Menyoal Dinamika Mayoritas

Nurudin

Oleh:
Nurudin
Dosen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang

Tujuan awal dari perjuangan politik itu apalagi kalau bukan menciptakan mayoritas. Sebab dengan mayoritas semua akan bisa diraih. Tercapainya mayoritas adalah penentu kesuksesan karir seseorang dalam politik. Itulah kenapa mayoritas menjadi alat untuk meraih tujuan.
Dalam literatur politik selama ini kita dikenalkan sebuah asumsi bahwa politik itu untuk maraih kekuasaan. Asumsi ini tidak salah hanya tidak seratus persen benar. Dalam perkembangannya bagaimana seseorang ingin mencapai kekuasan politik tanpa menguasai mayoritas adalah mustahil.
Seorang yang meraih kekuasan jelas membutuhkan mayoritas. Ini dimulai dari Pemilihan Umum (Pemilu). Seseorang awalnya hanya perlu memenangkan kompetisi politik agar disebut sebagai pemenang. Setelah ia menang, ia akan terlibat untuk menyusun kekuasaan. Untuk mencapainya ia membutuhkan dukungan politik. Dukungan politik awal yang harus dibangun adalah menguasai mayoritas. Jika itu berkaitan dengan alat-alat negara, seorang kepala negara harus menguasai parlemen pula.

Berkaca pada Amerika
Kita bisa melihat contoh dari berbagai kajian para pemimpin politik di dunia ini. Salah satu contohnya pesaingan antara partai Demokrat dan Republik di Amerika Serikat (AS). Semua presiden akan terlibat dalam usaha menciptakan mayoritas dan menguasai berbagai kebijakan dengan mayoritas tersebut.
Bagaimana jika mayoritas sulit diwujudkan? Ada kalanya seorang kepala negara menggunakan kekuasaannya untuk mencapai itu. Presiden Barack Obama pernah melakukannya di tengah gempuran dan caci maki kubu partai Republik. Bahkan dengan cara intoleransi sekalipun.
Banyak istilah yang dialamatkan pada Obama. Misalnya “teroris”, “keturunan Islam”, “bukan asli keturunan Amerika”, dan “penghianat”. Mengapa itu dilakukan partai Republik? Karena partai itu sedang terlibat dalam usaha merebut kekuasaan. Sementara itu partai Republik juga menguasa parlemen. Maka untuk memuluskan berbagai kebijakann yang mulai dirongrongnya itu, Obama pun membalas.
Ia pernah mengatakan, “Kami tak bisa menunggu Kongres yang makin tak berfungsi untuk bekerja” katanya kepada audiens di Nevada. “Kalau mereka tak mau bergerak, saya akan bergerak”. Obama menggunakan kemudian menggunakan wewenangnya sebagai presiden yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.
Tahun 2010, diharapan Kongres yang gagak menyepakati satu rancangan udang-undang energi, dia mengeluarkan suatu “memorandum eksekutif” yang memerintahkan lembaga-lembaga pemerintah menaikkan standar efisiensi bahan bakar untuk mobil. Memorandum ini dikeluarkan karena tak mendapat persetujuan Kongkres. Contoh di atas membuktikan bahwa mengejar mayoritas untuk menguasa parlemen sering penting dilakukan.
Pelajaran yang bisa kita petik adalah parlemen sering kali menjadi kunci eksekusif agar segala kebijakannya berjalan dengan baik. Maka, menguasai parlemen sering kali dilakukan. Contoh lain misalnya kepala negara ingin menaikkan pajak maka ia membutuhkan dukungan aturan yang harus dilegitimasi oleh anggota dewan. Jika tidak maka kebijakan untuk alokasi pembangunan dan kebijakan lain tidak akan berjalan sesuai harapannya.

Banyak Contoh
Maka jauh-jauh hari seorang kandidat akan menata sedemikian rupa bagaimana mayoritas bisa didapatkan. Ini menjadi naluriah para politisi. Tiadanya mayoritas akan membuat segala kebijakan akan terhambat.
Kita bisa ambil contoh pada Pemilu tahu 2014. Waktu itu Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN) beroposisi terhadap pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Bahkan dua partai itu awalnya ikut memengaruhi dinamika parlemen sebagai oposisi. Namun, ternyata dua partai itu akhirnya ikut dalam koalisi pemerintahan, setidaknya ada anggota partai yang mendapat jatah menteri.
Jokowi tentu tetap berhitung, segala kebijakannya akan terhambat sedemikian rupa jika ia tidak “menguasai” parlemen. Tentu politik dagang sapi menjadi pilihan sebagaimana yang juga dilakukan para politisi lain. Maka, nyaris setiap kebijakan Jokowi tak mendapat tentangan serius dari parlemen. Karena Jokowi sudah menguasai parlemen pula.
Keinginan menguasai mayoritas, sebagainana dilakukan pada tahun 2014, terus dilaksanakan sampai menjelang batas akhir kepemimpinannya tahun 2019. Hal demikian juga akan dilakukan oleh oposisi jika berkuasa. Oposisi akan berusaha mendapatkan dan menguasai menguasai mayoritas.

Tetap Penting
Begitu pentingnya mayoritas sampai ada ide untuk memberlakukan Pemilu serentak tahun 2019. Dengan adanya Pemilu serentak ini, keinginan untuk menguasai mayoritas sudah bisa ditata sejak sebelum Pemilu. Dalam posisi ini masing-masing yang punya kandidat dan ingin menguasai jabatan eksekutif harus jauh-jauh hari melakukan “dagang sapi”. Jika tidak, ia tak punya waktu banyak menyusun strategi.
Hal demikian sangat berbeda dengan Pemilu 2014, dimana koalisi baru hanya dimemungkinkan setelah Pileg. Pemilu 2019 membuat semua Partai harus sesegera mungkin merapat dan ikut menentukan sikap berkoalisi. Partai-partai baru tak ada pilihan lain kecuali harus merapat ke petahana. Ini tentu realistis secara politis.
Maka, Pemilu dimanapun dan kapanpun itu sebenarnya adalah perjuangan mendapatkan mayoritas. Apalagi dalam sistem demokrasi dimana suara mayoritas menjadi penentu, konsekuensinya mayoritas-lah yang akan dikejar untuk memperebutkan kekuasaan.
Memang menguasai mayoritas itu penting untuk menjamin kekuasaan politik. Masalahnya, mayoritas yang sudah kelewat batas akan memperiferikan oposisi. Setiap kekuasaan dalam bentuk apa pun punya kecenderungan disalahgunakan. Maka, memberikan ruang gerak pada gerakan oposisi, dengan segala plus minusnya menjadi pilihan yang tidak bisa dihindari. ***

Rate this article!
Tags: