Menjamin Rasa Keadilan

Rasa keadilan terketuk oleh putusan Kasasi Mahkamah Agung tentang frasa “disita negara” terhadap kasus penggelapan dana masyarakat. Ribuan calon umroh yang dijaring biro travel First Travel, terancam tidak dapat menerima pengembalian uang yang telah disetor. Setelah dipersepsikan miring (tidak memenuhi rasa keadilan) secara luas, terkesan saling lempar materi konsep penegakan hukum. Sehingga diperlukan “kehadiran” negara menjadi penegak hukum yang berkeadilan.
Kasus penggelapan dana umroh oleh biro travel First Travel, telah inkrah. Pasangan suami dan istri bos First Travel, dihukum pidana penjara masing-masing 20 tahun dan 18 tahun. Namun terdapat putusan majelis kasasi yang mengagetkan masyarakat luas. Yakni, seluruh aset First Travel (barang bukti) dirampas oleh negara. Padahal tuntutan jamaah (melalui tuntutan Jaksa), hasil lelang aset First Travel dikembalikan untuk jamaah.
Tetapi putusan Pengadilan (sejak tingkat pertama, di PN Depok), putusan banding, hingga kasasi, telah dinyatakan barang-barang bukti dirampas untuk negara. Ini sesuai pasal 39 KUHP juncto pasal 46 KUHAP. Bahkan putusan Pengadilan didasarkan pada fakta persidangan. Yakni, muncul surat pernyataan penolakan Pengurus Pengelola Aset Korban terhadap pengembalian barang bukti. Pengurus hanya terdiri seratusan orang, bertindak atas nama korban.
Seharusnya majelis meng-ungkap penyebab munculnya surat penolakan “asosiasi” korban First Travel. Asosiasi korban, bukan lembaga pemerintah, bukan pula kelompok bisnis profesional. Mustahil asosiasi bisa mengurus pengembalian aset milik 63 ribu korban. Maka wajar asosiasi menolak mengurus pengembalian aset, yang tersebar sampai di luar negeri (London). Majelis, seharusnya mengambil putusan hukum dengan inovasi “penyerahan pengembalian aset korban melalui Kementerian negara untuk diteruskan kepada jamaah korban.”
Negara wajib hadir pada kasus pidana yang melibatkan ribuan korban. Masih banyak kasus sejenis, persis serupa. Juga sedang dalam putusan kasasi. Yakni, korban pencucian uang jamaah umroh oleh travel Abu Tours. Total kerugian jamaah senilai Rp 1,2 trilyun. Tetapi aset Abu Tours yang ditemukan hanya senilai Rp 200 milyar. Dalam hal ini negara memiliki kewajiban meng-investigasi dana jamaah. Sebab bisa jadi, dana digunakan membiayai kegiatan radikalisme maupun terorisme.
Dalam ranah pidana, konstitusi juga memberi kewenangan “yudikatif” kepada presiden sebagai Kepala Negara. Tetapi tidak termasuk masalah pengembalian uang atau kekayaan kepada pemilik asal. Namun konstitusi secara nyata melindungi kapita personal (kekayaan milik per-orangan) setiap warga negara. Presiden bisa meminta Menteri Keuangan membuat “neraca nol,” terhadap uang jamaah yang dirampas negara. Sekaligus meminta Kementerian Agama bertanggungjawab mengembalikan uang jamaah secara proporsional.
UUD pasal 28G ayat (1), menyatakan, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan … .” Secara lex specialist tentang kapita personal, UUD pasal 28H ayat (4), menyatakan, “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.”
Maka tidak boleh ada yang merampas harta benda milik perorangan. Tak terkecuali negara. Kecuali negara dengan pemimpin yang zalim. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) juga bukan negara komunis yang menafikan aset personal. Kepemilikan pribadi juga tidak boleh “dirampas” melalui Pengadilan, yang dianggap tidak memenuhi rasa keadilan.
Penegakan hukum tidak sepatutnya cuma bersandar bukti formil materiil. Melainkan lebih pada profesionalisme (penyelidikan, penyidikan, dan pengungkapan kebenaran) serta rasa keadilan. Terutama tanggungjawab hakim “atasnama Tuhan.”

——— 000 ———

Rate this article!
Menjamin Rasa Keadilan,5 / 5 ( 1votes )
Tags: