Menanti Angin Segar Perubahan dari Kantor DPR

Oleh :
Ahmad Fatoni
Dosen PBA Fakultas Agama Islam UMM

Wakil rakyat seharusnya merakyat
Jangan tidur waktu sidang soal rakyat
Wakil rakyat bukan paduan suara
Hanya tahu nyanyian lagu setuju…..
(Iwan Fals)

CUPLIKAN lagu “Wakil Rakyat” dari Iwan Fals di atas tampaknya perlu didengar kembali oleh para wakil rakyat periode 2019-2024, mengingat di belakang mereka, ratusan juta rakyat yang diwakilinya, masih senantiasa berharap. Bahkan berbagai jajak pendapat menunjukkan, ekspektasi publik terhadap anggota DPR baru relatif tinggi dibandingkan dengan DPR periode sebelumnya.
Karena itu, anggota DPR senyatanya melepaskan kepentingan diri, keluarga, ataupun kelompok sempit demi menjalankan amanat rakyat. Menjadi anggota DPR, selain sebagai jabatan terhormat, juga sangat berat sebab mereka harus bekerja dan bertanggungjawab kepada rakyat. Begitulah seharusnya. Persoalannya, belakangan ini, aspirasi rakyat kerap gagal total ketika berbenturan dengan kantor DPR.
Lembaga yang sejatinya memperjuangkan aspirasi rakyat justru semakin memperlebar jarak dengan rakyat yang diwakilinya. Anggota DPR lebih cenderung menjadi kepanjangan tangan elite partai politik, namun semakin jauh dari kepentingan pemilih yang mengantarkan mereka berkantor di Senayan.
Padahal, profil anggota baru DPR hasil Pemilu 2019 tampak tidak jauh beda dengan DPR hasil pemilu sebelumnya. Komposisi latar belakang profesi hampir sama, yakni pengusaha, mantan militer dan birokrat sipil, anak pejabat, konsultan, akademisi, serta artis. Menurut Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang, motivasi dan perilaku mereka mungkin juga tidak berbeda, yaitu lebih banyak yang cenderung berburu kekuasaan demi kepentingan diri.
Potret Buruk
Hingga saat ini, citra DPR sebagai sebuah lembaga representasi kedaulatan rakyat memang tak pernah berubah. Parodi yang dipertontonkan oleh para wakil rakyat tersebut semakin menunjukkan bagaimana sesungguhnya kualitas moral dan integritas politik serta kewarasan hati nurani mereka. Maka hutang yang paling krusial untuk diselesaikan oleh anggota DPR baru adalah memperbaiki reputasi lembaga itu yang masih terpuruk di mata rakyat
Praktek korupsi, kolusi, pemborosan hingga perilaku tidak etis yang disuguhkan secara telanjang dan berulang-ulang membuktikan seperti apa buruknya kinerja anggota DPR dari zaman ke zaman. Sejak tahun 2014, satu per satu orang DPR yang tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kian menghancurkan citra diri orang-orang ‘terhormat’ itu. Betapa tidak, anggota dewan yang semestinya menjalankan fungsi kontrol atas eksekutif untuk mencegah penyelewengan, malah bertindak sebaliknya.
Fenomena suap atau gratifikasi yang menimpa anggota DPR, sebagaimana diungkap berbagai media massa dan menjadi konsumsi harian publik, biasanya muncul pada saat seperti pembahasan rancangan undang-undang, penanganan kasus, pemekaran wilayah, kunjungan kerja, pembahasan anggaran, pengambilan suatu kebijakan oleh DPR atau Komisi, studi banding keluar negeri, persiapan rapat dengar pendapat dengan BUMN atau instansi swasta lainnya, atau proses uji kelayakan dan kepatutan pejabat publik.
Meski terdengar ganjil, sebagian dari mereka adalah orang yang dulunya bertekad ingin membabat habis akar korupsi dari gedung parlemen. Entah sumpah atau janji yang mereka ucapkan itu hanya untuk membual atau memang yang awalnya benar-benar bertekad tapi di pertengahan jalan mereka ikut-ikutan latah. Seperti kata pepatah, orang bersih yang masuk ke kubangan comberan akan susah tidak kecipratan air kotor.
Aroma cacat moral yang menerpa sebagian anggota dewan sebenarnya telah lama terendus. Sebelumnya juga sudah terbongkar kebobrokan beberapa anggota legislatif yang terseret dalam kasus sogok-menyogok. Akan tetapi, setiap ada upaya untuk mengusut abnormalitas moral orang-orang di Senayan, selalu ada pembelaan yang menolak tudingan miring yang menyangkut diri mereka.
Berkaca pada periode 2014-2019, cukup anggota DPR yang memiliki catatan kasus korupsi. Berdasarkan catatan beberapa tim riset, setidaknya ada 23 anggota DPR periode 2014-2019 yang ditangkap KPK. Beberapa di antaranya: tersangka kasus suap PLTU Riau Eni Saragih, terdakwa suap jual-beli jabatan Kemenag Romahurmuziy, sampai tersangka suap impor bawang putih I Nyoman Dhamantra.
Sungguh ironis, harapan reformasi sebagai jembatan emas untuk melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi secara radikal terhadap segala bentuk penyimpangan moral yang terjadi di era orde baru, kembali dicederai oleh kelakuan sebagian legislator pascareformasi. Padahal mereka dituntut menjadi bagian dari proses transparansi, akuntabilitas, dan keteladanan bagi seluruh rakyat.
Tentu tidak semua anggota DPR, selama ini, berkelakuan ‘tidak terhormat’, tapi yang jelas makin langka saja menemukan figur manusia terhormat di kalangan mereka yang menyandang titel ‘anggota dewan terhormat’. Segudang fakta yang jamak diketahui bahwa DPR masih merupakan trouble maker, belum menjadi problem solver.
Entah harus dimulai dari mana untuk membenahi citra buruk DPR yang ‘terhormat’ itu. Era reformasi yang dilakukan pemerintah ini rupanya belum menyentuh sektor mental para pejabat kita. Untuk mencapai kondisi Indonesia maju, bersih dan bermartabat, DPR baru harus melakukan sebuah revolusi mental total dan menyeluruh kepada segenap anggotanya.
Menunggu Harapan
Peninggalan berbagai persoalan, suka tidak suka, akan menyeret anggota DPR baru dalam situasi sulit untuk memulai masa tugasnya. Secara psikologis, mereka harus bekerja dalam bayangan citra DPR yang hancur, tanpa kepercayaan publik, juga kecurigaan publik atas kemampuan, komitmen, integritas, serta kemandirian politik membela dan memperjuangkan kepentingan rakyat.
DPR periode 2019-2024 mau tidak mau menghadapi tantangan yang ekstra berat, terutama upaya membersihkan citra koruptif yang telanjur melekat di sekujur tubuh DPR. Hal ini penting dilakukan pertama kali guna memulihkan kembali kehormatan dan martabat institusi DPR sehingga rakyat menaruh hormat kepada para anggota dewan. Tentu saja tugas demikian tidaklah mudah. Maka, setiap anggota DPR baru harus memberikan kontribusinya, sekecil apa pun.
Selain itu, anggota DPR yang baru saja disahkan pada 1 Oktober 2019 dengan beaya pelantikan yang tidak sedikit itu, harus bekerja keras untuk melakukan perubahan dan berani membuat terobosan politik yang lebih strategis, efisien, dan efektif. Menilik kinerja anggota dewan 2014-2019, ada beberapa capaian positif yang bisa dijadikan pijakan utama bagi langkah selanjutnya. Di sini selalu dibutuhkan perubahan pendekatan politik yang mendasar, termasuk perubahan kultur politik yang sehat dan berpihak kepada rakyat.
Mewujudkan komitmen perubahan dapat dimulai dengan hal sederhana, yaitu tidak mengulangi kelakuan anggota DPR periode sebelumnya yang suka bolos, tidur di ruang sidang atau sering telat menghadiri sidang, terlibat aktivitas percaloan politik, serta acap menyalahgunakan kekuasaan. Berpolitik adalah bersedia mengabdikan diri, waktu, tenaga dan pikiran bagi rakyat dan partai politik, bukan sekadar ingin mengeruk keuntungan pragmatis melalui kekuasaan publik.

———— *** ————-

Tags: