Menyamankan Pelaksanaan UN

Logo Dinas Pendidikan.png (1)Mulai bulan Maret ini peserta didik kelas IX (SMP) dan kelas XII (SMU, MA dan SMK) sudah mulai intensif mempersiapkan diri mengikuti Ujian Nasional (Unas).  Sekolah dan lembaga bimbel (bimbingan belajar) mulai menyelenggarakan try-out. Orangtua murid juga sudah bagai habis-habisan mengeluarkan biaya persiapan, agar anaknya lulus Unas dengan memperoleh nilai baik. Hasil Unas bisa digunakan untuk “tiket” masuk ke pendidikan lebih tinggi.
Siap atau tidak siap, Unas harus dijalani. Toh sebenarnya, berbagai ujian serupa sudah sering dihadapi, walau istilahnya bukan Unas. Biasanya memakai istilah UTS (ujian tengah semester), atau UAS (ujian akhir semester). Bahkan, mulai pekan ini tingkat SLTA sudah mulai ujian sekolah. Biasanya pula masih ditambah, mengikuti try-out. Bedanya, berbagai ujian itu materi soal-soal dibuat oleh sekolah sendiri. Sedangkan materi Unas dibuat oleh pemerintah. Apakah ada bedanya?
Unas, harus diakui masih merepotkan seluruh stake-holder kependidikan. Pemerintah daerah (Diknas) repot karena anggaran UN tidak dapat dicairkan untuk termin pekerjaan yang sedang dibutuhkan. Biaya pengawas se-jawa Timur, belum dicairkan sampai H-1 pelaksanaan UN. Sekolah, juga direpotkan karena hak evaluasi hasil belajar lembaga pendidikan “diambil-alih” oleh pemerintah pusat.
Tetapi yang lebih direpotkan adalah orangtua murid, karena harus menambah biaya bimbingan belajar (bimbel) anak-anak untuk menjamin nilai kelulusan yang baik. Terutama untuk anak-anak SMP, nilai kelulusan akan menjadi tiket utama untuk memasuki sekolah (SMU/MA dan SMK) negeri maupun sekolah favorit. Selain gratis (dibiayai pemerintah), sekolah negeri rata-rata memiliki mutu pengajaran lebih baik.
Tahun ini, Unas SMP dan SLTA masih diselenggarakan terpusat oleh Kemendikbud, dengan beberapa perbaikan. Tahun lalu Unas diperburuk dengan lembar jawaban yang mudah sobek (manakala dihapus). Tahun ini digunakan kertas  lembar jawaban seberat 100 gram, hampir setara kertas cover. Sedangkan lembar soal menggunakan bahan kertas seberat 80 gram, lebih baik dari kertas surat pemerintahan. Sehingga diharapkan peserta Unas lebih nyaman.
Karena itu biaya pencetakan naskah Unas dialokasikan sebesar Rp 124 milyar. Namun syukur, realisasi lelang hanya sebesar Rp 88,6 milyar. Tapi yang penting sebenarnya bukan hanya tentang kertas lebih berkualitas, melainkan naskah soal Unas. Banyak peserta kesulitan memahami bahasa soal. Sangat berbeda dengan bahasa guru maupun bahasa pada soal ujian di sekolah. Seolah-olah Unas menggunakan bahasa “lain.”
Nampaknya bukan guru SMP yang membuat soal. Begitu pula Unas SLTA. Bahkan liku-liku bahasanya terkesan menjebak. Banyak yang terpeleset dan salah memahami soal, sehingga jawaban yang dipilih pun salah. Tetapi peserta didik yang mengikuti bimbel di luar sekolah, seolah-olah cukup memahami bahasa materi soal. Nampaknya, bimbel telah membiasakan diri dengan bahasa Unas.
Bersyukur, Kemendikbud telah “melepas” penyelenggaraan Unas SD kepada Pemda. Sehingga bahasa pengantar Unas (mudah-mudahan) bisa lebih mudah dipahami. Unas SD telah berganti menjadi ujian sekolah (Usek). Kisi-kisi materi soal dibuat oleh tim guru-guru sekolah se-rayon. Dengan Usek, beban psikologis yang ditanggung murid SD lebih kendur.
Banyak orangtua tak tega melihat ketegangan anak-anak menghadapi Unas. Tak jarang, orangtua memilih “jalan pintas” dengan cara tidak mulia. Antaralain mencari kunci jawaban secara ilegal. Tetapi Unas pada tahun ini, tidak mudah lagi. Sekarang, setiap ruang kelas lokasi Unas akan terdiri dari 20 jenis soal. Artinya, materi soal yang dihadapi berbeda dengan teman bangku sebelah.
Variasi soal Unas sebenarnya telah diberlakukan sejak tiga  tahun silam (walau hanya dalam 5 varian). Namun toh, banyak yang memperoleh bocoran jawaban lengkap setiap varian! Bagaimana Kemendikbud menggaransi kemurnian hasil Unas? Wallahu a’lam. [000]

Rate this article!
Tags: