Memberangus Buku, Membunuh Peradaban

Oleh :
Nurudin
Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (MM)

Akhir-akhir ini, masyarakat disibukkan dengan perdebatan pro kontra pemberangusan buku yang dianggap “berbau” komunis. Pemberangusan ini tidak saja hanya melingkar liar di masyarakat, tetapi juga menuntut dan menantang peran aktif negara dalam persoalan itu. Pedebatan yang tidak kunjung usai itu hanya akan menyisakan pesan; kemana kehadiran negara selama ini? Apakah peran negara dibutuhkan dalam masalah tersebut?
Gaya Orde Baru
Pemberangusan pemikiran sebenarnya sejalan dengan sejarah peradaban manusia. Artinya, ada perkembangan pemikiran baru namun ada yang justru melawannya. Buku salah satu bukti perkembangan pemikiran manusia tersebut. Dari sini terjadi perbedaan sudut pandang antara kelompok yang ingin bebas dalam mengkaji ilmu pengetahuan dengan mereka yang terancam dengan kebebasan itu. Mereka yang umumnya ingin bebas adalah masyarakat umum. Tepatnya mereka yang berada berseberangan dengan kepentingan mapan. Sebut saja satu diantaranya adalah peran negara.
Di sisi lain, negara tentu punya kepentingan, misalnya kepentingan “ideologi kemapananya” agar tidak terganggu. Negara tak sedikit berada di pihak yang menentang kebebasan tersebut. Negara yang menerapkan sistem otoriter umumnya menentang kebebasan berpendapat.
Negara Orde Baru (Orba) satu diantara yang mendudukkan diri pada kepentingan politik dalam usahanya melanggengkan kekuasaan. Kekuasaan Orba yang hegemonik, mengumpul dan tanpa kontrol secara efektif membuat berbagai kelompok, gerakan, pemikiran dalam masyarakat akan dicurigai sebagai bentuk pembangkangan. Maka, negara akan sibuk untuk memberantas “perbedaan” yang muncul di masyarakat.
Satu diantara yang harus menjadi korban adalah keberadaan buku-buku yang dianggap berseberangan dengan kepentingan politik pemerintah Orba. Ada banyak pelarangan sampai memenjarakan mereka yang menulis atau hanya mengedarkan buku-buku yang berbeda dari sudut pandang Orba.
Pada tahun 1989, tiga orang aktivis dari Yogyakarta (Bonar Tigor Naipospos, Bambang Isti Nugroho, dan Bambang Subono) ditangkap dan dipenjarakan. Ia diketahui mengedarkan buku-buku Pramoedya Ananta Toer (Pram). Sebagaimana diketahui, Pram adalah penulis yang pernah “dibuang” ke pulau Buru karena aktivitasnya terkait partai komunis.
Ada juga pelarangan buku berjudul Primadosa (penerbit Yayasan Eka Kata Fakta) karya Wimanjaya K. Liotohe pada tahun 1994. Menurut kejaksaan alasan pelarangan buku tersebut karena didorong alasan subjektif penulis terhadap kehidupan nasional melalui sudut pandangnya sendiri yang sangat sempit.
Jika diamati lebih jauh, berbagai pelarangan buku zaman Orba bisa dikelompokkan menjadi beberapa hal; (1) muatan ideologis yang berseberangan dengan negara, (2) alasan penghinaan, dan (3) monopoli tafsir atas sejarah.
Buku-buku yang “berbau komunis” berada di jalur utama pelarangan. Sebagaimana diketahui, pemerintah Orba berdiri karena ingin “menghilangkan” paham komunitas yang pernah melekat pada zaman Orde Lama (Orla). Sementara itu, pemerintah Orba mengklaim ingin menegakkan nilai-nilai Pancasila.
Ada juga pelarangan berdasar alasan menghina kepala negara dan kewibawaan pemerintah. Dalam kaitan ini sering buku-buku sejenis dituduh subversif. Pemikiran yang “berbeda” dengan Orba perlu disingkarkan. Kita bisa ambil contoh soal tafsir Pancasila, tafsir soal kebebasan berpendapat dan bukti-bukti sejarah lain.
Saya pernah meneliti skripsi berjudul “SIUPP dan Kebebasan Pers, Kajian Tentang Pembatalan SIUPP Periode 1986-1994) pada tahun 1996. Dalam kajian itu saya menemukan bahwa semua pembatalan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) itu bermuara karena dianggap mengancam stabilitas nasional, subversif, menghina kepala negara. Sebab lain, adanya keinginan monopoli sejarah pemerintah waktu itu. Berbagai gerakan menolak pembatalan SIUPP akhirnya berurusan dengan aparat keamanan. Kekerasan sering dipakai untuk mengatasi perbedaan itu. Padahal, kebebasan mengutarakan pendapat dijamin undang-undang.
Membunuh Peradaban
Pertanyaannya, bagaimana dengan adanya pelarangan buku-buku yang dianggap “berbau” komunis akhir-akhir ini? Pertama, pelarangan itu sedikit banyak berkaitan dengan ketidakpuasan terhadap pemerintahan terpilih saat ini. Sebagaimana diketahui, kelompok yang kalah selalu menuduh bahwa pemenang itu “disusupi” paham komunis atau akan melegalkan paham komunis.
Meskipun, kita juga tahu, saat terjadi fusi partai pada tahun 1973, dalam Partai Demokrasi Perjuangan (PDI) melebur Partai Komunis Indonesia (PKI). Tentu ada banyak alasan untuk curiga atau kecurigaanya bisa jadi kelewat besar. Waspada memang penting tetapi jika dilakukan dengan kekerasan itu tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah diprotesnya sendiri. Jadi, muatan politis dalam pelarangan buku-buku tersebut sedikit banyak masih ada.
Kedua, seharusnya perlawanan dilakukan dengan sepadan. Jika kekerasan fisik dilakukan, maka sah dilakukan dengan perlawanan fisik. Jika itu berkait dengan pemikiran, lawan dengan pemikiran. Jika buku dianggap membahayakan kelompok tertentu, kelompok tertentu itu perlu melawan dengan buku pula. Ini tentu baru adil.
Bukan pada tempatnya jika pemikiran dilawan dengan “pemberangusan”. Sebab pemberangusan yang bermuara pada kekerasan itu hanya akan memunculkan kekerasan bentuk baru. Bukan tidak mustahil kekerasan akan dibalas dengan kekerasan. Jika sudah begini maka berbagai persoalan di masyarakat tidak akan mudah diselesaikan. Hukum pun hanya akan menjadi “pajangan” sebagai teks tertulis yang diundangkan. Sementara itu dalam pelaksanaannya masyarakat sendiri (atau bahkan negara) yang melanggarnya.
Jika semua berkaitan dengan politik bagaimana caranya merebut kekuasaan. Jika ingin menjadi penentu kebijakan negara, maka meraih kekuasaan dengan cara baik menjadi jalan utamanya. Mengapa zaman Orba seperti itu? Karena Orba berkuasa dan ia bisa berbuat apapun dengan kekuasaannya. Ini juga berlaku pada era pemerintahan setelahnya.
Ketiga, pemberangusan buku itu akan membunuh peradaban. Buku adalah modal utama dalam membangun peradaban manusia. Membuat buku juga tidaklah mudah. Buku adalah bagian kecil cermin peradaban bangsa ini di masa datang, dengan segala plus minusnya dan suka sertadukanya.
Maka, melarang buku itu sama artinya dengan membunuh peradaban di masa datang. Jika tidak suka dengan suatu peradaban yang akan berkembang di masa datang, maka mulailah dengan membuat buku yang “berbeda”. Karena pemikiran tidak akan terbunuh dengan menghilangkan buku secara fisik. Buku dalam wujud non fisik dalam pikiran seseorang tetaplah hidup.

———- *** ———

Rate this article!
Tags: