Menhan, Food Estate dan Pesawat Tempur

Oleh :
Sutawi
Dosen Fakultas Pertanian Peternakan Universitas Muhammadiyah Malang

Menhan Prabowo Subianto ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo menjadi penanggung jawab pembangunan food estate (lumbung pangan) seluas 178 ribu hektar di Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah (Kamis, 9 Juli 2020). Food estate merupakan istilah populer dari kegiatan usaha budidaya tanaman skala luas (>25 ha) yang dilakukan atas dasar keterpaduan sektor dan subsektor dalam suatu sistem agribisnis dengan memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan lestari, dikelola secara profesional, didukung oleh sumberdaya manusia yang berkualitas, teknologi tepat guna yang berwawasan lingkungan, dan kelembagaan yang kokoh. Food estate merupakan langkah antisipasi dini krisis pangan akibat pandemi Covid-19 yang diperingatkan FAO akan terjadi mulai Agustus 2020 sampai 2022 mendatang.

Penunjukan Menhan, bukan Mentan, tentu bukan tanpa alasan. Pertama, ketahanan pangan merupakan salah satu unsur penting ketahanan nasional. Sebaik apapun unsur-unsur lain, jika rakyat kelaparan maka ketahanan nasional akan rapuh. Jepang merupakan satu teladan negara maju yang menjaga ketahanan pangan sebagai unsur utama ketahanan nasional. Sebagai negara yang tingkat keswasembadaan pangannya hanya 40%, pemerintah Jepang mengalokasikan APBN sebesar 3,7% dan memberi subsidi hingga 70% pada sektor pertanian untuk menjamin ketersediaan pangan bagi 127 juta rakyatnya. Rata-rata penghasilan petani Jepang mencapai 10 juta yen (Rp 1,34 miliar) per tahun, 25-30% lebih tinggi dibanding pendapatan per kapita penduduk. Bandingkan dengan pendapatan petani Indonesia. BPS (2017) mencatat penghasilan petani padi hanya Rp 1,238 juta/bulan, jagung Rp 1,047 juta/bulan, kacang tanah Rp 1,052 juta/bulan, ubi kayu Rp 869 ribu/bulan, kacang hijau Rp 469 ribu/bulan, dan kedelai Rp 307 ribu/bulan, jauh di bawah UMK Jawa Timur Rp 1,7-3,8 juta/bulan.

Kedua, dalam APBN 2020 Kemenhan memperoleh anggaran paling besar yaitu Rp 122,45 triliun (21,02% APBN), 5,82 kali lipat aggaran Kementan yang hanya Rp 21,05 triliun (0,77% APBN). Ketiga, Menhan Prabowo pernah menjadi Ketua HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) periode 2004-2009. Pada waktu itu, Prabowo berjanji memperjuangkan kepentingan petani yang dinilainya masih belum mendapat prioritas utama, dan mendesak pemerintah agar membuat kebijakan yang berpihak kepada petani, seperti menghentikan keran impor produk pertanian. Prabowo menilai bahwa tingginya impor produk pertanian mengakibatkan petani lokal tidak mampu bersaing. Jika sukses membangun food estate sekaligus menyejahterakan petani, maka dapat dijadikan modal Menhan Prabowo untuk kembali mencalonkan presiden kali ketiga pada Pemilu 2024.

Bukannya memaparkan grand design food estate, publik justru dikejutkan rencana kontroversial Menhan Prabowo memborong 15 unit pesawat tempur Eurofighter Typhoon bekas milik militer Austria (Surat Kemenhan No. 60/M/VII/2020 tertanggal 10 Juli 2020). Rencana tersebut membuktikan Menhan Prabowo kurang sensitif dalam memahami empat persoalan bangsa saat ini. Pertama, pandemi Covid-19. Sejak pertama dilaporkan 2 Maret 2020 sampai 9 Agustus 2020 jumlah penderita terkonfirmasi positif Covid-19 sebanyak 125.396 kasus dan meninggal 5.723 orang. Ini berarti setiap hari rata-rata sebanyak 779 orang terjangkit dan 36 orang meninggal akibat Covid-19. Wabah ini belum ditemukan vaksin atau obatnya dan belum jelas kapan berakhirnya.

Kedua, resesi ekonomi. Pemerintah memperkirakan sebanyak 3,0-5,2 juta kehilangan pekerjaan dan 1,8-3,78 juta orang Indonesia akan jatuh miskin selama pandemi Covid-19. Studi ekonom Arthur Okun yang disebut Hukum Okun (Okun’s Law) mengindikasikan hubungan negatif antara pengangguran dengan pertumbuhan ekonomi. Semakin tinggi tingkat pengangguran semakin rendah tingkat pertumbuhan ekonomi, karena penduduk yang bekerja berkontribusi dalam menghasilkan barang dan jasa, sedangkan pengangguran tidak memberikan kontribusi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5,02% pada 2019 menurun 2,97% pada Triwulan I, kemudian merosot menjadi -5,32 pada Triwulan II 2020. Dalam ilmu ekonomi, suatu negara dikatakan resesi apabila ekonominya minus dalam dua kuartal berturut-turut. Jika ekonomi Indonesia Triwulan III 2020 pertumbuhannya negatif, maka Indonesia resmi masuk ke jurang resesi ekonomi.

Ketiga, kerawanan pangan (food insecurity). PBB (2020) menyebutkan terdapat 820 juta penduduk dunia tergolong rawan pangan kronis sebelum pandemi Covid-19. Sejak pandemi Covid-19 bertambah 135 juta penduduk terjerumus rawan pangan akut. Jumlah ini bisa bertambah dua kali lipat selama pandemi Covid-19 tahun 2020. Tingginya pengangguran, hilangnya pendapatan, dan kenaikan harga pangan menyebabkan akses terhadap pangan bagi sebagian penduduk semakin sulit. Lembaga Demografi FEB UI (2020) memperkirakan sebanyak 17,5 juta rumah tangga terancam miskin dengan asumsi garis kemiskinan Rp 440.000 per kapita per bulan akibat Covid-19 karena adanya penurunan upah dan tanpa pendapatan. Hasil survei Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) pada April 2020 menunjukkan 25% (sekitar 50 juta) warga menyatakan sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan pokok tanpa pinjaman, 15% warga tabungannya hanya cukup untuk beberapa minggu, dan 15% warga tabungannya hanya cukup untuk satu minggu.

Kerawanan pangan dapat memicu darurat pangan (food emergency) karena munculnya fenomena feeding frenzy. Feeding frenzy dirumuskan oleh McMohan (2017) sebagai situasi di mana negara pengekspor melakukan pembatasan terhadap arus keluar bahan pangan sebagai upaya menahan kenaikan harga dalam negeri. Sebaliknya, negara pengimpor menghapus semua bea impor dan berupaya mendatangkan sebanyak mungkin bahan makanan untuk mengamankan persediaan dalam negeri. McMahon menyebut, tindakan sebagian besar negara untuk mendahulukan kepentingan nasional masing-masing daripada bersinergi merumuskan kebijakan demi kemakmuran bersama justru memperparah krisis dan memicu kenaikan harga pangan dunia.

Keempat, degradasi pendidikan. Kebijakan physical distancing memaksa perubahan dari pendidikan formal di bangku sekolah menjadi belajar dari rumah (school from home) dengan sistem online dalam skala nasional. Bahkan, ujian nasional tahun ini terpaksa ditiadakan. Sistem pendidikan online tidak mudah karena kendala teknologi maupun ekonomi. Banyak guru dan orang tua yang masih gaptek, tidak memiliki perangkat belajar seperti ponsel, laptop dan koneksi internet, serta keterbatasan biaya. Akibatnya, banyak anak usia sekolah di pelosok Tanah Air yang saat ini lebih suka bersepeda dan main layangan daripada belajar.
.
Keempat masalah bangsa tersebut jelas lebih penting untuk segera diatasi daripada membeli pesawat tempur. Di Austria sendiri pesawat tempur itu jarang diterbangkan karena keamanan wilayah terjamin dan biaya operasional sangat mahal (US$ 15.000=Rp 217,5 juta sekali terbang). Dana sebanyak itu tentu lebih bermanfaat untuk mengatasi masalah bangsa saat ini. Kepedulian Menhan Prabowo terhadap keempat masalah bangsa tersebut merupakan langkah strategis untuk meningkatkan elektabilitasnya yang semakin menurun beberapa bulan terakhir. ***

———— *** ————–

Tags: