Meminimalisir Dampak Bencana

Kelud  mengalami erupsi, dengan melepas 120-an juta meter kubik debu vulkanik, dalam sehari. Walau hanya sehari erupsi volume debu vulkanik yang dimuntahkan lebih dahsyat dibanding meletusnya gunung Merapi selama sebulan. Bahkan beberapa kali lebih besar dibanding isi magma yang dimuntahkan gunung Sinabung di Karo. Lebih lagi kekuatan (daya dorong) erupsi bagai roket, sampai setinggi 17 kilometer, atau dua kali lipat dibanding ketinggian terbang pesawat komersial.
Andai persis menerjang rute penerbangan, pastilah bisa menelan lumat pesawat jenis apapun. Sejak abad XV Kelud tercatat meletus 15 kali, sudah ribuan jiwa menjadi korban. Karena itu erupsi Kelud pada hari Kamis (malam Jumat, 13 Pebruari 2014) menyebabkan ditutupnya tujuh bandara di pulau jawa (menyisakan bandara Soetta Cengkareng-Jakarta). Ketujuh bandara ditutup karena landasannya terguyur debu vulkanik, serta udaranya menjadi remang-remang.
Kelud menjadi salahsatu gunung berapi di dunia yang paling diwaspadai, selain Merapi (di Jawa Tengah), Krakatau, dan gunung Papandayan (di Jawa Barat). Krakatau misalnya, ketika meletus pada tahun 1883, ledakannya konon sampai 37 ribu kali bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima pada tahun 1945. Tetapi Kelud pernah memecahkan rekor korban jiwa (sebanyak 10.000 jiwa) ketika meletus pada tahun 1586. Walau setelah meletus, Kelud selalu menjanjikan kesuburan tanah pada areal erupsi. Sehingga daerah Kediri dan Blitar menjadi penyangga pangan.
Namun dengan catatan rekor terdahsyat itu, Kelud mesti diwaspadai, terutama oleh BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Propinsi dan BPBD empat Kabupaten. Syukur, sistem penanganan terhadap dampak bencana saat ini telah cukup memadai.  Sistem ke-tanggap darut-an BPBD pada erupsi Kelud kali ini bisa dianggap sebagai yang terbaik pada tingkat nasional. Tetapi masih diperlukan perbaikan dan inovasi. Yang penting kreasi BPBD mestilah tidak dibatasi oleh kendala ke-briokrasi-an, khususnya dalam hal upaya penyelamatan korban.
Selain itu, BPBD memiliki kewajiban untuk semakin me-masif-kan upaya tanggap darurat melalui pendidikan dan pelatihan secara ter-struktur. Pemahaman terhadap penyelamatan diri menghadapi dampak bencana telah menjadi amanat UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, telah diamanatkan hak dan kewajiban pemerintah. Pada pasal 26 ayat (1) huruf b, dituliskan bahwa setiap orang berhak: “mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.”
Inovasi dan kreasi tim BPBD harus selalu dilakukan, termasuk memasukkan aspek rencana tata ruang wilayah (RTRW). Sebab berdasar mapping bencana, seluruh daerah di Jawa Timur tanpa terkecuali, (di 38 kabupaten dan kota) di Jawa Timur, rawan terhadap bencana banjir. Ancaman peringkat kedua, berupa badai di 31 kabupaten/kota, serta potensi gempa bumi di 23 kabupaten/kota. Lalu bencana susulan berupa tanah longsor mengancaman di 20 kabupaten/kota.  
UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, pasal 9 huruf (b) memberikan kewenangan memasukkan penanggulangan bencana pada perencanaan pembangunan. Karena itu seyogianya dalam penyusunan RPJMD 2014-2019 Jawa Timur, juga memasukkan aspek penanggulangan dampak bencana. RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) merupakan regulasi yang ditetapkan menjadi Peraturan Daerah. Penetapannya tak lama setelah pelantikan Kepala Daerah (baru) yang memenangi Pilkada.
Bencana, sebenarnya lebih banyak disebabkan ke-tidak patut-an daya dukung lingkungan. Juga karena Pemda tidak kukuh menegakkan RTRW. Tetapi yang lebih memperihatinkan adalah memanfaatkan korban bencana untuk kepentingan kelompok politik tertentu (dengan memajang bendera parpol). Banyak parpol lebih dulu mencari wartawan agar bantuan disiarkan atau ditulis di Koran. Padahal bantuannya tak seberapa.
Penderitaan akan lebih terasa menyakitkan manakala bantuan logistik  yang dibutuhkan terhambat urusan birokrasi, atau bahkan dikorupsi oleh LSM atau aparat Pemda.*

Rate this article!