Menyoal Calon Tunggal di Pilkada

foto ilustrasi

Menjelang dilaksanakannya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 9 Desember 2020 mendatang, suhu temperatur politik tanah air bisa terbilang cukup pemanas. Realitas tersebut terbuktikan dengan adanya perdebatan publik yang akhir-akhir ini tengah ramai menyoroti dan membicarakan soal potret dinasti politik dan prospek besar munculnya calon tunggal di Pilkada mendatang.

Pada dasarnya, perdebatan publik tersebut bukan tanpa alasan. Karena, memang secara filosofis pemilihan kepala daerah merupakan pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk dipilih dan memilih dalam suatu proses pemilihan yang berlangsung secara demokratis. Faktanya terjadi peningkatan jumlah daerah yang melaksanakan pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal.

Fakta itu bisa dibuktikan dari beberapa daerah yang berpotensi pasangan calon melawan kotak kosong. Salah satunya Pilkada Kota Surakarta yang hampir pasti diikuti putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka. Padahal, konstruksi UU No. 8/2015 tentang Pilkada mensyaratkan minimal dua pasangan calon kepala daerah. Namun, kalaupun jika pada prakteknya ternyata daerah hanya punya satu calon tunggal maka tetap dikatakan syah, dengan pertimbangan untuk memberi kepastian berjalannya demokrasi, memutuskan pilkada tetap dilaksanakan sekalipun hanya dengan calon tunggal.

Realitas tersebut, diperkuat melalui Melalui keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.100/PUU-XIII/2015 dalam kartu suara untuk daerah dengan calon tunggal, hanya ada pilihan setuju atau tidak terhadap calon tersebut, sehingga bisa terkatakan mirip referendum. Bahkan, keputusan MK tersebut kemudian diadopsi dalam Pasal 54C UU No. 10/2016 tentang Pilkada. Pasal itu menyebutkan pemilihan pasangan calon tunggal bisa dilaksanakan jika setelah penundaan dan memperpanjang pendaftaran tetap hanya ada satu pasangan bakal calon yang mendaftar, maka calon tunggal yang ada dapat dikatakan syah selama memenuhi syarat.

Persoalan selanjutnya adalah lalu apa yang bisa diharapkan masyarakat bila pilkada tanpa kontestasi? Masyarakat serasa dijebak pada model demokrasi representatif. Partai politik condong memegang kendali sepenuhnya. Sedangkan, masyarakat tidak diberi pilihan. Kita tentu tidak ingin demokrasi artifisial terus berlangsung bahkan semakin membesar. Besar harapan, ikhtiar bisa dilakukan melalui inisiatif pemerintah, misalnya mengatur prosentase dukungan maksimal partai politik dalam mengusung calon kepala daerah.

Ani Sri Rahayu
Pengamat Politik Universitas Muhammadiyah Malang

Rate this article!
Tags: