Menyikapi Covid 19, Haruskah Kita Abaikan Aspek Agama?

Oleh ;
Lia Istifhama
Ketua III STAI Taruna Surabaya

مَا يُبَدَّلُ الْقَوْلُ لَدَيَّ وَمَا أَنَا بِظَلامٍ لِلْعَبِيدِ
Keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah dan Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Ku (Al-Qaaf: 29)

Wabah corona covid 19 harus diakui, telah merubah berbagai pola dan perilaku kehidupan seluruh wilayah di muka bumi. Kebijakan social distancing yang diterapkan oleh banyak negara sangat membatasi akses sosial masyarakat asosional saat ini. Ini tentu bukan fakta yang menyenangkan, namun justru harus menjadi keprihatinan banyak pihak. Jika sebelumnya ikatan sosial dalam komunitas terbentuk melalui pertemuan langsung maupun tidak langsung melalui sosmed, kini tertinggal hanya dengan satu cara, yaitu sosmed saja. Perubahan pola ikatan sosial pernah diteliti oleh Alexis de Tocqueville (1830an) tentang kehidupan asosiasional di Amerika, bahwa perkembangan teknologi menimbulkan kemerosotan nilai-nilai asosional sehingga berdampak melemahkan modal sosial yang sebelumnya terbangun kuat. Dilanjutkan oleh Coleman dalam bukunya, Social Capital in the Creation of Human Capital, bahwa modal sosial yang rendah memiliki dampak meningkatnya kriminalitas. Dampak lebih besar disampaikan oleh Ibnu Khaldun (Mukaddimah, 1377) dan Fukuyama (The Great Disruption, 1999), yaitu modal sosial rendah menimbulkan low trust terhadap negara sehingga mengganggu kestabilan suatu negara.
Nah, pertanyaan sekarang sederhana, akankah suatu wabah bisa berimplikasi penurunan modal sosial suatu negara? Wallahu a’lam bisawwab.
Beragam pakar secara terbuka bahkan lantang mendesak pemerintah melakukan lockdown, sebuah desakan yang menandakan bahwa kebijakan local distancing dianggap kurang efektif. Di sisi lain, pemerintah dengan begitu banyak pertimbangan, menolak pemberlakuan lockdown.
“Setiap negara memiliki karakter berbeda-beda, budaya berbeda-beda, dan kedisplinan yang berbeda-beda”, tegas Presiden ke 7 Indonesia, Joko Widodo. Yang disampaikan orang nomer satu di negri ini cukup bisa dipahami, bahwa suatu kebijakan tidak perlu kontra dengan identitas asli suatu bangsa. Bahkan Islam sendiri, melalui kaidah Islam, shalli li kulli zaman wal makan, telah jelas mempertegas pentingnya panutan yang universal, yang bisa secara adaptif diterima semua pihak. Bahwa Islam relevan atau selaras dengan waktu dan tempat. Aturan yang sudah syar’I tentu tidak boleh diabaikan atau dilanggar, namun ada begitu banyak aspek yang penerapannya harus sesuai dengan kondisi suatu wilayah.
Begitupun dengan kebijakan yang diterapkan terkait wabah corona. Menjaga kesehatan lingkungan, adalah hal yang sudah sangat digariskan, termasuk Islam, melalui hadis Annadzoofatu minal iimaan, kebersihan sebagian dari Iman. Namun pemutusan rantai modal sosial dengan dalih memutuskan tali corona kiranya harus ditelaah secara detail, istilah Suroboyoane ojok ujhug-ujhug. Harus begitu banyak pertimbangan dan segala hal diterapkan secara parsial, bertahap, dan selalu diiringi evaluasi sesuai perkembangan terkini. Terlebih, perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan dengan segala kesederhanaan seyogyanya harus terus melekat sebagai bentuk karakter bangsa yang kuat. Gotong royong dan kebersamaan yang terbangun di dalam hubungan sosial bangsa ini merupakan potensi modal sosial yang seharusnya tidak boleh dinafikan. Modal sosial yang tinggi, adalah cermin negara yang kuat. Begitupun dengan gotong royong yang sudah menjadi karakter bangsa, sesuai penjelasan Islam tentang sikap at-ta’awuun dalam Q.S Al Maidah ayat 2: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” Ayat tersebut memuat perintah (‘amr) tolong-menolong antara sesama manusia (hablum minannaas). Hal ini seharusnya menjadi dasar bahwa segala permasalahan seharusnya bisa dihadapi dengan ikhtiar gotong royong bersama-sama.
Kemudian, mari kita pahami hikmah dari sejarah peradaban manusia di masa lalu, yaitu ketika terjadi wabah Thaun Amawas di era Umar Bin Khattab (18 H). Saat itu sebenarnya telah diberlakukan isolasi diri, yaitu tidak mencampurkan yang sakit dengan yang sehat. Namun penyakit tetap mampu merenggut banyak umat, bahkan konon, mengakibatkan 25.000 korban meninggal dunia. Langkah antisipasi ketika terjadi penyakit di suatu wilayah, memang harus dikedepankan. Rasulullah pun telah menjelaskan dalam sebuah hadis. “Apabila terjadi dalam satu negeri suatu wabah penyakit dan kamu di situ janganlah kamu ke luar meninggalkan negeri itu. Jika terjadi sedang kamu di luar negeri itu janganlah kamu memasukinya.” (HR. Bukhari).
Kembali pada bentuk isolasi diri, apakah akan sangat efektif jika lockdown total seperti yang didesak oleh mereka yang selama ini mengkritik pemerintah? Ataukah, lockdown total tidak sepenuhnya menghentikan wabah corona? Wallahu a’lam. Dalam Islam, prinsip berhati-hati memang harus, namun ingat, jangan sampai melampaui batas (ghuluw). Seorang mukmin sejati tentu menyadari pentingnya membangun masyarakat madani, terutama dalam situasi saat ini. Masyarakat madani, atau yang disebut benevolent society, yaitu masyarakat kebajikan, melakukan tindakan yang baik (al-khair) menuju falah (kemenangan), untuk diri sendiri dan orang lain, sesuai kaidah ukhuwwah islamiyyah.
Saling mawas diri, tetap menjaga kebajikan, dan senantiasa bertawakkal dalam masa yang sulit, kiranya itulah yang terbaik daripada menyalahkan maupun menuding orang lain. Ini sangat penting agar situasi sulit tidak semakin menambah kepanikan akibat sikap berlebihan menanggapi wabah corona. Fakta berbicara, corona menjadikan begitu banyak orang khawatir, khawatir tertular dan khawatir tertuduh menjadi sarang penularan penyakit tersebut. Sebuah contoh lapangan bahkan menunjukkan, seorang perawat di sebuah rumah sakit diusir dari tempat kosnya hanya disebabkan pemilik dan warga kos berpikir perawat tersebut rentan menyebarkan virus covid 19. Suatu fakta yang harus menjadi keprihatinan kita selain situasi ekonomi yang tidak baik bagi semua orang. Ketenangan dalam menyikapi musibah, dan bertabayyun dalam menerima hoax, itu sangat penting dalam pematangan diri. Kita yang kini memasuki usia dewasa, adalah potret yang dapat diteladani oleh generasi setelah kita. Ingin menjadi uswatun hasanah ataukah uswatun sayyi’ah? Maka kesehatan akal kita tentu menolak bentuk diri kita sendiri sebagai uswatun sayyi’ah, yaitu contoh yang buruk bagi orang lain.
Begitupun tentang pandangan terhadap pasien corona. Penting sekali untuk selalu membangun persepsi, bahwa corona bukan aib, melainkan wabah yang sama halnya dengan semua penyakit sepanjang kehidupan manusia, bisa diderita oleh siapapun, dan bisa mengakibatkan manusia meninggal, semua tentu atas dasar ketentuan Allah SWT jika kita beriman. Seperti yang ditulis di awal, Allah SWT berkuasa atas segala keputusan-Nya dan bukan sebagai bentuk menganiaya hamba-hamba-Nya. Kado dari kesabaran, buah dari sikap tawakkal, telah digariskan Allah SWT dalam surat Al-Qaaf 30-34:
(Dan ingatlah akan) hari (yang pada hari itu) Kami bertanya kepada Jahannam: “Apakah kamu sudah penuh?” Dia menjawab: “Masih adakah tambahan?”. Dan didekatkanlah surga itu kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang tiada jauh (dari mereka). Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertobat, masukilah surga itu dengan aman, itulah hari kekekalan.
__________

Tags: