Memahami Fenomena “Obat” Covid-19

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Perkembangan seputar virus corona memasuki babak baru yakni timbulnya berbagai klaster baru seperti klaster pasar, klaster rumah makan, klaster perkantoran, klaster ASN dan lain-lain. Hal lain yang turut mencuat di publik adalah fenomena penemuan yang diklaim oleh seseorang yang bernama Hadi Pranoto. Perbincangan kian viral setelah beredarnya video antara Hadi Pranoto dan Sang Vokalis Grup Band Drive Anji yang memantik reaksi berbagai pihak . Akhir-akhir ini mulai bermuncul klaim-klaim temuan obat anti Covid-19 yang belum memenuhi kaidah-kaidah atau mekanisme pengujian obat secara ketat, termasuk pengobatan alternatif. Hal ini bukan sesuai yang aneh mengingat dalam dunia kesehatan pengobatan alternatif merupakan salah satu realitas dalam spektrum layanan kesehatan pengobatan di tengah masyarakat. Pengobatan alternatif merupakan jenis pengobatan di luar tindakan medis modern. Biasanya pengobatan jenis ini berupa pengobatan tradisional yang tidak memiliki standar baku dan dilakukan berdasarkan praktif kepercayaan secara turun-menurun.

Ada berbagai macam pengobatan jenis alternatif yang banyak dikenal masyarakat, mulai dari akupuntur, pijat, urut, hipnosis, pengobatan herbal, dan lain sebagainya. Sebagian masyarakat Indonesia memilih pengobtan alternatif karena biayanya yang lebih murah. Jika dibandingkan dengan pengobatan medis, pengobatan alternatif cenderung ramah di kantong karena pengobatan jenis ini tidak membutuhkan teknologi yang canggih. Obat-obatan yang perlu dikonsumsi oleh pasien alternatif biasanya memanfaatkan bahan-bahan alami. Tindakan yang dilakukanpun biasanya berupa pijatan, akupuntur, atau hal lain yang terkadang di luar nalar manusia. Meskipun pengobatan alternatif secara biaya lebih murah, pengeluaran yang dikeluarkan tidak dapat diperkirakan dengan mudah seperti pengobatan medis.

Pengobatan jenis ini tidak memiliki standar yang ditetapkan secara umum layaknya pengobatan di rumah sakit. Dengan demikian pemerintah melalui Badan POM harus benar-benar selektif dalam menguji “temuan” obat yang acapkali diklaim sebagai obat yang mujarab. Kondisi tersebut muncul manakala momentum masifnya penyebaran virus corona (Covid-19) yang meluluhlantakan sendi-sendi kehidupan kesehatan, sosial, ekonomi dan aktivitas masyarakat di Indonesia dan seluruh dunia sejak akhir tahun lalu dan awal tahun 2020 yang hingga kini masih dinyatakan sebagai pandemi global Covid-19. Secara psikologis mayarakat bahwa pandemi ini membawa kondisi tatanan sosial ekonomi masyarakat pada titik terendah. Pemerintah melalui berbagai kebijakan telah menggelontorkan hampir 700 trilyun rupiah untuk mengatasi situasi sulit dalam sejarah peradaban manusia.

Klaim Obat

Di dunia kesehatan upaya untuk penanganan penyakit diintervensi melalui berbagai upaya yakni dalam bentuk pencegahan (vaksin), upaya pengobatan (obat) dan upaya pemulihan (terapi). Ibarat tahapan bahwa ketiga metode tersebut digunakan sesuai kondisi seseorang. Idealnya upaya pencegahan lebih dikedepankan sebagai paya termurah, termudah untuk digunakan sebelum terjadi (prevention). Kondisi inilah yang harus didorong terlebih dahulu agar tidak terjadi korban secara luas. Secara karakteristik klaim obat suatu penyakit lebih banyak muncul daripada vaksin sebagai upaya pencegahan. Hal ini sangat wajar mengingat saat ini obat dan vaksin merupakan aset sangat berharga bagi kemanusiaan, produk sexy yang paling dicari untuk keselamatan masyarakat Indonesia dan dunia internasional dari sebaran Covid-19 yang kian masif. Pengobatan adalah upaya penyembuhan sekaligus langkah pemulihan (curative and rehabilitative) suatu kondisi problem kesehatan di sebuah wilayah yang terjangkit.

Namun secara regulasi dan standar setiap obat atau apapun namanya harus dapat dipertanggungjawabkan karena menyangkut urusan dasar publik dan terkait aspek keselamatan dan kesehatan publik secara fundamental. Oleh karena itu implementasi dalam bentuk pengujian secara ketat. Jangan sampai klaim obat atau apapun harus lolos serangkaian uji klinis dan ijin edar sebelum benar-benar digunakan secara luas oleh masyarakat karena menyangkut urusan nyawa manusia sekali lagi. Jangan sampai masyarakat yang sedang panik mencari jalan keluar sehingga memahami sesuatu hal itu tidak dengan secara utuh dan benar. Di era Surge capacity merupakan kemampuan sistem pelayanan kesehatan untuk secara cepat menambah kapasitas melebihi dari kondisi pelayanan normal untuk memenuhi kebutuhan pelayanan medis yang meningkat. Kondisi ini sangat erat dengan upaya akselerasi penemuan dan pengembangan obat atau vaksin Covid-19.

Di sisi lain, Badan POM sesuai fungsinya memberikan otorisasi uji klinik dan inspeksi uji klinik juga melakukan partisipasi aktif mulai dari pengembangan protokol uji klinik. Skema penggunaan obat Covid-19 diantaranya dengan Emergency Use Authorization yakni penggunaan obat “lama” atau obat yang selama ini digunakan dengan indikasi mirip atau disesuaikan dengan penyakit baru. Hal ini terkait penggunaan klorokuin dan hidroksiklorokuin di Indonesia. Dengan kata lain bahwa Emergency Use Authorization untuk bukan obat baru tetapi dengan indikasi baru. Kemudian juga ada produk uji klinik/Investigational New Drug untuk obat yang benar-benar baru misalnya obat atau vaksin yang sedang dikembangkan. Selanjutnya adalah Compassionate Use, untuk penggunaan obat-obat yang sedang dalam pengembangan dan uji klinik, tetapi belum pernah mendapatkan izin edar untuk indikasi apapun dan dalam kondisi emergensi digunakan untuk pengobatan Covid-19.

——— *** ———-

Rate this article!
Tags: