Memaksimalkan Afirmasi Perempuan

Ribut-LupiyantoOleh :
Ribut Lupiyanto
Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration) – Yogyakarta
Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (12/3) memutuskan penguatan perempuan di hasil pemilu. MK memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengutamakan calon legislator (caleg) perempuan jika perolehan suaranya sama dengan caleg laki-laki. Putusan MK ini dipastikan akan menguatkan KPU dalam kebijakan affirmative action. MK mengabulkan gugatan aktivis perempuan dan pemilu terkait Pasal 215 Huruf b Undang-Undang  No. 8 tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Salinan putusan MK dengan nomor pemohon 20/PUU-XI/2013 mengganti kata “mempertimbangkan” menjadi kata “mengutamakan”.
Putusan MK tersebut merupakan kabar gembira bagi kaum perempuan. Momentum ini penting dioptimalkan guna meningkatkan dan menguatkan perjuangan politik caleg perempuan. Upaya maksimal penting dikerahkan guna memaksimalkan afirmasi perempuan di parlemen. Target 30% kursi mesti menjadi motivasi bagi caleg perempuan dalam memenangkan kompetisi elektoral.
Urgensi Afirmasi
Kaum perempuan di Indonesia memiliki potensi sekaligus menghadapi segudang permasalahan. Kementerian Dalam Negeri (2012) melaporkan bahwa  49,13% penduduk Indonesia adalah perempuan. Artinya perempuan adalah pasar politik yang potensial secara gender.
Pemilu 2014 kembali membuka peluang keterwakilan perempuan di legislatif dengan pemberlakukan sistem affirmative action. UU No 8 tahun 2012 Pasal 58 dan 59 serta Peraturan KPU Nomor 07 tahun 2013 Pasal 11 dan 24 menegaskan parpol yang tidak memenuhi kuota 30 persen caleg perempuan di dapil tertentu hingga tenggat masa perbaikan akan dinyatakan tidak memenuhi syarat atau gugur di dapil itu. Pemberlakukan sistem ini bahkan secara teknis diakomodasi dalam nomor urut suara, yaitu setiap 3 calon harus ada minimal 1 caleg perempuan. KPU hingga KPU Kabupaten/Kota layak diapresiasi karena sudah tegas menerapkan aturan kuota caleg perempuan.
Puskapol UI (2012) melaporkan pada Pemilu 2009 dari 69 persen suara pemilih untuk caleg, sejumlah 22,45 persen atau 26 juta suara diberikan untuk caleg perempuan. Potret keterpilihan perempuan adalah 103 kursi di DPR, 321 kursi di DPRD provinsi, serta 1.857 kursi di DPRD kabupaten/ kota. Angka ini masih rendah dari harapan keterpilihan minimal 30 persen. Data Women Research Institute (2010) menunjukkan bahwa sudah ada sekitar 25 negara di dunia yang memiliki keterwakilan perempuan diatas atau sama dengan 30 persen jumlah anggota parlemennya di tingkat pusat. Hal ini mengartikan Indonesia masih tertinggal dalam ketercapaian tindakan afirmatif.
Kondisi keseharian di lapangan juga membuktikan bahwa perempuan masih termasuk dalam golongan rentan. Data Komnas Perempuan menunjukkan telah terjadi 4.336 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan selama tahun 2012. Empat jenis kekerasan yang paling banyak ditangani adalah perkosaan dan pencabulan (1620), percobaan perkosaan (8), pelecehan seksual (118), dan trafiking untuk tujuan seksual (403).
Kaum perempuan merupakan jumlah yang terbesar dalam proses produksi. Perempuan perdesaan mayoritas bekerja sebagai buruh tani dan buruh kebun (69,32%). Ironisnya kaum perempuan mengalami diskriminasi, khususnya dalam pengupahan. Laki-laki memperoleh upah sekitar 40% lebih tinggi dibanding perempuan.
Mayoritas buruh dalam industri perkotaan juga kaum perempuan. Mirisnya mereka ada yang dibayar murah, tidak diberikan hak cuti haid dan melahirkan, dan tidak mendapatkan tunjangan keluarga yang merupakan haknya. Hal ini semakin kompleks dengan pemberlakuan sistem buruh kontrak. Sebagian perempuan perkotaan juga menjadi pembantu rumah tangga. Pekerjaan ini umumnya berupah  di bawah standar, tidak memiliki aturan jelas, dan tidak sedikit berujung kekerasan hingga pelecehan.
Hanna Pitkin (1967) menegaskan bahwa perempuan memiliki posisi strategis sehingga penting  dilakukan tindakan afirmatif.  Perempuan mewakili setengah dari populasi dan punya hak untuk setengah dari kursi (justice argument). Perempuan mempunyai pengalaman yang berbeda dari laki-laki (biologis maupun sosial) yang diwakili (experience argument).  Perempuan dan laki-laki mempunyai pertentangan kepentingan sehingga laki-laki tidak dapat mewakili perempuan (interest group argument).
Politisi perempuan mewakili model peran penting mendorong perempuan lain untuk mengikuti. Inti ide dibelakang kuota gender pemilihan adalah merekrut perempuan ke dalam institusi politik dan memastikan bahwa perempuan tidak terisolasi dalam kehidupan politik.
Pemenangan Caleg Perempuan
Fakta dan konsepsi di atas menuntut tindakan afirmasi mesti paripurna hingga keterpilihan caleg perempuan di Pemilu 2014. Riset Wahyudi (2012) membuktikan bahwa berlakunya sistem suara terbanyak tidak mengurangi peluang caleg perempuan terpilih. Kasus untuk DPRD Jawa Timur bahkan sistem suara terbanyak lebih menguntungkan bagi caleg perempuan berdasarkan hasi Pemilu 2009. Totalitas caleg perempuan dan komitmen partai politik (parpol) menjadi kunci mencapai keterpilihan 30 persen menduduki kursi parlemen.
Pertama, caleg perempuan sendiri optimis, serius, dan tidak minder dalam persaingan. Sistem suara terbanyak memberi peluang sama rata dan nomor urut tidak berpengaruh. Caleg perempuan bahkan memiliki energi ekstra karena pasti didukung penuh suami atau keluarganya.
Kedua, parpol mesti memberikan fasilitas dan bantuan pendanaan istimewa bagi caleg perempuannya. Perempuan tidak bisa dipungkiri memiliki keterbatasan alamiah. Untuk itu parpol diharapkan berkomitmen dengan mendukung kampanye caleg perempuan, misalnya dalam finansial, dukungan tim sukses, pelatihan, dan lainnya.
Ketiga, bagi komunitas ibu-ibu atau perempuan penting menjajaki lebih intensif kepada caleg perempuan. Dukungan spesial kepada caleg perempuan menjadi hal wajar karena menyangkut sentimen emosional serta perjuangan hak perempuan di parlemen.
Keempat, masyarakat umum mesti memberikan kesempatan setara kepada caleg perempuan untuk bersosialisasi hingga kontrak politik. Perspektif budaya tradisional penting dikesampingkan sejenak guna tidak memandang tabu memilih pemimpin dari kalangan ibu-ibu.
Perempuan memiliki tugas kodrati sebagai manajer rumah tangga, tetapi juga memiliki hak berpartisipasi di ruang publik. Jalur politik menjadi salah satu ruang partisipasi yang membutuhkan kehadiran perempuan. Kasus beberapa politisi perempuan yang tersandung korupsi, seperti Wa Ode Nurhayati, Angelina Sondakh, dan lainnya penting dijadikan pelajaran dan tidak boleh membuat traumatik. Keteguhan karakter perempuan yang keibuan mesti ditanamkan kuat dan dirawat hingga kelak berdinamika di parlemen.
Semoga Pemilu 2014 melahirkan keterpilihan perempuan yang memuaskan dari segi kuantitas sekaligus kualitas.

Rate this article!
Tags: