Menyikapi Kontroversi Surat Walikota

Oleh :
Hananto Widodo
Dosen Hukum Tata Negara dan Ketua Pusat Kajian Hukum dan Pembangunan (PKHP) Universitas Negeri Surabaya

Akhir-akhir ini jagad media sosial dikagetkan dengan beredarnya Surat Walikota Surabaya. Surat Walikota No. 421.4/5853/4368.4/2020 mewajibkan bagi peserta Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) masuk Perguruan Tinggi Negeri ini untuk melakukan rapid test atau Swab Test. Publik Surabaya tentu memahami, tujuan dari rapid test atau Swab Test ini untuk memutus rantai penularan Covid-19 di Surabaya, yang dari hari ke hari angka penularannya tidak kunjung turun.

Jika melihat pada isi surat Walikota di atas, maka surat tersebut bukan hanya masuk pada wilayah kebijakan rapid test atau Swab test yang mengundang kontroversi di kalangan publik Surabaya, tetapi juga terkait dengan nalar hukum yang dibangun yang melandasi dikeluarkannya Surat Walikota tersebut.

Dalam bidang kesehatan, para ahli mengatakan bahwa hasil rapid test itu tidak menjamin seseorang itu terinfeksi Covid-19 atau tidak. Swab Test memang lebih menjamin tetapi untuk melakukan Swab Test membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Sementara itu, terkait dengan nalar hukum dibalik terbitnya Surat Walikota tersebut juga bukan persoalan yang remeh. Kita tidak bisa hanya menggunakan logika, demi keselamatan rakyat maka Walikota boleh mengeluarkan kebijakan sesuai dengan kehendaknya semata tanpa didasari dengan akal sehat. Yang paling menyita perhatian publik adalah pada point kedua yang menyatakan “Seluruh peserta UTBK dalam Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) wajib menunjukkan uji Rapid Test dengan hasil non reaktif atau Swab Test dengan hasil negatif yang dikeluarkan selambat-lambatnya 14 hari sebelum mengikuti ujian kepada panitia.”

Point kedua ini menjadi kontroversi sebab surat ini keluar pada tanggal 2 Juli 2020, sedangkan UTBK diselenggarakan tanggal 5-12 Juli 2020. Oleh karena itu Surat Walikota itu dianggap tidak masuk akal. Namun, selain terkait point kedua itu ada persoalan hukum yang lebih penting. Sebab jika persoalan hukum ini diabaikan dan dianggap biasa maka akan menjadi preseden buruk bagi tata kelola pemerintahan di level daerah.

Merujuk pada bagian “memperhatikan” maka akan terlacak alasan dikeluarkannya Surat Walikota ini. Pada bagian “memperhatikan” dalam Surat Walikota itu, dengan sangat jelas terlihat bahwa keluarnya Surat Walikota tersebut karena adanya permohonan izin dari beberapa pimpinan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Surabaya. Pertanyaan hukum yang muncul, tepatkah pimpinan PTN mengajukan permohonan izin terhadap Walikota Surabaya?

Menurut Bruggink (2011), izin merupakan pembolehan khusus terhadap sesuatu yang dilarang. Artinya norma izin bisa ada jika ada norma larangan terlebih dahulu, karena izin merupakan pengecualian terhadap larangan. Apakah menyelenggarakan UTBK merupakan larangan sehingga harus ada izin ? UTBK merupakan ujian seleksi mahasiswa baru yang setiap tahun diadakan oleh Pemerintah dalam rangka menyaring mahasiswa yang layak masuk dalam Perguruan Tinggi Negeri. Jika ini terkait dengan pandemi Covid-19 yang sedang melanda berbagai negara di belahan dunia termasuk Indonesia, maka ini bukan alasan sebagai dasar untuk mengajukan permohonan izin. Apalagi antara pimpinan PTN dan Walikota Surabaya tidak ada hubungan hierarkhis. Karena izin hanya dapat diajukan oleh warga kepada pejabat yang berwenang dan oleh pejabat kepada pejabat atasannya.

Oleh karena itu, sangat aneh jika pimpinan PTN mengajukan permohonan izin kepada Walikota Surabaya terkait dengan akan diselenggarakan UTBK di beberapa PTN di Surabaya di tengah pandemi Covid-19. Yang paling tepat seharusnya pimpinan PTN tidak mengajukan permohonan izin kepada Walikota Surabaya, tetapi pemberitahuan kepada Walikota Surabaya. Terdapat perbedaan konsekuensi hukum antara izin dan pemberitahuan. Izin mengandung konsekuensi lahirnya hak dan kewajiban bagi masyarakat atau pejabat, misalnya ketika masyarakat mendapatkan izin usaha maka warga masyarakat yang bersangkutan diperbolehkan untuk mendirikan usaha sesuai dengan syarat yang ditentukan dalam izin usaha tersebut. Sedangkan pemberitahuan tidak membawa konsekuensi terhadap lahirnya hak dan kewajiban bagi pihak yang mengajukan pemberitahuan. Dengan demikian pihak yang diberitahu tidak dapat memerintahkan kepada yang mengajukan pemberitahuan untuk melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh pejabat yang diajukan pemberitahuan itu.

Jika pemberitahuan diajukan oleh PTN kepada Walikota maka dapat ditindaklanjuti dengan koordinasi antara pemerintah kota Surabaya dan PTN sebagai penyelenggara UTBK. Koordinasi itu bisa terkait dengan pelaksanaan teknis protokol kesehatan dan pengaturan lalu lintas di sekitar tempat diselenggarakannya UTBK. Persoalan hukum lainnya adalah terkait bentuk hukum kewajiban peserta UTBK dalam Surat Walikota. Surat Walikota inipun tidak jelas status hukumnya. Apakah dia sekedar surat atau peraturan kebijakan (beleidregels). Secara substantif, Surat Walikota tersebut berupa instruksi Walikota kepada pimpinan Perguruan Tinggi Negeri. Jika instruksi itu dilakukan oleh Menteri yang membidangi Pendidikan kepada pimpinan PTN, maka dapat dikategorikan sebagai Peraturan Kebijakan, tetapi instruksi ini dilakukan oleh Walikota kepada pimpinan Perguruan Tinggi Negeri yang notabene bukan bawahan Walikota.

Kewajiban melakukan rapid test atau swab test bagi peserta UTBK harusnya diatur dalam Permendikbud, bukan dengan Surat Walikota yang tidak jelas status hukumnya. Memang upaya pencegahan penularan Covid-19 bukan hanya tanggungjawab Kepala Daerah, tetapi semua pemangku kepentingan juga harus terlibat dalam upaya ini. Namun demikian, lahirnya Surat Walikota Surabaya ini tidak terlepas dari ketidakjelasan baik dari aspek regulasi maupun dalam aspek praktik terkait dengan upaya pencegahan penularan Covid-19 selama ini. Oleh karena itu, lahirnya Surat Walikota Surabaya yang aneh ini dapat dikatakan sebagai bentuk mata rantai ketidakjelasan kebijakan Pemerintah dalam memutus penularan Covid-19 ini.

———- ***———–

Rate this article!
Tags: