Membaca Dilema Penyelenggaraan Pilkada 2020

Oleh:
M. Ibnu Rizal
Mahasiswa FAI UMM, Pegiat di Peace Literacy Network Malang

Siapa sangka perpolitikan tanah air bisa sekacau ini. Pandemi global virus Covid-19 yang berasal dari kota Wuhan di Tiongkok itu telah meluluhlantakkan demokrasi kita. Virus ganas yang muncul bulan Desember tahun lalu itu telah memaksa memukul mundur pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2020. Penyelenggara pilkada seperti KPU dan Bawaslu terpaksa harus merombak ulang perencanaan tahapan yang sudah ditentukan sejak awal.

Pilkada yang awalnya akan digelar pada 23 September 2020 di 270 daerah tersebut kini terpaksa harus diselenggarakan pada 9 Desember 2020. Ini adalah penundaan pilkada yang ketiga kalinya dalam lintasan sejarah pemilihan kepala daerah di tanah air. Setelah sebelumnya peristiwa serupa juga pernah terjadi pada tahun 2005 di Aceh dan tahun 2006 di kota Yogyakarta. Keduanya terpaksa harus menunda pilkada disebabkan bencana tsunami dan gempa bumi.

Ironinya kini adalah apakah mungkin dalam kondisi seperti ini perhelatan pilkada 2020 akan berjalan aman-aman saja. Meskipun Komisi II DPR RI, Kemendagri, KPU, Bawaslu, dan DKPP telah menyepakati jumlah pemilih maksimal 500 pemilih per-TPS dengan tetap mematuhi protokol kesehatan (03/06). Namun siapa yang dapat menjamin keselamatan pemilih ketika pilkada tetap diadakan di tahun ini.

Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menawarkan tiga opsi penundaan pilkada serentak. Opsi pertama, pilkada ditunda selama 3 bulan (9 Desember 2020). Opsi kedua, pilkada ditunda selama 6 bulan (17 Maret 2021). Opsi ketiga, pilkada ditunda selama 12 bulan (29 September 2021). Akhirnya Pemerintah, DPR dan lembaga penyelenggara pemilu sepakat bahwa pikada 2020 akan digelar pada 9 Desember mendatang.

Alasan kuat pilkada serentak tetap digelar tahun ini menurut Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian lantaran tidak ada jaminan pandemi Covid-19 akan selesai di tahun 2021. Selain itu urgensi pertanggungjawaban kepemimpinan dan keteraturan pergantian kepemimpinan adalah hal yang tak kalah pentingnya. Itulah sebabnya pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tetap harus diselenggarakan di tahun 2020.

Akan tetapi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI secara tegas menolak pelaksanaan pilkada serentak yang digelar 9 Desember mendatang. Komite I DPD RI telah melayangkan surat DPD RI No PU.04/1097/DPDRI/VI/2020 tentang Pernyataan Sikap Penolakan terhadap Penyelenggaraan Pilkada Serentak tahun 2020. Penolakan tersebut cukup beralasan lantaran melihat keselamatan masyarakat di tengah Covid-19. Selain itu juga mengacu pada doktrin yang diterima secara universal, yaitu “salus populi suprema lex esto”, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.

Memori Pilu Pemilu 2019
Catatan hitam memori pilu pemilu 2019 masih terbayang-bayang dalam benak kita. Peristiwa kelam itu telah menyisahkan luka atas tragedi kemanusiaan. Sehingga membuat 3.778 jiwa jatuh sakit hingga merenggut 554 nyawa yang terdiri dari petugas KPPS, pengawas pemilu, dan aparat keamanan. Para pejuang demokrasi yang gugur di medan TPS tersebut tentunya tak boleh luput dari ingatan. Sekali lagi keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.

Bahkan ada trauma yang amat mendalam bagi penyelenggara pemilihan di tataran akar rumput. Hal itu terlihat ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) di sebagian kota/kabupaten merasa kesulitan mencari pendaftar anggota PPS pada tahapan pilkada serentak tahun ini. Sehingga mengharuskan sebagian KPUD di tanah air memperpanjang masa pendaftaran PPS. Terlihat betapa beratnya menjadi penyelenggara pemilihan di tingkat bawah. Dengan honor yang tak seberapa ditambah lagi masih diselimuti rasa trauma.

Memang Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 beda persoalannya. Ketika pemilu 2019, korban yang berjatuhan diakibatkan beban kerja yang amat berat. Akan tetapi pada penyelenggaraan pilkada 2020 ini yang menjadi risikonya adalah dapat berpotensi menjadi sarang penyebaran virus Covid-19.

Tentunya kita semua tidak ingin peristiwa serupa terulang kembali pada perhelatan pilkada tahun ini. Apalagi Indonesia merupakan negara yang masih dikatakan belum sepenuhnya aman dari pandemi Covid-19. Para pemangku kebijakan hendaknya kembali memikirkan secara matang-matang untuk menggelar pilkada dalam situasi darurat seperti ini. Jangan sampai catatan demokrasi kita hanya berisi dengan cucuran darah dan tangisan air mata akibat banyak korban berjatuhan.

Anggaran Membengkak
Dampak siginifikan akibat digelarnya pilkada serentak 9 Desember 2020 mendatang ialah pada pembengkakan anggaran pilkada. Sebelum datangnya Covid-19, anggaran yang dibutuhkan untuk pilkada 2020 di 270 daerah mencapai Rp 14 triliun. Ketika tahapan pilkada dihentikan pada akhir bulan Maret lalu, masih ada Rp 9 triliun yang belum terpakai. Artinya sejak tahapan pilkada berlangsung, Dana yang sudah terpakai mencapai Rp 5 triliun.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengajukan tambahan anggaran pilkada yang berkisar antara Rp 4,5 triliun hingga Rp 5,6 triliun. Anggaran tersebut digunakan untuk melanjutkan tahapan pilkada agar tetap berjalan sesuai protokol kesehatan Covid-19. Dalam rapat dengar pendapat antara KPU dan Bawaslu bersama Komisi II DPR, DKPP, dan Mendagri berkesimpulan bahwa anggaran tersebut disepakati untuk dipenuhi melalui sumber APBN dengan memperhatikan APBD tiap daerah (03/06).

Melihat besarnya anggaran pilkada 9 Desember 2020 mendatang nampaknya ini menjadi masalah baru dalam sengkarut ekonomi kita. Pasalnya sejak Covid-19 melanda tanah air, ekonomi negara perlahan terlihat mulai goyah. Bahkan anggaran untuk pengendalian Covid-19 masih belum sepenuhnya merata di masyarakat. Masalahnya cukup kompleks, mulai dari carut-marutnya data penerima bantuan hingga pengadaan alat pelindung diri (APD) yang terbatas.
Masih ada waktu bagi para pemangku kebijakan untuk sama-sama menimbang dan mengkaji secara serius masalah ini. Kita sadar bahwa keteraturan pergantian kepemimpinan kepala daerah merupakan hal yang penting untuk tetap dilaksanakan. Agar sistem demokrasi kita tetap stabil dan sesuai perencanaan. Ada baiknya jika penyelenggara yang berwenang berpikir ulang agar pilkada tetap berjalan sesuai tahapan dengan jaminan keselamatan tanpa pembengkakkan anggaran.

—————- *** —————–

Tags: