Mempercepat Konektivitas Antarpulau

Wahyu Kuncoro SNOleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa ;
Alumnus Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Surabaya

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam berbagai ksempatan sebenarnya sudah mengingatkan bahwa Indonesia akan menghadapi persoalan serius pada 20, 30, 50 tahun mendatang jika gagal memanfaatkan potensi laut. Karena itu, paradigma pembangunan jangka panjang Indonesia harus diubah menjadi pembangunan berbasis maritim. Sayangnya, meskipun SBY sudah memerintah selama dua periode dan telah didukung porsi APBN maksimum (sepanjang sejarah republik) dan dengan anggaran kelautan yang terus tumbuh, wajah kemiskinan di kampung-kampung nelayan dan pulau-pulau kecil tidak juga berubah.
Sejarah menunjukkan bahwa konsepsi negara kepulauan telah diterima dunia. Dimulai dengan Deklarasi Djuanda yang menjelaskan wawasan Nusantara sebagai konsep kesatuan yang utuh wilayah Indonesia termasuk laut, yang dicetuskan pada 13 Desember 1957. Walaupun pada awal dideklarasikan belum diakui, tetapi setelah melalui perjuangan yang panjang, Deklarasi Djuanda diterima sebagai United Nations Convention On The Law of The Sea (UNCLOS) pada tahun 1982.
Hal lain yang menguatkan bahwa pembangunan harus berorientasi pada laut ditunjukkan dengan luas wilayah negara kita terdiri dari perairan sebanyak 75%, dan daratan hanya 25%. Indonesia memang negara yang unik. Inilah yang harus menjadi titik tolak paradigma membangun negara in. Fakta lain adalah panjang garis pantai Indnoesia mencapai 54 ribu kilometer, sedangkan keliling bumi hanya 40 ribu kilometer. Artinya, Indonesia adalah negara bahari dengan jumlah penduduk di kawasan pesisir yang sayang besar.
Perbincangan soal laut sesungguhnya juga tak bisa lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selain sebagai konsep kesatuan politik, sangat penting bagi kita untuk memandang NKRI sebagai eksatuan ekonomi yang tak terpisahkan. Maka, tantangan kita adalah bagaimana membangun hubungan antar pulau yang sangat erat. Kalau kita menginginkan suatu kesatuan ekonomi, maka hubungan antar pulau harus menjadi prioritas yang utama. Harus diakui, sangatlah mudah untuk mengintegrasikan ekonomi dalam negeri dengan dunia. Bahkan, menghubungkan beberapa wilayah di Indonesia dengan negara lain yang sangat dekat jaraknya bukanlah perkara sulit. Tetapi, tidak mudah mewujudkan Wawasan Nusantara sebagaimana Deklarasi Djuanda dalam aspek kesatuan ekonomi yang utuh.
Prioritas utama harus diberikan kepada konektivitas antara bagian-bagian dari ekonomi kita yang terdiri dari pulau-pulau. Salah satu caranya, pembangunan konektivtas ini bisa dimulai dengan membangun titik-titik pertumbuhan yang tersebar, tidak hanya berkonsentrasi pada satu atau dua titik. Inilah yang menjadi embrio atau benih hubungan konektivitas antar pulau. Setelah titik-titik pertumbuhan tercipta, langkah selanjutnya adalah membangun konektivitas antar titik-titik itu. Akhirnya tercipta negara yang ekonominya menyatu.
Ketimpangan pembangunan antara pulau besar dan kecil maupun pulau terdepan dan pedalaman kian tampak. Kejahatan di laut berupa illegal fishing, illegal logging, illegal mining, human trafficking, hingga perdagangan narkoba melalui jalur laut terus berlanjut. Belakangan investasi asing dimudahkan (ikut) mengelola perairan pesisir dan pulau-pulau kecil melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 saat perjanjian batas perairan dengan 10 negara tetangga belum sepenuhnya tuntas.
Perubahan paradigma yang disebutkan Presiden SBY terbukti lebih dilatari kesadaran ekonomi (jangka pendek) yakni menipisnya sumber daya alam di darat dan tanpa mempertimbangkan kepentingan lebih besar: laut sebagai ruang juang dan ruang hidup bangsa. Sebagai ruang juang, Indonesia berbatasan langsung dengan 10 negara di laut dan hanya dua negara di darat. Jika tidak awas dan terus diperjuangkan, keterhubungan perairan Indonesia dengan laut dunia (convoyer belt) dapat menjadi ancaman serius bagi masuknya pengaruh asing seperti barang, jasa, modal, ideologi, penyakit, hingga kriminalitas yang mengancam keamanan dan kedaulatan bangsa Indonesia.
Makna Konektivitas
Laut juga bukanlah lumbung ekonomi (ekstraktif) baru yang selalu siap menggantikan kebangkrutan sumber daya alam di darat. Karena itu, momentum Pemilu 2014 ini harus menghasilkan perubahan. Utamanya perubahan akan paradigma pembangunan yang lebih bervisi lautan. Artinya, untuk menjadikan lautan menjadi lumbung ekonomi butuh kebijakan-kebijakan pembangunan yang memihak kepentingan pengembangan laut.
Di sektor hulu, kita berharap  pemerintahan ke depan perlu memasukkan aspek kelautan, termasuk kekayaan budaya dan pengetahuan bahari bangsa ke tiap jenjang pendidikan. Jika saat ini hanya 20% dari seluruh sekolah kejuruan di Indonesia yang membidangi kelautan, ke depan perlu ditingkatkan menjadi 50%.
Dalam jangka panjang, strategi ini dapat menghasilkan generasi Indonesia dengan mental dan adab kelautan yang kuat. Sedangkan jangka pendek akan merombak struktur tenaga kerja kelautan dari sebelumnya tidak terlatih (unskill labour) ke berdaya saing tinggi (skill labour). Ingat, belum tergalinya secara  maksimal potensi sumber daya laut di tanah air salah satunya adalah karena  faktor tingkat pendidikan masyarakat nelayan yang masih rendah. Kemiskinan dan pendidikan menjadi mata rantai yang tak terpisahkan. Dengan demikian, membiarkan masyarakat nelayan tidak terdidik, sama artinya dengan membiarkan mereka terus menerus bergulat dengan kemiskinan.
Mengingat masih lemahnya SDM masyarakat yang hidup di pesisir, maka   tugas pemerintah adalah memberi perhatian ekstra bagi pembangunan di kawasan kampung nelayan, khususnya pembangunan pendidikan sehingga dapat mengangkat harkat dan martabat, terutama kaum nelayan yang secara turun-temurun masih hidup dalam garis kemiskinan masyarakat pesisir.
Data termutakhir dari Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa sebanyak 99,5% dari total armada perikanan nasional Indonesia beroperasi di perairan kepulauan atau berjarak kurang dari 12 mil dari garis pantai. Selain untuk mengoptimalkan produksi pangan perikanan, baik di perairan kepulauan maupun ZEEI strategi ini sekaligus dapat mempersempit masuknya kapal- kapal ilegal ke perairan Indonesia. Reformasi sektor keuangan pun menjadi mutlak guna mendukung pembangunan hulu-hilir kelautan.
Sementara di sektor hilir, pemerintah dapat memperkuat konektivitas antarpulau dengan armada dagang dan transportasi handal guna mendukung hilirisasi industri nasional dan mendistribusikan layanan kesejahteraan ke pulau-pulau kecil di timur Indonesia.
Sebagai gambaran, sejak Orde Baru hingga penghujung pemerintahan Presiden SBY, hampir 80 pelabuhan perikanan berada di kawasan barat Indonesia. Minimnya pelabuhan perikanan di timur Indonesia telah menyulitkan bangkitnya industri pengolahan ikan nasional. Terakhir, di tengah cuaca ekstrem dan arus liberalisasi yang semakin kuat, pemerintah perlu memfasilitasi secara rutin informasi cuaca, lokasi penangkapan ikan, dan harga ikan kepada nelayan dan penambak.
Membangun  ekonomi berbasis kelautan sejatinya tidaklah semata hanya untuk menyatukan ekonomi nasional, tetapi juga harus dapat memberi wadah untuk mengentaskan kemiskinan. Kantong-kantong kemiskinan tidak hanya di daratan, banyak sekali komunitas-komunitas nelayan yang tersebar di seluruh tanah air ini yang masih miskin. Untuk itulah konektivitas juga harus mengaitkan komunitas-komunitas nelayan yang tersebar di seluruh Nusantara dengan proses pembangunan sehingga dapat mengentaskan kemiskinan. (habis)

Rate this article!
Tags: