Membangun Budaya Literasi di Era Gawai

Seiring dengan perkembangan teknologi informasi. Gawai menjadi senjata yang kini diandalkan dalam mencari pengetahuan. Bahkan, gawai menjadi idola ditengah-tengah publik. Hingga ungkapan buku jendela dunia nampaknya perlahan bisa dimungkinkan sirnah. Padahal, secara akademis literasi merupakan salah satu kunci kemajuan sebuah bangsa.
Menurut penelitian dari Program of International Student Assessment (PISA) tingkat literasi Indonesia berada pada ranking 62 dari 70 negara yang disurvei (bukan 72 karena 2 negara lainnya yakni Malaysia dan Kazakhstan tak memenuhi kualifikasi penelitian). Pada kategori umum performa dalam sains, membaca, dan matematika ini, negara yang menempati ranking 1 adalah Singapura dengan skor sains 556, membaca 535, dan matematika 564.
Sedangkan, menurut penelitian dari Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 91,47% anak usia sekolah lebih suka menonton televisi ketimbang membaca buku. Realitas tersebut tentu saja mengundang keprihatinan kita bersama, karena Indonesia masih termasuk negara dengan tingkat kemampuan membaca masih sangat rendah sehingga masih perlu kerja keras mengejar ketertinggalan.
Melihat kenyataan yang demikian, pemerintah rupanya tidak tinggal diam. Pemerintah terus merealisasikan program yang ada di sekolah dengan membiasakan anak-anak membaca melalui program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) sesuai implementasi Permendikbud No.23 tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti dan pada perkembangan terbaru, GLS merujuk pada Permendikbud No 20 Tahun 2018. Tentang penguatan pendidikan karakter dalam satuan pendidikan formal. Melalui upaya tersebut sekiranya layak untuk kita berikan apresiasi bersama buat pemerintah. Pasalnya, pemerintah masih tetap bercita-cita memiliki generasi penerus bangsa yang cinta buku dan gemar membaca.
Melalui upaya tersebut, besar harapan generasi negeri ini memiliki keahlian berpikir tinggi dalam menganalisis, mengevaluasi, dan memiliki pemahaman yang baik dalam membaca. Sehingga, pembaca kritis akan mampu membedakan mana informasi yang benar, mana informasi yang hoax.

Asri Kusuma Dewanti
Pengajar FKIP Universitas Muhammadiyah Malang

Tags: