Mahkamah Agung Lantik 10 Ketua Pengadilan Tinggi

Jakarta, Bhirawa
Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali melantik 10 Ketua Pengadilan Tinggi tingkat banding di Gedung Sekretariat MA, Jakarta, Selasa, yang akan menjadi perwakilan lembaga MA di sejumlah provinsi.
“Sebanyak 10 Ketua Pengadilan Tinggi tingkat banding yang saya lantik merupakan contoh insan peradilan terbaik yang selama puluhan tahun menjalani masa bakti sebagai hakim, sudah teruji teknis, manajerial, integritas dan kami anggap layak untuk dibebankan amanat mulia menjadi pimpinan di jajaran pengadilan tingkat banding,” kata Hatta Ali dalam sambutannya di Jakarta, Selasa.
Sebanyak 10 Ketua Pengadilan Tinggi itu antara lain Ketua Pengadilan Tinggi Samarinda I Made Ariwangsa, Ketua Pengadilan Tinggi Pontianak Basuki DS, Ketua Pengadilan Tinggi Tanjung Karang H. Haryanto, Ketua Pengadilan Tinggi Kupang Robinson Tarigan, Ketua Pengadilan Tinggi Padang Anasroel Harun.
Berikutnya, Ketua Pengadilan Tinggi mataram Andriani Nurdin, Ketua Pengadilan Tinggi Gorontalo Sri Sutatiek, Ketua Pengadilan Tinggi Maluku Utara Zaid Umar Bobsaid, Ketua Pengadilan Tinggi Ambon Soedarmadji, serta Ketua Pengadilan Tinggi Agama Abdul Halim Syahran.
Hatta Ali menyampaikan bahwa Pengadilan Tinggi merupakan kawal depan dari Mahkamah Agung. Pada tingkat pengadilan tinggi itu terdapat tugas dan tanggung jawab pengawasan terhadap sistem kerja pengadilan.
Menurut Hatta, MA memberikan mandat kepada seluruh pengadilan tinggi untuk berperan aktif dalam pengawasan dan pembinaan para hakim.
“Dalam pelaksanaannya, di pundak para Ketua Pengadilan Tinggi-lah terdapat amanah dari pimpinan MA untuk menjadi perwakilan dari MA di setiap provinsi,” kata Hatta Ali.
Dia mengingatkan bahwa tantangan pengadilan tinggi akan kian kompleks ke depan, seiring dengan cepatnya arus informasi dan kebebasan media.
Demokratisasi dunia maya melalui media sosial yang di satu sisi merupakan elemen penting demokrasi akan mempengaruhi pengadilan dalam melaksanakan tugas dan fungsi, namun di sisi lain mudah pula dalam menciptakan pembentukan opini, sehingga semakin terbuka ruang partisiapasi masyarakat.
“Kita sudah melihat betapa kuatnya efek berganda dari penyebaran informasi terhadap opini masyarakat. Di era sekarang ini tantangan riil yang dihadapi badan peradilan adalah bagaimana menjaga kemandirian di tengah dinamika ini,” ujar dia.
Dia menuturkan nyatanya demokrasi tersebut membuka peluang atas terjadinya ketimpangan informasi sebagai akibat pembentukan opini yang kurang didasarkan fakta atau informasi menyeluruh.
“Maka badan peradilan indonesia membutuhkan figur-figur yang mampu menghadapi ini dibanding pemimpin yang hanya duduk diam dan tidak peka terhadap informasi. Badan peradilan butuh figur yang mampu memanfaatkan tren ini untuk meningkatkan citra badan peradilan,” kata dia. [@.hbo]