Mengantisipasi Putus Sekolah Akibat Pandemi

Oleh :
Lumiyati
Founder Lembaga PAUD AN-NAJA Surabaya.

Masa anak-anak adalah masa paling menyenangkan. Bermain dan bersekolah adalah yang mereka bisa lakukan. Tapi ternyata saat pandemi Covid -19 bisa nasib mereka menjadi tidak seperti yang dibayangkan. Setidak itu yang bisa kita lihat dari adanya ancaman potensi anak putus sekolah. Sebagaimana diungkapkan Jumeri selaku Direktur Jenderal pendidikan PAUD, Pendiidkan Dasar dan Pendidikan Menengah Kemendikbud bahwa banyak perserta didik yang bekerja untuk bertahan hidup demi keluarga di masa Krisis Pandemi Covid-19 ini.

Lebih lanjut menurut Jumeri, anak-anak tersebut ada yang bekerja jadi asisten Rumah Tangga (ART), kenek angkutan, bekerja di sawah, beternak, bekerja di laut. Sehingga mereka terbiasa menerima uang yang sehingga dikhawatirkan mereka tidak mau sekolah lagi. (Jawa Pos, 8/9/20).

Apa yang dikhawatirkan Jumeri selaku Dirjen PAUD Dikdasmen itu dalam acara Hari Aksara Internasional secara daring itu patut kita antisipasi agar Tidak terjadi. Karena Berdasarkan data dunia Pandemi Virus Covid-19 telah menyebabkan “darurat pendidikan yang belum pernah terjadi sebelumnya,” dengan angka 9.7 juta anak di dunia beresiko putus sekolah akibat terkena dampak penutupan sekolah.(nesw.detik.com)

Potensi Anak Putus Sekolah

Pendidikan dipercayai sebagai wahana untuk memperluas akses dan mobilitas sosial dan masyarakat, baik vertikal maupun horisontal. Pendidikan juga dipercaya merupakan salah satu instrumen untuk memberantas kemiskinan. Tapi dengan adanya Pandemi Covid-19 sepertinya sekarang ini nampaknya pendidikan menjadi barang mahal. Hal itu bisa kita lihat dari kenaikan jumlah penduduk miskin. Jumlah penduduk miskin pada Maret 2020 tercatat 26, 42 Juta orang. Meningkat dibanding tahun sebelumnya sebesar 1,28 juta pada bulan yang sama. Atau naik sebesar 9, 79 persen. (BPS.go.id). Demikian juga adanya Covid-19 ini juga adanya pemutusan hubungan Kerja (PHK) pun meningkat. Berdasarkan catatan Kementrian Ketenagakerjaan mencatat jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan tenaga kerja (PHK) dan dirumahkan akibat Virus Corona ( Covid-1) tembus 3,06 juta orang per 27 Mei 2020. (cnnindonesia.com).

Berdasarkan data-data tersebut terutama dengan adanya PHK tentunya mengatrol jumlah orang miskin di Indonesia. Sehingga imbasnya mereka harus berhemat karena berkurangnya pendapatan. Sehingga bagi keluarga yang miskin salah satu jalan keluarnya adalah dengan memperkerjakan anak mereka untuk menambah pendapatan keluarga. Konsekuensinya adalah anak mereka terpaksa putus sekolah. Berdasarkan studi terdahulu, apa yang dikawatirkan Jumeri tentang potensi putus sekolah nampaknya bisa menjadi kenyataan. Sebagaimana temuan Supriadi (1994) menyebutkan proses terjadinya anak putus sekolah dimana para siswa itu membolos sekolah dengan alasan membantu orang tua, lalu mereka “keenakan dan terus tidak sekolah lagi. Selanjutnya dalam penelitian itu juga ditemukan bahwa alasan anak tidak bersekolah (putus sekolah) umumnya karena faktor sosial ekonomi. Data Bank Dunia (1990) juga menunjukan bahwa lebih dari separoh orang tua yang anaknya putus sekolah karena alasan biaya.

Studi-studi terdahulu yang dipaparkan diatas nampaknya masih relevan dengan apa yang terjadi saat ini. Dimana potensi anak putus sekolah semakin besar karena adanya Pandemi Covid-19 terutama saat awal-awal diterapkannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberbagai daerah terutama DKI Jakrta dan Jawa. Akibatnya gelombang PHK menerpa para pekerja karena aktifitas ekonomi yang mengalami pembatasan. Akibatnya pendapatan masyarakat pun turun dan angka kemiskinan pun meningkat sebagaimana data ditas. Bahkan belum lagi adanya wacana pemberlakuan PSBB total kembali oleh Pemprov DKI Jakarta yang bisa memicu kembali gelombang PHK semakin menambah ancaman anak putus sekolah di masa Pandemi Covid-19 ini semakin besar.

Upaya Pencegahan

Untuk mencegah agar tidak terjadi anak putus sekolah, maka yang diperlukan tidak hanya bantuan karitas yang sifatnya sesaat tetapi juga yang berjangka panjang. Kalau memang perlu dibuat payung hukum bagi perlindungan terhadap anak yang terancam putus sekolah akibat Pandemi Covid-19 ini. Sehingga perlindungan terhadap mereka bersifat sistematis dan terstruktur serta berkesinambungan. Mereka harus segera diberikan gratis SPP misalnya bagi yang sekolahnya membayar SPP, khususnya siswa yang sekolah di swasta atau madrasyah.

Kemudian diberikan bantuan pulsa internet untuk pembelajaran mereka. Walaupun sudah ada bantuan dari Kemendikbud. Tapi alangkah baiknya juga ada bantuan dari pihak ketiga atau perusahaan besar lewat CSR. Sehingga mereka tidak khawatir pulsanya akan tidak cukup untuk pemnbelajaran karena banyaknya mata pelajaran yang harus mereka ikuti, serta tugas yang diberikan oleh guru.

Kemudian berikanlah pemahaman terhadap orang tua siswa yang putus sekolah akan pentingnya pendidikan bagi anak mereka. Hal tersebut bisa dilakukan oleh guru dengan membina komunikasi dengan orang tua. Serta membantu akses bagi orang tua yang kurang mampu agar dapat beasiswa lewat program pemerintah atau pemerintah kota atau Kabupaten. Seperti misalnya di Pemkot Surabaya ada beasiswa untuk anak SMP dari keluarga kurang mampu. Dananya dari CSR perusahaan.

Selain itu juga perlunya intervensi pemerintah terhadap orang tua siswa yang tergolong kurang mampu. Misalnya dengan memberikan bantuan kredit usaha serta bantuan karitas.Misalnya Program keluarga harapan (PKH), Kartu Prakerja, Bantuan Langsung Tunai (BLT) serta bantuan sejenis lainnya hendaknya mereka diberikan secara berkesinambungan terhadap orang tua siswa yang kurang mampu.

Oleh sebab itu dalam pandemi Covid-19 yang bisa saja memunculkan resesi ekonomi sebagaimana dialami negera lain. Maka ancaman putus sekolah terutama bagi keluarga yang terdapak Covid-19 dan kurang mampu harusnya menjadi prioritas program pemerintah demi masa depan bangsa Indonesia.

———– *** ————

Tags: