Merevolusi Karakter Anak Zaman Now

Penulis:
Donny Susilo, MBA
Pemerhati Pendidikan dan Pendiri Donny and Partners
Pesatnya perkembangan teknologi memang sudah tidak diragukan lagi. Pasalnya, hal tersebut telah merubah hampir seluruh pola kehidupan masyarakat zaman sekarang. Kini semua hal bisa dicari di dunia maya, mulai dari jasa transportasi, aneka properti, berita dalam dan luar negeri, barang dan kebutuhan rumah tangga, fashion, jawaban ujian akhir nasional bahkan jasa “hiburan khusus dewasa” yang nilainya mencapai 80 juta.
Alhasil pertukaran informasi berjalan begitu cepat, sedikit kesalahan yang diperbuat saja dapat membuat kita menjadi artis dadakan. Hal itulah yang dialami seorang siswa SMP di Gresik, yang akhir-akhir ini viral di banyak media massa karena berani menantang gurunya sendiri di dalam kelas dan disaksikan semua murid lainnya karena ditegur untuk tidak merokok. Setelah hujatan-hujatan dari netizen berdatangan, begitu pula pemerintah dan polisi turun tangan, akhirnya murid tersebut meminta maaf secara terbuka dan mengaku menyesal. Namun demikian, hal tersebut rupanya tidak serta-merta menjadi pelajaran bagi yang lain. Setelah itu, muncul video viral baru yang mempertontonkan seorang siswa SMKN di Yogyakarta mendorong gurunya karena telah menyita ponselnya saat berada di kelas.
Kekhawatiran muncul karena yang muncul di media sosial baru-baru ini bisa jadi hanya fenomena puncak gunung es karena masih banyak hal-hal seperti itu terjadi di sekitar kita yang tidak diketahui oleh masyarakat. Data dari UNICEF (2015) menyatakan bahwa sekitar 50% remaja di Indonesia pernah dibully di sekolah baik itu dalam bentuk verbal maupun non-verbal. Genster remaja menjamur dimana-mana, mereka kerap meresahkan warga karena melakukan tawuran dan pembegalan layaknya genk motor. Belum lagi masalah lain seperti kecurangan saat ujian, narkotika, prostitusi remaja, pemerkosaan, cybercrime dan masih banyak lainnya.
Lantas, Siapa yang Salah?
Kalau kita menggunakan logika First Principles, kita tidak dapat menyalahkan internet sebagai biang kerok buruknya karakter anak-anak bangsa kita, karena kita tidak dapat membuktikan bahwa karakter anak-anak bangsa kita zaman dulu jauh lebih baik dibandingkan sekarang. Massifnya kriminalitas, korupsi, radikalisme dan presekusi yang sekarang ini dilakukan oleh para orang dewasa menunjukan gagalnya pembentukan karakter sistem pendidikan zaman dulu. Jika kita menyalahkan arus globalisasi, pada kenyataannnya negara lain yang lebih go global bisa lebih baik dari kita. Sebagai contoh, negara tetangga kita Singapore yang pada tahun 2018 kemarin dinobatkan sebagai negara paling aman di dunia dalam penelitian World Justice Project tahun 2018 sedangkan Indonesia berada di peringkat 49 dari 113 negara padahal 30% dari penduduk di Singapore adalah warga negara asing. Perlu adanya evaluasi ke dalam sistem pendidikan di Indonesia tanpa terus-menerus menyalahkan perubahan dari luar.
Bukan Hal Sepele
Permasalahan pembentukan karakter ini bukanlah masalah yang sepele karena nantinya, generasi muda kita akan dibutuhkan untuk mengelola negara ini. Jika mereka tidak dibentuk pengetahuan, komunikasi dan perilakunya dengan baik, maka bukan tidak mungkin penjajahan zaman modern dapat terjadi. Salah satu contoh nyata adalah perekrutan orang asing untuk bekerja di Indonesia, perusahaan tidak bisa mengambil resiko untuk merekrut orang-orang yang berpotensi melakukan korupsi, kecurangan dan kekerasan, sehingga perusahaan lebih tertarik untuk merekrut orang asing yang berkepribadian baik, terlebih lagi jika mereka memiliki multilingual skill. Hal ini jika dibiarkan, akan membuat orang Indonesia kesulitan mendapatkan pekerjaan di negaranya sendiri sehingga menjadi budak di negeri sendiri.
Solusi ala Ki Hajar Dewantara
Indonesia sebenarnya sudah memiliki konsep pendidikan berbasis pengembangan karakter yang efektif. Dilahirkan dari pemikiran hebat bapak pendidikan nasional Indonesia R.M. Soewardi Surjaningra atau yang dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara, terbentuklah definisi, teori, asas dan sistem pendidikan untuk pembentukan karakter anak-anak Indonesia. Namun patut disayangkan, kurangnya sumber daya dan pemahaman menjadi penghambat keberhasilan konsep ini.
Bapak Ki Hajar Dewantara dalam Suratman mengatakan bahwa ada 3 pusat pendidikan utama dari seorang murid yang disebut dengan “Tripusat Pendidikan” yaitu; 1) Pendidikan di lingkungan keluarga, 2) Pendidikan di lingkungan perguruan, dan 3) Pendidikan di lingkungan kemasyarakatan. Masyarakat masih berpikiran bahwa tugas orang tua selesai setelah mengirimkan anak-anaknya ke sekolah. Padahal jumlah guru dan fasilitas yang tidak memadai membuat pengawasan menjadi lemah, apalagi dengan gaji guru yang kecil maka tentu saja perekrutan guru bukanlah hal yang mudah. Guru adalah pahlawan dan adalah tugas negara untuk memberinya penghidupan yang layak sebagai tanda jasa sehingga dapat menarik orang-orang bertalenta ke dalam dunia pendidikan. Diluar sekolah, orang tua harus mau mengawasi pergaulan anak-anaknya sehingga dapat melindungi anak-anaknya dari pengaruh buruk. Wajib pendidikan 12 tahun harus didukung penuh, kebijakan gubernur baru Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa yang menggratiskan biaya SMA/SMK di seluruh Jawa Timur haruslah menjadi percontohan untuk daerah-daerah lainnya.
Sistem pendidikan berbasis pembentukan karakter ala Ki Hajar Dewantara menggunakan sistem “Among” dimana setiap Pamong atau pemimpin wajib menerapkan 3 hal yaitu yang pertama, Ing ngarsa sung tuladha artinya orang yang lebih berpengalaman dan berpengetahuan di depan memberikan contoh yang teladan. Orang-orang tersebut bukanlah hanya guru, namun pejabat, pengusaha, orang tua dan lain-lain, banyaknya contoh-contoh perilaku buruk orang dewasa yang ditayangkan di media massa mempengaruhi anak-anak kita yang masih labil untuk meniru dan melakukannya.
Oleh karena itu konten-konten berbau kekerasan harusnya lebih disortir agar tidak ditonton oleh anak-anak, CCTV perlu diperbanyak di tempat-tempat umum termasuk sekolah sehingga masyarakat lebih tertib dan tidak merasa bebas melakukan hal yang tidak sepatutnya.
Kedua, Ing madya mangun karsa artinya ditengah menjadi penyemangat, para orang dewasa diharapkan dapat memberikan dorongan agar anak-anak dapat berkarya dan berkontribusi. Penulis menyarankan agar Indonesia melakukan studi banding di Taiwan yang memiliki mata pelajaran wajib social work yang diisi dengan membersihkan lingkungan sekolah, menolong di panti jompo juga bakti sosial, itu semua wajib dilakukan agar dapat lulus di mata pelajaran tersebut.
Ketiga, Tutwuri handayani artinya di belakang memberi dukungan agar anak dapat berkembang sendiri sesuai potensinya. Sistem pendidikan kita sekarang ini kurang memberikan kebebasan anak-anak kita untuk belajar apa yang mereka sukai. Sekolah biasanya hanya fokus pada tingkat kelulusan para siswanya dalam ujian akhir nasional, murid diperlakukan sebagai obyek dan hanya diperbolehkan untuk duduk dan menulis pada saat jam pelajaran sekolah.
Indonesia bisa mencontoh Finlandia yang diklaim memiliki pendidikan terbaik di dunia. Murid-murid seharusnya diberikan kebebasan untuk memilih mata pelajaran yang sesuai dengan cita-cita yang mereka miliki, posisi belajar tidak selalu harus duduk di depan guru dan mereka dapat memilih jadwal sendiri sesuai dengan mood mereka sehingga sekolah dapat menarik minat siswa dan bukan memaksa mereka untuk belajar.
———– *** ————

Rate this article!
Tags: