Menyoal Politik Dinasti dan Dinamikanya

Oleh:
Ani Sri Rahayu
Dosen Civic hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

Kata dinasti politik akhir-akhir ini, ramai menjadi perbincangan jagad politik tanah air. Semua itu bukan tanpa alasan, mengingat masyarakat semakin didekatkan pada agenda diberlangsungkannya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 9 Desember 2020, dengan total daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2020, yaitu sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 Provinsi (Gubernur), 37 Kota (Walikota) dan 224 Kabupaten (Bupati).

Sistem Pilkada serentak yang diselenggarakan tahun ini merupakan yang keempat kalinya, setelah sebelumnya sukses penyelenggaraannya di tahun 2015, 2017, dan 2018. Evalusi dalam pelaksanaan Pilkada itupun, tidak bisa terhindarkan. Salah satu sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari adalah muncul dan maraknya politik dinasti.

Pro dan kontra politik dinasti

Politik dinasti merupakan aroma oligarki yang dinilai oleh sebagian publik sebagai upaya pengkerdilan demokrasi. Saat ini, aroma oligarki melalui politik dinasti semakin mencuat ke permukaan. Hal itu, dinilai dari langkah anak sulung Presiden Joko Widodo yang melangkah maju dalam pemilihan wali kota Solo 2020. Bahkan, fenomena oligarki dan dinasti politik tersebut semakin menguat dengan majunya menantu Presiden, Bobby Afif Nasution di Pilkada Medan. Nama lainnya yakni Siti Nur Azizah, putri wapres, Ma’ruf Amin, yang diusung Partai Keadilan Sejahtera untuk daerah Tangsel. Seraya, tidak mau ketinggalan, keponakan dari Prabowo Subianto, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo maju sebagai Calon Wali Kota Tangsel yang diusung PDI-P dan Partai Gerindra.

Realitas tersebut sejatinya bukan tanpa alasan, melalui Mahkamah Konstitusi (MK) tentang diperbolekannya ketentuan pencalonan kepala daerah berasal dari keluarga petahana untuk maju sebagai kepala daerah, sangatlah terlihat jelas bahwa aturan tersebut tertuang dalam Pasal 7 huruf r Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, yang menerangkan syarat calon kepala daerah tidak mempunyai konflik kepentingan dengan petahana. Sikat kata, oleh MK pasal ‘dinasti politik’ itu dihapuskan karena bertentangan dengan konstitusi dan UUD 1945. Selanjutnya, setiap warga negara Indonesia dapat menjadi calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon wali kota dan calon wakil wali kota adalah yang memenuhi persyaratan yang ditentukan undang-undang.

Berbagai persyaratan tersebut dimaksudkan untuk menghasilkan calon pemimpin daerah yang memiliki kemampuan serta menguasai ilmu dan seni memimpin, terutama bagaimana menyusun pola kegiatan yang efektif, menerapkan pola kekuasaan yang tepat dari sisi waktu dan tindakan serta lingkungan, memiliki pola kepemimpinan yang dapat menggerakkan bawahan dan masyarakat sehingga mencapai tujuan organisasi dan peningkatan kehidupan masyarakat (Kaloh, 2009: 7).

Melalui UU itulah, hingga kini menimbulkan perdebatan publik. Salah satu alasanya adalah UU tersebut dinilai sebagai bentuk pelegalan atas direstuinya politik dinasti dalam konteks demokrasi. Pro dan kontra, tidak bisa terelakkan. Ada yang setuju dan ada yang tidak setuju. Ibarat pisau bermata dua. Berada dalam situasi pro dan kotra inilah kita berusaha bisa arif dan bijaksana menggunakan etika politik dalam mengurai kompleksitas permasalahan yang melatar-belakangi politik dinasti.

Dinasti politik tidak selalu berbahaya

Selama ini politik dinasti di Indonesia, dianggap memberikan angin segar pada kerabat para petahana atau incumbent, untuk leluasa mencalonkan diri sebagai kepala daerah dalam pilkada. Sejumlah pihak menilai, putusan tersebut memuluskan praktik politik dinasti di daerah dan berpotensi mencederai demokrasi. Namun, fakta membuktikan bahwa fenomena tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia. Dinasti Bush misalnya, yang sudah menempatkan 2 anggota keluarganya sebagai Presiden Amerika Serikat: George H. W, yang menduduki Gedung Putih antara 1988 hingga 1992 sebagai presiden ke-41, dan putranya George W. Bush yang jadi presiden ke-42.

Fakta tersebut setidaknya, membuktikan bahwa walaupun sistem demokrasi telah hadir untuk memilih pemimpin pemerintahan, politik dinasti akan terus ada dan bercokol di negara-negara tersebut, termasuk Indonesia. Sejatinya, di negara-negara lain dengan institusi yang kuat, pengawasan ketat, dan keseimbangan di pemerintah, dinasti politik tidak selalu berbahaya.

Sedangkan pandangan umum, politik dinasti sangat potensial memicu penyalahgunaan kekuasaan. Pandangan lain, politik dinasti dinilai sebagai bentuk pelarangan terhadap pihak atau individu tertentu untuk mengikuti kompetisi Pilkada. Lain hal, politik dinasti dinilai melanggar hak asasi manusia atau hak konstitusional warga negara. Selanjutnya, politik dinasti dinilai sebagian pihak tidak berkorelasi dengan perilaku korupsi pejabat publik. Kompleksitas permasalahan yang melatar-belakangi politik dinasti tersebut, setidaknya perlu didekati dengan pendekatan yang sistematis, holistik, dan berkelanjutan. Berikut ini beberapa upaya yang sekiranya bisa menghilangkan implikasi negatif dari dinasti politik.

Pertama, melakukan pembatasan seseorang dari dinasti. Artinya, pembatasan terhadap seseorang, yang diperuntukan bagi kerabat dinasti yang diduga memiliki unsure hubungan kekerabatan dengan penguasa. Langkah ini, sekiranya cukup efektif untuk mencegah hadirnya dinasti politik dan muncul tokoh atau kandidat baru yang memiliki kompetensi dan kualifikasi, serta lebih menjamin pelaksanakan kompetisi secara fair.

Kedua, penegakan integritas penyelenggara Pilkada (Komisi Pemilihan Umum/KPU) dan Panitia Pengawas (Panwas) dalam penyelenggaraan Pilkada yang jujur, adil dan transparan. Mengigat, implikasi negatif dari kelemahan maupun kemungkinan kecurangan dalam Pilkada semakin berlipat bilamana pihak-pihak yang sebenarnya berperan dalam mendesain dan menegakkan aturan tidak mampu berbuat optimal.

Ketiga, menghadirkan pendidikan politik bagi partai politik dan masyarakat. Sehingga, besar harapan kecenderungan pemilih (masyarakat) menjatuhkan pilihan kepada kandidat karena keterkaitan dengan “nama besar”. Kemudian, kecenderungan masyarakat memilih kandidat melihat dari nama besar keluarga politisi tidak terjadi, karena jika realitas itu dibiarkan kontraproduktif bagi kualitas pilihan yang diberikan dan condong mengarah kepada pragmatisme.

Melalui tiga indikator diatas, semoga kompleksitas permasalahan yang melatar-belakangi politik dinasti dinegeri bisa terurai dengan baik. Begitupun, besar harapan, sikap pemilih dalam Pilkada mendatang bisa lebih berpikir jernih, dewasa, dan rasional saat menentukan pilihannya.

————- *** —————-

Tags: