Menindak Tegas Teror Separatis Bersenjata

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior Penggiat Dakwah Sosial Politik 

Pekerja pembangunan jalan trans-Papua di Nduga, Papua, diberondong tembakan oleh sekelompok separatis. Puluhan korban jiwa pekerja bergelimpangan. Juga seorang bintara TNI (Tentara Nasional Indonesia) pengamanan ditembak mati. Penyerangan dilakukan kelompok separatis yang sering mengacau keamanan kawasan. Maka negara, melalui Panglima TNI wajib segera melindungi segenap rakyat, menjamin keamanan pelaksanaan hajat hidup (sosial dan ekonomi).
“Negara, dan rakyat Indonesia tidak takut pada kelompok kriminal bersenjata.” Begitu kata presiden Jokowi, menandakan tekad negara menindak tegas setiap kelompok pengganggu keamanan. Kalimat yang sama pernah dinyatakan presiden, beberapa jam setelah tragedi terorisme di Mako Brimob (10 Mei 2018). Berselang sepekan, terjadi aksi teror di Surabaya (pengeboman di tiga gereja, dan Mako Polrestabes). Seluruhnya berakhir kekalahan teroris.
Merespons cepat gangguan keamanan, menjadi tupoksi (tugas pokok dan fungsi) TNI, merupakan perintah konstitusi. Dalam UUD pasal 30 ayat (2), diamanatkan, “Untuk pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia ….” Yang terjadi di Nduga, Papua, bukan sekedar gangguan ketertiban (sebagai tupoksi Kepolisian). Melainkan gangguan keamanan kombatan (bersenjata).
Aparat negara (TNI dan Polri) telah memiliki payung hukum dalam rangka pelaksanaan tugas gabungan. Antaralain UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI. Penumpasan gerakan makar oleh TNI, pernah dilakukan saat mengejar kelompok Santoso, di Poso, Sulawesi Tengah. Hasilnya, patut dibanggakan. Masyarakat dapat melaksanakan aktifitas Bahkan saat ini telah diterbitkan revisi UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Hasil revisi undang-undang memberi kewenangan lebih luas kepada aparat keamanan. Terutama BNPT (Badan Nasional Pemberantasan Terorisme), bersinergi dengan Polisi dan TNI. Begitu pula definisi tentang terorisme, kini menyertakan frasa “motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.” Maka kelompok kriminal bersenjata di Nduga, Papua, dapat dikategori sebagai terorisme.
Operasi gabungan TNI dengan Polri, telah dapat dilakukan. Termasuk penggunaan berbagai alat tempur persenjataan berat. Walau terdapat rambu-rambu yang wajib ditaati. UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, pada klausul menimbang, menyatakan, “Tentara Nasional Indonesia dibangun dan dikembangkan secara profesional sesuai kepentingan politik negara, mengacu pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia… .”
Pengampunan Separatis
Menindak tegas kelompok kriminal bersenjata, niscaya dengan menghadirkan pelaku pembunuhan masal ke Pengadilan. Namun manakala terjadi perlawanan, aparat memiliki kewenangan menumpas (tembak di tempat), sampai menembak mati. Sebaliknya, separatis bersenjata juga bisa memperoleh “pengampunan” manakala menyatakan ke-insaf-an, dan menyerahkan diri (meletakkan senjata).
Amnesty (pengampunan) terhadap separatis bersenjata pernah dilakukan. Antaralain terhadap kelompok sempalan GAM, Din Wimimi, di Aceh. Din Wimimi (beserta 70 pasukan) telah turun gunung, dan meletakkan senjata. Pengampunan yang sama juga diberikan kepada per-orangan yang terlibat aksi radikalisme dan terorisme. Misalnya, pengampunan terhadap Ali Fauzi, adik kandung Amrozi dan Ali Imron (pelaku bom Bali). Sekaligus menjadi bagian dari MILF (kelompok pembebasan Moro).
Setelah tertangkap oleh polisi Filipina, tahun 2004, dipulangkan ke Indonesia tahun 2006. Selama beberapa tahun terakhir, Ali Fauzi aktif dalam upaya de-radikalisasi. Sejak tahun 2015 menjadi aktifis perdamaian bersama Google Ideas SAVE. Selain menjadi pengamat teroris, juga aktif berceramah penanggulangan terorisme. Pengampunan juga diberikan kepada Nasir Abbas, sering tampil sebagai peng-analisa terorisme.
“Menjinakkan” potensi separatisme (dan terorisme), tidak selalu dengan mengokang senjata. Karena tindakan makar maupun terorisme (yang murni) berakar dari ke-kecewa-an terhadap situasi sosial (dan politik). Serta tambahan pengaruh iming-iming ideologis dari pihak ketiga. Walau tak jarang, separatisme diprovokasi oleh kepentingan elit politik. Di seluruh dunia, separatisme tidak serta merta memperoleh dukungan internasional. Misalnya yang terjadi di Catalunya (Barcelona).
Catalunya sejak lama menggantungkan perekonomian dari hasil pariwisata yang sangat masyhur di dunia. Karena memiliki “sejarah” seni budaya kesohor. Selain gedung-gedung artistik, kota Barcelona juga memiliki seniman lukis (aliran surrealis) Salvador Dalli, dan Pablo Picasso. Saat ini juga memiliki klub sepakbola nomor satu di dunia, Barcelona FC, yang bermarkas di stadion Camp Nou. Harga jual (saham) Barcelona FC, diperkirakan senilai Rp 50 trilyun.
Karena kebanggaan budaya yang kesohor itu, elit politik negara bagian Catalunya telah melaksanakan referendum (Oktober 2017). Konon hasilnya, mayoritas rakyat Catalunya, setuju merdeka, memisahkan diri dari Spanyol. Tetapi MK (Mahkamah Konstitusi) Spanyol, menganggap referendum tidak sah. Karena tidak di-ikuti mayoritas rakyat Catalunya. Akibatnya, pemimpin negara bagian Catalunya dijebloskan ke penjara. Seluruh dunia tetap mengakui otoritas Spanyol terhadap Catalunya.
Kemunculan negara baru, bukan sekadar ditentukan popularitas seni dan budaya. Juga bukan sekadar hasil sumber daya alam (SDA) yang besar. Melainkan lebih bersumber pada kondisi riil kebangsaan, keterpaduan politik, serta keamanan (dan kesejahteraan) etnis bangsa. Juga (yang terpenting) sejarah kebangsaan. Contohnya negara-negara di semenangjung Balkan, bisa terpecah menjadi negara-negara baru. Walau miskin.
Kesatuan Nasional
Sejarah bangsa-bangsa mencatat, negara-negara Balkan mengalami kolonialisasi oleh rezim, karena kalah perang. Begitu pula negara-negara bagian bekas Uni Soviet, yang dijajah (dan kalah perang) melawan rezim Tsar Rusia. Termasuk negara-negara bangsa mayoritas berpenduduk muslim, antaralain Turkmenistan, Usbekistan, Khazakhstan. Negara-negara bangsa yang ber-akhiran “istan,” sesungguhnya memiliki negara bangsa masing-masing. Namun dijajah oleh rezim Tsar Rusia.
Sejarah (kolonialisasi) yang nyaris sama, juga dialami negeri-negeri di Indonesia. Berujung tahun 1945. Disusul pernyataan seluruh pemimpin negeri di Indonesia (mulai kesultanan Aceh, Jawa, Banjar, Ternate, Tidore, Bali, sampai Timor) bersepakat bersama-sama dalam kesatuan negara Indonesia. Namun sampai tahun 1949 (dalam Konferensi Meja Bundar), Belanda tidak ingin menyerahkan Irian Barat (sekarang Papua, dan Papua Barat) kepada Indonesia.
Boleh jadi, Belanda “menggantung” nasib Irian Barat, sampai pemerintah menunaikan kesepakatan membayar ongkos perang Belanda senilai 4,3 milyar gulden. Tetapi sejak awal dekade 1960-an, seluruh dunia (dan Perserikatan Bangsa-Bangsa) mengakui Irian Barat merupakan teritorial kedaulatan Indonesia. Toh masih banyak sindikat asing yang memprovokasi masyarakat Irian Barat, menjadi separatis. Dengan alasan etnis.
Padahal realitanya, Indonesia didirikan bersama-sama oleh rakyat multi-etnis. Berbeda bahasa ibu, berbeda budaya, serta berbeda tampilan wajah (mata, hidung, dan bentuk rambut). Bahkan sejak awal kemerdekaan, telah di-deklarasikan Bhinneka Tunggal Ika. Pluralisme menjadi keniscayaan. Sehingga setiap gerakan kelompok separatis, akan selalu dianggap makar oleh kerabat satu suku yang sama. Tidak populer, dan pasti sudah memperoleh perlawanan di kawasan lokal.
Namun harus diakui, gerakan separatisme sering muncul membonceng ketimpangan sosial, dan kegaduhan politik. Sehingga menangani makar dan terorisme juga harus membenahi “akar” penyebabnya. Yakni, meng-lipur kekecewaan sosial, disertai aksi nyata perbaikan kesejahteraan. Juga tindakan tegas, patut dilakukan untuk melindungi masyarakat. Termasuk melalui tindakan operasi militer, yang terukur dan transparan.
Teror separatis bersenjata (yang memiliki sejarah panjang), biasa pula memiliki sindikat trans-nasional. Diperlukan kinerja lintas kelembagaan membangun penegakan hukum dan hak asasi manusia. Tanpa meng-abaikan keamanan di setiap jengkal teritorial, dan keutuhan nasional.

——— 000 ———

Tags: