Melacak Akar Korupsi di Indonesia

Saprin-ZahidiOleh :
M. Syaprin Zahidi, MA
Dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang
Korupsi di Indonesia bisa dikatakan sebagai ‘benalu’ dalam pembangunan bangsa ini. sehingga Dalton, penulis buku Indonesian Hand Book yang dilarang beredar di Indonesia menyebutnya sebagai cara hidup masyarakat Indonesia (Darwis, 1999: 57). Dalam survei yang dilakukan oleh lembaga Biro Konsultan Resiko Politik dan Ekonomi (PERC) disebutkan bahwa Indonesia menjadi negara yang paling korup di Asia.
Suatu kondisi yang sangat memprihatinkan tentunya bagi mereka yang peduli pada nasib bangsa ini. Dalam menjalankan surveinya lembaga tersebut menyebarkan kuesioner kepada para investor dan dari hasil tersebut diketahui Singapura berada diurutan pertama untuk negara yang paling bersih dari korupsi selanjutnya diurutan kedua menyusul Jepang dan terakhir Indonesia diurutan paling buncit sebagai negara terkorup (Winarno, 2008: 64).
Kemudian, Pertanyaannya adalah mengapa korupsi seperti sudah menjadi gaya hidup bagi peradaban bangsa ini?. Pertanyaan yang sebenarnya sudah umum namun tetap penting untuk dipertanyakan karena budaya korupsi yang semakin menjadi-jadi di negara ini.
Mentalitas Nrabas
Dalam bahasa jawa nrabas bisa diartikan sebagai mengambil jalan pintas. Maknanya adalah suatu dorongan kepada seseorang untuk menghindari kerja keras, disiplin tinggi dan tanggung jawab. Orang dengan watak ini lebih suka melakukan segala sesuatu dengan jalan pintas serta melanggar peraturan dan etika yang berlaku dimasyarakat. Apabila ingin menjadi kaya orang seperti ini merasa tidak perlu kerja keras yang penting adalah menjadi pejabat atau aparatur pemerintahan dan menggunakan jabatannya untuk mengkorupsi uang negara sehingga budaya nrabas ini akan menghasilkan budaya tidak tahu malu (Sairin, 1999: 37).
Mentalitas nrabas yang menghasilkan budaya tidak tahu malu telah menjadi suatu hal yang lumrah dalam kasus-kasus korupsi di Indonesia contoh-contoh kasus seperti petinggi partai sampai pejabat-pejabat yang bermental nrabas dapat dengan mudah kita lihat seperti Nazaruddin, Angelina Sondakh sampai Ketua umum Demokrat Anas Urbaningrum. Kasus lainnya banyak membuat orang terkaget-kaget adalah Korupsi yang dilakukan oleh  mantan Kakorlantas Polri Irjen Pol Djoko Susilo.
Budaya Patrimonial
Budaya Patrimonial dalam konteks korupsi di Indonesia berkenaan dengan aspek birokrasi yang sudah berakar sangat lama di Indonesia mulai dari era kerajaan di Indonesia. Budaya Patrimonial/Birokrasi Patrimonial bisa dikatakan sebagai warisan dari birokrasi masa lampau di Indonesia dengan dua ciri khusus.
Dua ciri khusus tersebut terdiri dari persepsi bahwa jabatan dalam birokrasi sebagai sumber dari penghasilan tambahan dan kenyataan bahwa raja-raja selalu mengutip sebagian hasil dari perniagaan dan perdagangan melalui kekuasaan yang dimilikinya melalui penarikan pajak dan mengendalikan monopoli atas barang-barang strategis (Santoso, 1993: 57).
Kasus suap impor daging sapi yang dilakukan oleh petinggi PKS Lutfi Hasan bisa menjadi contoh real tentang bagaimana kebutuhan-kebutuhan strategis masyarakat banyak dimonopoli pengelolaannya dengan menggunakan jabatan yang Ia miliki dan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya yang mengindikasikan birokrasi patrimonial belum hilang dari Indonesia.
Dominasi Birokrasi
Dominasi birokrasi dalam konteks ini berkembang di zaman Orde Baru dengan ciri sistem politik yang otoriter dan kuatnya kekuasaan birokrasi. Kondisi ini menyebabkan lembaga-lembagai pengawas pemerintah seperti DPR, LSM, masyarakat dan Pers memiliki posisi tawar yang lemah dan sengaja dilemahkan ketika berhadapan dengan Penguasa.
Dominasi Birokrasi yang ‘otonom’dari pihak luar pada akhirnya akan membuat Individu-individu didalamnya dalam setiap pengambilan keputusan cenderung akan berlaku korup yang implikasinya adalah mengabaikan hajat hidup masyarakat banyak dan fokus pada kepentingan pribadinya. Kasus Pembredelan majalah tempo di era Soeharto yang sering memberitakan korupsi dilingkaran kekuasaan Soeharto bisa menjadi contoh Dominasi dari Birokrasi di era itu.
Faktor Ekonomi
Dalam konteks faktor ekonomi ini memang tidak dapat dilepaskan dari realita Kurangnya insentif bagi para pegawai pemerintahan yang ada di Indonesia (Aditjandra, 2002). Bahkan dalam beberapa kasus ada pegawai pemerintahan yang tidak dapat hidup layak jika hanya mengandalkan gajinya. Akhirnya, kondisi ini akan mendorong pegawai-pegawai tersebut untuk melakukan korupsi dalam pengurusan KTP, SIM dan surat-surat penting lainnya.
Menuju Indonesia Bebas Korupsi
Empat faktor diatas bisa dianggap sebagai faktor dominan yang menyebabkan terjadinya kasus korupsi di Indonesia. Lalu, bagaimana kemungkinan solusi yang paling ideal untuk mengatasai masalah korupsi di Indonesia yang sudah sangat akut?. Solusinya menurut Penulis dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa pendekatan.
Pendekatan-pendekatan tersebut antara lain Pertama, Membentuk Pemerintahan yang kredibel dan berkomitmen untu memberantas korupsi. Kedua, Memelihara Pemerintahan yang demokratis karena sebagaimana dijabarkan oleh Lord Acton bahwa kekuasaan yang tidak demokratis akan cenderung absolut, dan kekuasaan yang absolut akan cenderung korup secara absolut (“Power tends to be corrupt, absolute power corrupts absolutely”).
Ketiga, Mendorong LSM untuk secara aktif terlibat dalam pengawasan korupsi. Keempat, Menciptakan Lembaga pengadilan yang kredibel sehingga reformasi badan peradilan sangat diperlukan. Kelima, Memberikan insentif yang layak bagi para pegawai pemerintahan. Terakhir adalah mendorong kampanye ditengah masyarakat untuk tidak menyuap aparatur pemerintah dan memberikan hukuman yang berat bagi para penyuap.

————- *** ————-

Rate this article!
Tags: