Menjaga Lingkungan Harga Mati!

Oleh :
Rafyq Panjaitan, SIP
Alumni Ilmu Politik FISIP Universitas Sumatera Utara

Manusia diciptakan dengan kelas sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia, manusia diberikan akal pikiran sehingga bisa bertindak sesuai dengan apa yang dipikirkannya. Seluruh tindak-tanduk manusia berawal dari pikiran, maka manusia harus berhati-hati dengan pemikirannya.
Pikiran-pikiran yang hedonistik, individualis serta pragmatis seharusnya memiliki porsi sedikit dalam alam pikiran manusia. Pasalnya, jika pemikiran tersebut dominan, maka yang terjadi hanyalah kerusakan, keserakahan dan konflik yang tak berkesudahan.
Hari lingkungan hidup se-dunia yang diperingati setiap tanggal 5 juni memiliki pesan moral yang hari ini harus kita renungi sebagai cambuk nyata bahwa alam hadir untuk bukan untuk dirusak. Kita seharusnya sadar bahwa bencana-bencana alam yang datang merupakan balasan dari buah tangan manusia yang jahil.
Alam jika dirawat dan dijaga kelestariannya, maka ia akan memberi manfaat yang begitu besar bagi manusia. Tuhan menciptakan alam beserta isinya untuk memenuhi seluruh kebutuhan manusia. Di dalam perspektif ekonomi kontemporer terdapat sebuah slogan bahwa alam yang terbatas tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tidak terbatas. Tetapi perspektif ekonomi ilahi mengatakan bahwa alam yang terbatas cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia yang terbatas.
Maknanya adalah bahwa manusia itu memiliki kebutuhan yang bisa diambil dari alam, tetapi ingat tidak boleh berlebihan. Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk adil sejak dalam pikiran, bahwa alam diciptakan oleh Tuhan untuk membuat manusia lebih mudah di dalam melakukan aktivitas-aktivitasnya, tetapi itu bukan berarti manusia sesuka hati memperlakukan alam.
Kondisi lingkungan
Program the value of land yang diprakarsai organisasi Economics of Land Degradation Initiative (ELDI) merilis laporan pada september 2015 tentang kerusakan lingkungan yang dialami bumi saat ini. Laporan itu dihasilkan dari jerih payah sekitar 30 organisasi lingkungan yang melakukan penelitian di berbagai penjuru bumi selama 4 tahun.
Hasilnya, pertama: Kerusakan lingkungan yang terjadi akibat ulah manusia sejak tahun 2000 bertanggungjawab atas hilangnya 75 persen nilai ekonomis alam yang sejatinya bisa dimanfaatkan oleh manusia. Nilai ekonomis alam yang hilang itu diperkirakan bisa mencapai Rp.1 triliun per satu kilometer persegi. Tanpa disadari kerusakan lingkungan juga merugikan setiap orang di bumi, dengan nominal hingga Rp.20 juta per orang.
Kedua: kerusakan lingkungan membuat pemerintah harus menyuntikkan investasi lebih di dunia pertanian sampai Rp.400 triliun lebih per tahun hanya agar lahan-lahan pertanian bisa tetap menghasilkan bahan pangan untuk seluruh manusia di bumi. Itu terjadi akibat rusaknya 52 persen lahan pertanian di berbagai negara. Luas lahan bumi yang dilanda kekeringan parah meningkat hingga dua kali lipat dari tahun 1970an hingga tahun 2000an atau hanya dalam kurun waktu 40 tahun terakhir.
Ketiga: Satu per tiga kawasan bumi kini rentan terhadap kerusakan lingkungan. Lebih parah, satu per tiga kawasan Afrika kini terancam berubah menjadi gurun tandus. Lebih lanjut, kerusakan lingkungan diprediksi bakal membuat banyak orang harus pergi dari tempat tinggal mereka. Jumlahnya pun tidak sedikit, mencapai 50 juta orang. Dalam 10 tahun kedepan 50 juta manusia itu terpaksa mengungsi hanya untuk bertahan hidup di tengah serangan kekeringan atau masalah lingkungan lain (merdeka.com, 15/09/15)
Kondisi dalam negeri
Bagaimana kondisi Indonesia di hari lingkungan hidup ini. Dalam konteks Indonesia tentu seharusnya kita merayakan dengan sukacita hari lingkungan hidup ini karena melimpah ruahnya kekayaan alam Indonesia, tetapi di hari lingkungan hidup ini justru Indonesia harus menangis. Pasalnya, Indonesia tidak mampu merawat pemberian Tuhan tersebut.
Ambil contoh pada apa yang terjadi dengan hutan. Indonesia semula merupakan negara yang memiliki hutan hujan tropis terluas di dunia. Kini, luasan hutan terus menyusut akibat deforestasi.
Data Global Forest Watch dan Forest Watch Indonesia mengungkap bahwa sepanjang tahun 2009 hingga 2013 saja, Indonesia kehilangan hutan seluas 4,6 juta hektar. Itu berarti, setiap menit, Indonesia kehilangan hutan seluas tiga kali lapangan sepak bola.
Data forest watch Indonesia mengungkapkan, luas wilayah hutan Indonesia pada tahun 1950 diperkirakan 193 juta hektar. Tahun 2009, luas hutan Indonesia berkurang lebih dari setengahnya, menjadi cuma sekitar 88 juta hektar. Lalu, tahun 2013, jumlahnya tinggal sekitar 82 juta hektar.
Penelitian Centre for International Forestry Research (CIFOR) mengungkap fakta menyedihkan. Akumulasi karbon di wilayah gambut Indonesia membutuhkan waktu hingga 11.000 tahun, sementara pelepasan karbonnya berlangsung sangat cepat. Dari 3.300 ton karbon yang tersimpan di lahan gambut, setengahnya akan hilang dalam 100 tahun terakhir akibat konversi gambut menjadi lahan kelapa sawit. Jumlah karbon yang hilang setara dengan jumlah karbon yang terakumulasi selama 2.800 tahun.
Bila pelepasan karbon di lahan gambut terus terjadi, emisi karbon Indonesia akan tinggi. Indonesia akan gagal memenuhi target penurunan emisi karbon 26 persen pada tahun 2020 seperti dijanjikan oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Masalah lingkungan hidup di Indonesia, selain hutan, terdapat lagi pencemaran logam berat merkuri. Penambangan emas secara liar, tambang batubara, serta sektor minyak dan gas mengakibatkan merkuri yang berbahaya terlepas ke lingkungan, pun kualitas sungai di Indonesia sangat memprihatinkan, KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) pada juni 2016 menyebutkan bahwa kondisi air sungai di Indonesia dalam kategori tercemar berat (sains.kompas.com, 22/04/15)
Kita seharusnya mengerti bahwa negeri ini merupakan negeri pilihan, segala karunia Tuhan yang ada, mestinya mampu digunakan untuk mendistribusikan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka, terjawab sudah, bahwa tidak berbanding lurusnya kesejahteraan rakyat dengan kekayaan alam yang ada adalah akibat dari ulah manusia itu sendiri.
Pemerintah perlu membuat isu pencemaran lingkungan sebagai fokus utama di dalam kebijakannya. Sebagai paru-paru dunia seharusnya Indonesia malu, karena tidak amanah dalam menjaga buminya. Menjaga bumi adalah soal memberikan mandat kepada generasi mendatang, namun apalah artinya jika generasi mendatang tidak dapat lagi menikmati udara, alam, sungai, laut yang segar dari negeri kaya raya ini. Bahwa kita sangat dzolim memberikan alam rusak kepada generasi mendatang setelah dihisap dan dieksploitasi secara komersil.
Pilihan ada  pada rakyat Indonesia, jika ingin eksistensi alam Indonesia mampu mendukung keberlangsungan hidup maka kita harus berubah dan berbenah. Data yang telah penulis uraikan tadi menjadi sinyalemen bahwa alam Indonesia sudah kronis, dibutuhkan penanganan tepat dan segera. Hari demi hari alam Indonesia terus mengalami kerusakan. Sudah saatnya, semua elemen bangsa bahu membahu merawat bumi Indonesia.
Di momentum hari lingkungan hidup ini, langkah-langkah yang berorientasi pada pelestarian lingkungan harus segera dilakukan baik oleh masyarakat maupun pemerintah, karena menjaga lingkungan hidup adalah harga mati. Selamat Hari lingkungan hidup se-dunia!

                                                                                                   ————– *** —————

Rate this article!
Tags: