Mencari Titik Temu antara Sains dan Agama

Judul Buku : Sains “Religius” Agama “Saintifik” Dua Jalan Mencari Kebenaran
Penulis : Haidar Bagir dan Ulil Abshar Abdalla
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : I, Agustus 2020
Tebal : 169 halaman
ISBN : 978-602-441-178-7
Peresensi : Ahmad Fatoni
Pengajar Pendidikan Bahasa Arab FAI-UMM

Dalam sejarah peradaban manusia, hubungan sains-agama berlangsung cukup seru mengingat relasi antara keduanya tidak selalu proporsional. Pada sebuah dasawarsa dan suatu teritori, sains dan agama sering terjebak dalam pertikaian sengit yang menyebabkan banyak ilmuwan tidak mau menghargai agama. Begitu pula, sejumlah kaum agamawan tidak dapat menikmati temuan-temuan sains.

Lebih dari itu, pola hubungan sains-agama juga kerap saling mendominasi sekaligus mendiskriminasi. Pada sebuah era di mana pengaruh agama dominan, di situlah peran sains kemudian tereliminasi menjadi disiplin ilmu yang kurang berkreasi sebagaimana mestinya.

Namun di lain ruang dan waktu, ketika kecenderungan berpikir secara ilmiah menguasai sebuah komunitas, maka agama kemudian disisihkan dan dinilai sebagai barang usang yang tak berharga. Dalam kasus ini, lalu pola penilaian falsifikasi menjadi parameter utama untuk mengukur validitas kebenaran segala sesuatu. Dan agama, karena divonis tidak mempunyai keberanian untuk diuji secara falsifikasi, akhirnya dianggap tak lagi dapat digunakan sebagai petunjuk jalan bagi kehidupan manusia.

Demikianlah, masing-masing sains dan agama berganti peran dan posisi. Pola hubungan yang kompleks tersebut, selain memberi ekses negatif, juga tentunya positif. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai kritik yang dilontarkan satu atas yang lain. Kita dapat menyimak serangkaian kritik yang dituduhkan para sainstis terhadap kerangka dasar keilmuan agama, yang dari sinilah kemudian tersingkap berbagai kelemahan fundamental agama.

Adalah Stephen Hawking, seorang ahli biologi yang mendaftar ratusan referensi yang dibacanya, tanpa memasukkan satu pun buku agama maupun filsafat. Hawking membatasi dirinya dengan hanya menyatakan bahwa sains sudah cukup menjelaskan semuanya. Dengah pongah Hawking menganggap agama sebagai bagian dari sisa-sisa kebodohan orang primitif (hlm.29).

Kaum skeptik ilmiah mengejek agama yang terkadang berlandaskan pada asumsi apriori atau keyakinan, sementara sains tidak mau menerima begitu saja segala sesuatu sebagai kebenaran. Selain itu, agama terlalu bersandar pada imajinasi liar, sedangkan sains bertumpu pada fakta empiris. Demikian kepongahan kaum saintis yang telah berbuat generalisasi serampangan terhadap agama.

Haidar Bagir dalam buku ini justru mempersoalkan anggapan dari kelompok saintis yang menilai sains lebih tinggi kedudukannya dibanding agama ataupun filsafat. Haidar menjelaskan bahwa bagi seseorang yang menganggap sains lebih tinggi kedudukannya dibanding agama, maka ia harus benar-benar mempelajari agama atau filsafat secara komprehensif. Dengan mempelajari keduanya, maka kelompok yang menganggap sains lebih ‘mulia’ dibanding agama atau filsafat bisa memberikan penilaian yang fair.

Dalam kasus tersebut, saran Haidar, para saintis yang mengkritik agama atau filsafat, alangkah baiknya bisa meniru sosok Imam Al-Ghazali yang mengkritik filsafat setelah mempelajari dan menggelutinya selama puluhan tahun. Mengutip Al-Ghazali, ungkap Haidar, tidak bisa menghukumi filsafat secara serampangan, melainkan harus dipilah-pilah (hlm.140).

Pada kesempatan lain, giliran agama yang menyerukan segenap kritik menohok pada sains, yang dinilainya terlalu mengandalkan pemikiran empirik. Dalam konteks wabah Covid 19, misalnya, ada sebagian agamawan yang ngeyel tidak peduli sama sekali atas nasihat ilmu kedokteran dalam hal protokol pencegahan penularan dan lebih lebih memilih pasrah kepada Tuhan.

Di sinilah repotnya. Di satu sisi, kita kewalahan dengan pengikut agama yang mau menang sendiri dan mengingkari kebenaran sains. Ulil Abshar Abdalla menyebut model beragama semacam ini adalah beragama yang “gagal dewasa”. Tetapi di sisi lain, kita dapati pula pemuja sains yang membodoh-bodohkan pemikiran agama.

Ibarat dua anak manusia, sains dan agama melakukan interaksi yang berubah-ubah. Terkadang keduanya menjadi teman sejati yang saling setia dan tak jarang menjadi musuh bebuyutan yang saling menyerang. Lepas dari dua kecenderungan tersebut, satu hal yang pasti bahwa di antara keduanya terjadi hubungan.

Menurut kedua penulis buku ini, hubungan antara sains dan agama senyatanya saling mendukung dan melengkapi, agar memperkuat satu sama lain. Bagaimanapun, sains dan agama berada dalam konteks yang berbeda, namun memiliki titik temu yang sama, yaitu mencari jalan kebenaran.

———– *** ————