Memperkuat Kelembagaan Inspektorat Daerah

Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi Hukum FISIP Universitas Wijaya Ksuma Surabaya

Saat ini, pemerintah provinsi bersama DPRD Jawa Timur sedang membahas Rancangan Perda Perubahan Ketiga Atas Perda Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah. Salah satu hal penting dalam Raperda perubahan ketiga tersebut adalah ikhtiar dari pemerintah pusat untuk memperkuat lembaga pengawas internal daerah atau inspektorat daerah. Ikhtiar ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah dengan substansi (salah satunya) perubahan kelembagaan Inspektorat.

Berdaaarkan Ketentuan Pasal 11 ayat (5) Peraturan Pemerintah 72 Tahun 2019 memberikan penambahan kewenangan fungsi dari Inspektorat daerah yakni pelaksanaan koordinasi pencegahan tindak pidana korupsi dan pengawasan pelaksanaan program reformasi birokrasi, serta ketentuan Pasal 11A memberikan kewenangan pada Inspektorat Provinsi untuk melaksanakan pengawasan penyelenggaraan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagai salah satu pelaksanaan tugas Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam rangka pembinaan dan pengawasan Pemerintahan Kabupaten/Kota.

Memperkuat Kelembagaan Inspektorat Daerah
Berdasarkan data Kemendagri, dari tahun 2004-2017 terdapat 392 kepala daerah yang tersangkut kasus hukum. Dari jumlah itu, 313 kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Angka ini akan terus meningkat menyusul hasil tangkapan baru dari KPK dalam satu tahun terakhir. Dengan kata lain, aktor utama pelaku korupsi di daerah, yaitu para elit daerah yang memegang kekuasaan, baik itu di lembaga birokrasi pemerintahan daerah maupun DPRD. Terakhir adalah Walikota Meda Dzulmi Eldin yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK, karena kasus jual beli jabatan. Dalam daftar KPK, Eldin (kepala daerah) ini menjadi pasien KPK yang ke 120. Sejak penerapan otonomi daerah, sekitar 70 persen dari total kepala dan wakil kepala daerah diseret ke meja hijau. Anehnya, data statistik itu tidak membuat efek jera pejabat-pejabat lain.

Sementara itu, berdasarkan catatan KPK, tindak pidana korupsi berdasarkan instansi (2004-2019), di antaranya DPR dan DPRD sebanyak 70 kasus korupsi, Kementrian/lembaga sebanyak 347 kasus, BUMN/BUMD sebanyak 61 kasus, komisi sebagai 20 kasus, pemerintah provinsi sebanyak 128 kasus, dan Pemkab/Pemkot sebanyak 324 kasus korupsi. Sementara itu, selama 2004-2019. Dari data ini, terlihat bahwa lembaga eksekutif yang paling banyak terkena kasus korupsi, diikuti legslatif, dan yudikatif. Sementara itu, berdasarkan profesi/ jabatan, dalam catatan KPK kembali jabatan eksekutif menjadi juaranya, yakni sebanyak 369 pejabat, legislatif 255 pejabat, dan yudikatif sebanyak 52 pejabat. Mengapa pajabat dan lembaga eksekutif yang paling banyak terkena kasus korupsi? Ini tak lepas dari dua hal, yakni besarnya kekuasaan politik anggaran yang dimiliki dan juga uang rakyat (baca: APBD) hampir 90% dikelola oleh pihak eksekutif. Karena itu wajar jika data KPK menunjukkan pejabat dan instansi yang paling banyak terkena kasus korypsi adalah pejabat dan lembaga eksekutif. Kondisi ini diperparah lagi ketika fungsi pengawsan DPRD juga tidak optimal, bahkan bagian dari masalah (baca: korupsi).

Atas data dan fakta di atas, penguatan kelembagaan inspektorat daerah (baca: pengawas internal) menjadi keniscayaan dan kebutuhan daerah dalam membangun birokrasi daerah bersih dan bebas KKN, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Setidaknya dengan penguatan kelembagan inspektorat dalam bentuk penambahan kewenangan fungsi tersebut dapat menekan praktek-praktek moral hazard dan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). .
Secara spesifik, Raperda perubahan ketiga ini khusus terkait dengan perubahan struktur kelembagaan Organsiasi Perangkat Daerah (OPD) yang terdapat dalam Perda No. 11 tahun 2016 tentang Pembentukan Dan Susunan Perangkat Daerah Provisi Jawa Timur, yakni struktur kelembagaan inspektorat. Perubahan ketiga tersebt dilakukan untuk menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah. Dengan ketentuan ini memberi konsekwensi pada perubahan struktur kelembagaan OPD Inspektorat daerah Provinsi Jawa Timur. Setidaknya ada tiga kewenangan baru yang akan dimiliki inspektorat daerah, yakni melaksanakan koordinasi dalam pencegahan tindak pidana korupsi, melaksanakan pengawasan pelaksanaan program reformasi birokrasi di lingkungan Pemerintah Provinsi, dan melaksanakan pengawasan penyelenggaraan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur.

Kendala Struktural dan Kultural
Berbagai kasus tindak pidana korupsi yang terjadi di lingkungan birokrasi pemerintah daerah, baik provinsi maupun kab/kota di Indonesia, salah satunya tak lepas dari lemahnya fungsi pengawasan (internal) yang dijalankan Inspektorat daerah. Inspektorat daerah dinilai tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Baik fungsi pencegahan maupun penindakan tidak berjalan dengan baik dan optimal. Ketidakefektifan Inspektorat Daerah ini cukup beralasan karena memang secara struktural posisi Inspektorat daerah itu sendiri adalah bagian dari pemerintah atau eksekutif. Bahkan dia adalah bawahannya kepala daerah (gubernur, bupati/walikota). Dalam konteks ini, akan ada kendala serius ketika fungsi pengawasan internal akan dijalankan, apalagi yang akan diawasi adalah atasannya atau koleganya sendiri yang setara. Dalam kondisi demikian, Inspektorat daerah dipastikan akan merasa ewuh pakewuh atau segan dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya sebagai lembaga pengawas. Kendala-kendala struktural dan kultural inilah yang harus dihilangkan sehingga inspektorat daerah dapat bekerja secara profesional dan proporsional.

Penambahan kewenangan fungsi pengawasan di tubuh Inspektorat menjadi sangat penting. Selain akan membantu dalam meningkatkan profesionalitas dan produktivitas kerja pengawasan internal, juga dapat mencegah munculnya moral hazard atau tindak pidana korupsi di lingkungan birokrasi Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Kewenangan fungsi baru ini diharapkan dapat dijadikan sebagai early warning system yang efektif. Dengan adanya penambahan organ dan kewenangan inspektorat dalam fungsi pengawasan melekat, khususnya pada aspek pencegahan tindak pidana korupsi dan pengawasan pelaksanaan program reformasi birokrasi, dan pengawasan penyelenggaraan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota diharapkan mampu membangun ekosistem birokrasi yang lebih transparan dan akuntabel, memperbaiki dan memperkokoh zona integritas di lingkungan birokrasi pemerintah provinsi dan kab/kota.
Satu persoalan penting yang harus dijawab oleh gubernur terkait dengan penambahan kewenangan fungsi inspektorat ini adalah, bagaimana memastikan penambahan fungsi baru dan fungsi-fungsi yang sudah ada (lama) dari inspektorat ini dapat berjalan dengan baik? Bagaimana komitmen dan kebijakan dari gubernur untuk memastikan kelembagaan Inspektorat daerah berjalan dengan baik dan produktif? Dan bagaimana pemerintah provinsi mereduksi kendala-kendala yang sifatnya struktural dan kultural yang mungkin dihadapi oleh inspektorat daerah dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai lembaga pengawas internal di lingungan birokrasi pemerintah Provinsi Jawa Timur?

—————- *** ——————

Tags: