Menguji Konsep Merdeka Belajar di Masa Pandemi Covid-19

Oleh :
Rini Sulistyawati
Guru SMAN 2 Klaten, Jawa Tengah

Konsep Merdeka Belajar yang diusung Nadhiem Makarim begitu menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bisa dibaratkan anak yang tumbuh dewasa lebih cepat. Konsep ini terburu-buru viral (meluas) di masyarakat tanpa diiringi pondasi konseptual yang memadai. Dengan difasilitasi media sosial, beragam penafsiran dan pemaknaan terhadap konsep merdeka belajar pun begitu bising ber-seliweran di jagad media sosial.

Semuanya bebas menyatakan pendapatnya tidak peduli kompetensi dan latar belakangnya. Implikasinya, informasi yang tidak jelas sumber dan validitasnya tersebut kemudian menjadi asupan informasi publik dalam memahami konsep merdeka belajar. Imbasnya, bisa dibayangkan bagaimana ragamnya pemahaman publik terhadap konsep merdeka belajar tersebut.

Konsep Merdeka Belajar

Secara konseptual, Merdeka Belajar sesungguhnya bukan konsep yang baru dalam pendidikan kita. Beberapa sekolah, pegiat pendidikan, kalangan guru pun sudah menerapkannya. Filosofi merdeka belajar juga sudah dikenalkan Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara. Filosofi Merdeka Belajar mengandung makna yang mendalam, yakni mengajarkan semangat dan cara mendidik anak untuk menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka pikirnya, dan merdeka fisiknya.

Penganut ideologi humanistik dalam pembelajaran juga sudah mendiskusikan secara mendalam tema merdeka belajar tersebut lebih dari setengah abad yang lalu. Pada tahun 1969 Carl Rogers mempublikasikan sebuah buku berjudul “Freedom to Learn”. Pada pengantar buku tersebut, Lima puluh tahun lalu, ia mengatakan, “Sekolah kita umumnya sangat tradisional, konservatif, birokratis dan resisten terhadap perubahan. Satu cara yang harus dilakukan untuk menyelamatkan generasi muda ini adalah melalui kemerdekaan belajar”. Pada tahun 1962 Everett M. Rogers menulis buku berjudul “Diffusion of Innovation” dimana pada buku tersebut memuat satu bab tersendiri tentang pengerak atau agen perubahan. Bahasan yang tidak jauh dari konsep merdeka belajar.

Merdeka belajar mengandung makna guru diberi keleluasaan untuk mendesain pembelajaran yang kontekstual dan bermakna. Guru bukan lagi menjadi satu-satunya sumber belajar tapi memberikan kesempatan muridnya untuk berinovasi, untuk belajar mandiri dan kreatif. Merdeka belajar juga dikonsepsikan untuk menciptakan ekosistem pendidikan nasional yang lebih sehat. Termasuk menghadirkan iklim inovasi, sehingga dapat menghasilkan SDM unggul dan berkarakter.

Strategi pembelajaran yang memerdekakan, menekankan pada penggunaan pengetahuan secara bermakna dan proses pembelajaran lebih banyak diarahkan untuk meladeni pertanyaan atau pandangan siswa. Aktivitas belajar lebih menekankan pada ketrampilan berpikir kritis, analisis, membandingkan, generalisasi, memprediksi, dan menyusun hipotesis. Pelaksanaan evaluasi dalam pembelajaran yang memerdekakan menekankan pada proses penyusunan makna secara aktif yang melibatkan ketrampilan terintegrasi dengan menggunakan masalah dalam konteks nyata.

Evaluasi menggali munculnya berpikir divergen, pemecahan masalah secara ganda atau tidak menuntut satu jawaban benar karena pada kenyataannya tidak ada jawaban siswa yang salah, yang ada adalah pertanyaan pendidik yang salah. Evaluasi juga merupakan bagian utuh dari belajar dengan cara memberikan tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermakna serta menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks nyata.

Secara konseptual tentu tidak ada yang salah bahkan seharusnya sejak dulu berlaku seperti itu. Namun problemnya sistem pendidikan dan pembelajaran yang terjadi tidak memberi ruang yang memadai bagi implementasi konsep yang seperti itu. Untuk mendesain siswa yang kreatif misalnya, tentu seorang guru harus punya banyak waktu untuk mendesain pembelajaran yang menumbuhkan kreatifitas siswa, guru harus mempunyai kompetensi pedagogik. Namun keinginan tersebut menjadi begitu berlebihan mengingat secara faktual guru juga masih menanggung banyak beban pelaporan administrasi yang seabrek, sementara beban mengajar juga minimal 24 jam belum dengan tugas tambahan yang lain.

Pada wilayah lain, anak didik juga perlu mendapatkan sosialisasi tentang konsep merdeka belajar, agar anak tidak salah kaprah dalam menerapkan. Informasi yang begitu liar berseliweran di media sosial terkait konsep merdeka belajar tentu bisa memperkaya khasanah pemahaman anak didik dan masyarakat, tetapi bila tidak jeli dan cerdas dalam memahami informasi yang beredar justru bisa menjadi bumerang dalam membangun pemahaman yang benar dan utuh terhadap konsep merdeka belajar.

Terbukti, banyak temuan temuan dalam realitas dalam masyarakat anak didik kita justru hanya kebebasan yang mereka inginkan tetapi tanggung jawab moral sebagai siswa tidak mereka indahkan. Belum lagi perlunya pemahaman orangtua dan masyarakat terhadap konsep merdeka belajar. Pemahaman orang tua dan masyarakat ini menjadi penting mengingat konsep merdeka belajar juga menekankan kebersamaan dan kegotongroyongan dalam pembelajaran. Artinya, peran orang tua dan masyarakat untuk ikut serta berkontribusi dalam proses belajar mengajar peserta didik menjadi penting adanya. Itulah juga pengejawantahan konsep Tri Pusat Pendidikan yang dikenalkan oleh Ki Hajar Dewantara dulu.

Merdeka Belajar di Masa Pandemi

Implementasi merdeka belajar harus diakui masih banyak menimbulkan kebingungan. Bagaimanapun, memang masih diperlukan persiapan insfrastuktur berikut SDMnya untuk dapat menerapkan konsep merdeka belajar. Sayangnya, ketika konsep merdeka belajar belum sepenuhnya dipahami, dunia pendidikan harus babak belur akibat pandemi Covid-19. Konsep merdeka belajar pun menjadi begitu gagap ketika harus menghadapi realitas berupa kondisi masa pandemi covid-19.

Dalam situasi pandemi seperti inilah sesungguhnya momentum konsep Merdeka Belajar diuji. Mengingat dalam konsep merdeka belajar proses pembelajaran bisa berlangsung dimana saja, kapan saja dan dengan siapa saja. Proses pembelajaran menjadi lebih kolaboratif dan holistik. Guru juga mendapatkan kemudahan dengan menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran lebih bermakna.

Semua komponen sekolah menjadi lebih kolaboratif dan mendukung satu sama lain. Harapannya, kondisi ini dapat didesiminasikan ke seluruh sekolah di pelosok tanah air. Merdeka belajar memberikan ruang untuk terbentuknya ekosistem pendidikan yang integratif. Pelaksanaan kebijakan merdeka belajar menjadikan proses pembelajaran lebih memberikan hak kepada peserta didik untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan kebutuhan dan jamannya.

Pelaksanaan pembelajaran di satuan pendidikan yang dilaksanakan secara daring maupun luring membutuhkan dukungan semua pihak. Dukungan tersebut akan menjadi faktor pendukung kesuksesan pembelajaran. Para pihak yang mendukung proses pembelajaran di antaranya: orangtua, guru, kepala sekolah, dinas pendidikan, komite sekolah, dan lainnya. Peran masing-masing pihak akan memberikan kontribusi pada pelaksanaannya.

Sungguh butuh nafas panjang untuk mewujudkan konsep besar ini. Siapapun yang ditugaskan menjabat sebagai Mendikbud, tentu akan tergopoh-gopoh dalam tuntutan hasil pendidikan yang memenuhi standar kualitas. Sebab dan masalahnya adalah, jabatan menteri yang terbatas hanya lima tahun, mustahil bagi siapa saja yang diberikan wewenang, sudah terbukti akan sulit menuntaskan proses perubahan pendidikan menuju arah yang berkualitas. Tidak terkecuali, Nadiem Makarim yang sengaja dihadirkan oleh Presiden Jokowi sebagai perwakilan dari generasi milenial.

Percayalah, semua yang pernah menjabat Mendikbud, berupaya dan berproses mengusung perubahan menuju kebaikan. Tugas kita adalah jangan biarkan Mendikbud sendirian menyelesaikan tugasnya. Mustahil rasanya masalah pendidikan ini bisa tuntas oleh seorang Nadiem Makarim. Butuh kebersamaan, kerjasama dan kolaborasi semua pihak dalam mewujudkan pendidikan yang lebih baik.

——— *** ———-

Tags: