalam mengambil keputusan. Disinilah Mahfud melihat dan menduga ada peran mafia narkoba yang begitu kuat masuk dalam ranah pemberian grasi.
Presiden sudah memberikan klarifikasi atas keputusan pemberian grasi ini. Yang sebenarnya pantas juga dicermati adalah kenapa para pembantu presiden atau lembaga penegak hukum juga memberikan rekomendasi agar diberikan grasi. Inilah yang sebenarnya pantas dicermati agar setiap keputusan Presiden bisa memiliki efek positif. Jangan sampai justru Presiden “dikerjain” para pembantunya.
Kasus grasi terpidana narkoba hanya satu kasus yang menunjukkan Presiden tidak mendapatkan informasi dan rekomendasi yang cukup memadai untuk mengambil keputusan. Sehingga tidak jarang keputusan Presiden justru menimbulkan kontroversi yang sebenarnya tidak perlu untuk menjaga citra Presiden.
Sikap SBY
Marilah kita dudukan kontroversi pemberian grasi untuk terpidana narkoba pada aras seperti apa seharusnya sikap terhadap kejahatan luar biasa tersebut. Bukankah dalam wacana kehidupan berbangsa dan bernegara, kita menyepakati narkoba, korupsi, dan terorisme sebagai extraordinary crime? Dari dasar pemahaman mengenai akibat-akibat yang ditimbulkan, maka dibutuhkan sikap, cara pandang, penanganan, dan penegakan hukum dengan sifat yang luar biasa.
Wajarlah pemberian grasi kepada gembong-gembong narkoba internasional menimbulkan reaksi keras, mengingat usaha-usaha keras kita untuk memerangi kejahatan ini. Meirika Franola, Deni Setia Maharwan, Schapelle Leigh Corby, dan Peter Achim Fraz Grobmann; mendapat keringanan hukuman, termasuk vonis mati menjadi seumur hidup. Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menyebutnya sebagai kecerobohan, dan menduga ada mafia grasi di istana kepresidenan.
Dari kacamata framing, pernyataan Mahfud yang menimbulkan polemik dengan Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi itu lebih tepat ditangkap sebagai ikhtiar untuk mendudukkan kembali sikap kita terhadap kejahatan narkoba. Sepatutnyalah tudingan itu direspons dengan langkah yang berbobot mengevaluasi pertimbangan pemberian grasi, lalu menata lagi sikap bersama kita untuk membangun atmosfer kuat penjeraan, agar Indonesia tidak dijadikan surga bisnis narkotika internasional.
Kita membutuhkan progresivitas hukum, karena kerusakan yang ditimbulkan oleh penggunaan narkoba jelas mengancam masa depan generasi penerus negeri ini. Transaksi, distribusi, dan penggunaannya tidak akan mulus membentuk jejaring apabila hukum ditegakkan tanpa intervensi mafia-mafia di seputar kejahatan ini. Bayangkanlah, Meirika Franola alias Ola, yang sudah terhukum tetapi diduga masih bisa mengendalikan bisnis narkoba dari balik penjara.
Masuknya sindikat kejahatan ini melalui pintu-pintu masuk bandar udara di berbagai daerah juga merupakan “pesan” nyaring bahwa celah apa pun akan dimanfaatkan. Selain kegigihan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam memerangi narkoba terutama dengan langkah-langkah preventif, lembaga-lembaga penegak hukum mesti menyuarakan sikap yang sama. Progresivitas dengan hukuman yang bersifat maksimum akan mengontrol jika di salah satu titik proses terdapat kejanggalan.
Sepatutnyalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meneguhkan sikap, dan tidak sekadar menjustifikasi masalah hak asasi manusia yang terwacanakan oleh para aktivis dari negara-negara yang menolak penerapan hukuman mati. Kita menegaskan untuk lebih mempertimbangkan akibat-akibat kerusakan generasi masa depan bangsa yang ditimbulkan. Sekali lagi, sikap terhadap narkoba berada dalam level yang setara dengan perang melawan korupsi dan terorisme.

—————- *** —————-

Tags: