Menabuh Genderang Pilkada Daring

Oleh :
Sholahuddin Al-Fatih
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Pemilu di Indonesia selalu menarik untuk disimak. Terlepas dari tarik ulur kepentingan dalam pembuatan regulasi mengenai Pemilu, setiap periodeisasi Pemilu pasti menyajikan pro dan kontra yang luar biasa. Begitu pula yang bisa kita lihat dalam Pemilukada atau Pilkada di Tahun 2020 ini. Tahun ini digelar 270 Pilkada yang terdiri dari 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota. Melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2020 Pasal 201 A ayat (2), disebutkan bahwa Pilkada serentak diselenggarakan pada bulan Desember mendatang. Hal ini sekaligus menjadi jawaban dan memberikan kepastian hukum bagi penyelenggara, calon maupun masyarakat, yang sempat meragukan kelanjutan Pilkada yang awalnya terjadwal diselenggarakan pada bulan September.

Kepastian hukum terkait jadwal pelaksanaa Pilkada serentak tahun 2020 juga semakin dikuatkan dengan beberapa peraturan serta dokumen terkait. Sebut saja adanya surat dari Ketua Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Nomor B-196/KAGUGAS/PD.01.02/05/2020 kepada Ketua KPU tertanggal 27 Mei 2020.

Surat tersebut memberikan amanah agar tahapan Pilkada kembali dilanjutkan asalkan tetap memenuhi protokol kesehatan. Selain itu, terdapat fakta bahwa pemerintah pusat telah mencairkan sekitar 50-80% NPHD kepada penyelenggara Pilkada di daerah. Artinya, dana untuk penyelenggaraan Pilkada sudah didistribusikan, sehingga apabila Pilkada ditunda, rawan menimbulkan dampak yang justru lebih berbahaya. Lebih dari itu, tidak ada satupun ilmuwan atau pusat data yang bisa menjamin kapan berakhirnya pandemi Covid-19 ini, baik secara global maupun nasional.

Alasan logis tersebut kemudian, perlu didukung dengan upaya penyelenggaraan Pilkada yang aman dan nyaman di tengah bencana non-alam, Covid-19 ini. Sebab, kita juga tidak bisa menutup mata dari fakta dan realita, bahwa jumlah transmisi Covid-19 masih belum turun tiap harinya.

Oleh karena itu, sangat wajar jika KPU menerbitkan Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2020, dimana dalam Pasal 8C disebutkan bahwa penyelenggaraan Pilkada harus memperhatikan protokol kesehatan yang ketat. Hal ini semata dilakukan untuk mencegah penyebaran Covid-19 sembari berharap agar tahapan Pilkada bukan menjadi episentrum baru penyebaran Covid-19.

Merespon hal tersebut, ide yang paling masuk akal untuk diwujudkan adalah melalui upaya Pilkada dalam jaringan atau daring. Secara teknis, Pilkada daring memang belum digagas hingga saat ini, baik oleh pemerintah ataupun LSM pemerhati Pemilu. Begitu pula dengan regulasi atau norma hukumnya. Tidak ada satupun undang-undang maupun peraturan yang diterbitkan untuk menggelar Pilkada daring. Sehingga, saya mencoba mengusulkan teknis penyelenggaraan Pilkada daring tersebut melalui tulisan ini.

Pertama, petugas Pilkada yang telah terbentuk diharapkan bisa menerapkan coklit dan pemutakhiran data dengan menggandeng BPS. Beberapa bulan yang lalu, BPS mengadakan survey jumlah penduduk secara online dengan menyediakan call center melalui aplikasi Whatsapp. Cara seperti ini, sepertinya bisa diadopsi oleh KPU untuk melakukan coklit dan pemutakhiran data. Tidak perlu ke rumah-rumah penduduk, yang tentunya akan membutuhkan cukup banyak dana dan tenaga. Kecuali, jika ada hal yang penting dan mendesak. Kolaborasi ini juga bisa mendukung program satu data milik pemerintah.

Kedua, DPT yang telah tersusun tersebut kemudian diinfokan secara terbuka. Keterbukaan informasi menjadi kunci. Para calon Kepala Daerah, nantinya juga bisa mengakses DPT tersebut untuk kebutuhan kampanye. Kampanye dilakukan secara virtual pula. Tidak boleh ada kerumunan masa, seperti konser, kegiatan keagamaan dan sejenisnya. Gerakan #KampanyeDariRumahAja semoga kelak menjadi trending. Alatnya banyak, mau live streaming bisa melalui channel Youtube atau Tik Tok dan Instagram jika mau menyasar generasi milenial. Mau rapat dan dengar pendapat konstituen, bisa melalui aplikasi Zoom atau, Google Meet.

Ketiga, tahapan inti Pilkada yaitu pencoblosan. Untuk menghindari berkerumunnya massa dan pemilih ke lokasi TPS, penyelenggara harus berani berinovasi dengan memperkenalkan model pemilihan secara online atau e-vote. Pemilih cukup mengakses gadget mereka, membuka portal pemilihan yang sudah disediakan, misalnya SI-PILIH (Sistem Informasi Pemilihan Umum). Cara masuknya menggunakan NIK dan random password yang dikrimkan saat proses coklit dan perekaman DPT. Penyelenggara Pilkada tidak perlu direpotkan dengan urusan Dapil atau warna surat suara, sebab dalam Pilkada hanya ada paslon cakada dan wacakada. Artinya, model pemilihan online yang dibuat tentu lebih simpel daripada pemilu legislatif.

Sistem e-vote, sejatinya telah diaplikasikan dalam Pemilihan Umum Mahasiswa di beberapa kampus, seperti di Universitas Brawijaya, Universitas Negeri Malang dan sebagainya. Sehingga, jika penyelenggara pemilu merasa keberatan dengan sistem tersebut, mereka bisa melakukan studi banding ke kampus-kampus di atas. Dengan e-vote, tabulasi atau rekapitulasi hasil juga akan semakin cepat. Bahkan jika belajar dari penyelenggara pemilu mahasiswa di kampus-kampus tersebut diatas, rekap hasil bisa dilihat di hari yang sama dengan hari pemilihan. Tentu, kondisi ini juga dipengaruhi oleh jumlah DPT maupun partisipasi pemilih. Pada Pemilu Serentak tahun 2019, KPU telah memperkenalkan SITUNG yang implementasinya bisa dibagikan kepada penyelenggara pemilu di daerah.

Keempat, berkaitan dengan sengketa pilkada, perlu pula memperkenalkan e-court atau persidangan daring. Secara umum, Mahkamah Agung telah memberikan regulasi melalui Perma Nomor 1 Tahun 2019 tentang persidangan daring.

Konsep ini kemudian bisa ikut diaplikasikan oleh Mahkamah Konstitusi dalam menangani perkara sengketa Pilkada. Jika sengketa sudah berhasil diselesaikan, maka penetapan dan pelantikan paslon terpilih juga diharapkan dilaksanakan secara daring. Pilkada daring memang saat ini baru menjadi sebuah konsep. Tantangannya, tentu kemauan dan keamanan. Alih fungsi teknologi menjadi hal utama dalam upaya perwujudan Pilkada daring ini. Semoga, konsep ini dibaca, terutama oleh penyelenggara Pilkada. Jika nanti gagasan terkait Pilkada daring bisa diterima, dibutuhkan norma hukum, baik berupa Perppu, undang-undang maupun peraturan teknis lainnya. Semoga kita bisa melalui Pilkada serentak tahun ini dengan aman dan nyaman.

————- *** —————

Rate this article!
Tags: