Merombak UU Omnibuslaw

UU Omnibuslaw (tentang Cipta Kerja) harus dirombak, agar terhindar dari pembatalan secara permanen. Sementara ini Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan “inkonstitusional bersyarat” terhadap UU Nomor 11 Tahun 2020. MK juga menyatakan prosedur pembentukan UU Tentang Cipta Kerja sebagai cacat formil. Anehnya, MK menyatakan UU Omnibuslaw masih berlaku, sembari dilakukan perbaikan (oleh pemerintah bersama DPR) dalam waktu 2 tahun.

Uji materi terhadap UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, diajukan oleh beberapa kelompok masyarakat sipil, dan aliansi organisasi buruh. Antaralain Konfederasi Sarbumusi (Sarikat Buruh Muslim Indonesia (bagian otonom di bawah Nahdlatul Ulama, NU). PP Muhammadiyah. Bahkan sejak proses pembahasan di DPR telah dilakukan aksi demo besar nasional menolak Rancangan UU yang kondang disebut Omnibuslaw. bersama Pemerintah).

Puncak demo terjadi pada 6-8 Oktober 2020, dilaksanakan aksi unjukrasa buruh dan mahasiswa di seluruh Indonesia. Sebagian berakhir bentrok pengunjukrasa dengan aparat Kepolisian. Demo besar terjadi lagi bertepatan dengan peringatan 1 tahun pemerintahan Jokowi – Ma’ruf Amin. Tuntutannya, pembatalan RUU Omnibuslaw, sekaligus pemerintah diminta menerbitkan Perppu pengganti. Konon, RUU Omnibuslaw dituding makin menyengsarakan buruh.

Juga tidak melindungi kepentingan hak ulayat terhadap hutan milik adat. Serta dituding meniadakan kewenangan organisasi profesi. Termasuk memangkas wewenang organisasi perburuhan. Omnibuslaw UU Cipta Kerja dianggap lebih lembek (merugikan buruh, dan karyawan) dibanding UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Juga mengendurkan peraturan yang tercantum dalam beberapa UU lain.

Kepolisian (didukung Tentara Nasional Indonesia, TNI) juga bersikap tegas menindak anarkhisme unjukrasa. Termasuk menangkap pemilik akun penyebar hoax. Dari berbagai daerah, hampir enam ribu pengunjukrasa ditangkap. Sebanyak 240 orang berlanjut diproses penyidikan (sebanyak 87 orang ditahan). Ironisnya, sebanyak 145 pendemo terdeteksi reaktif dalam tes cepat (rapid test) CoViD-19.

Unjukrasa (masif) terhadap pengesahan UU, menunjukkan terdapat sumbatan komunikasi, antara rakyat dengan wakil rakyat (DPR), dan pemerintah. Padahal telah terbit UU Nomor 15 tahun 2019 (perubahan atas UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Di dalamnya diatur seluruh mekanisme dan prosedur pembuatan UU. Misalnya, pada pasal 21 ayat (4), dinyatakan prosedur mempertimbangkan usulan masyarakat.

Bahkan UU Nomor 15 tahun 2019 dalam pasal 95A ayat (1), dinyatakan kemungkinan pemantauan dan peninjauan terhadap UU yang dilakukan setelah UU berlaku. Pemantauan dan peninjauan dilakukan oleh DPR, DPD, dan pemerintah. Mencermati pasal-pasalnya, Menerbitkan aturan turunan UU juga wajib memperhatikan usulan masyarakat.

Omnibuslaw, digagas sebagai penyederhanaan perundang-undangan. Sebanyak 83 regulasi yang berisi 2500 pasal di-preteli. Muaranya, akan dihasilkan “induk” undang-undang yang lebih simpel. Draft-nya berisi 174 pasal. Lebih mirip sebagai Kitab Undang-Undang (seperti KUHP). Tidak mudah, karena pengalaman pertama dalam legislasi nasional.

UU Omnibuslaw, telah disahkan pada 2 November tahun 2020, berlaku efektif mulai Pebruari 2021. Saat ini pemerintah telah menerbitkan 45 Peraturan Pemerintah (PP), dan 4 Peraturan Presiden (Perpres) sebagai pelaksanaan. Namun amar putusan MK tidak mengizinkan lagi penerbitan PP, dan peraturan lain turunan UU Nomor 11 Tahun Tentang Cipta Kerja. Sampai MK menyatakan perbaikan yang dilakukan telah cukup memadai.

Amar putusan MK yang menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap UU Cipta Kerja, dianggap “setengah hati.” Dengan menilai cacat formil, seharusnya UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional. Bisa dibatalkan. Namun harus diakui, masih diperlukan induk UU yang menjadi peta jalan gerakan “revolusi” birokrasi. Sekaligus menjadi payung sinergitas sektoral pemerintahan.

——— 000 ———

Rate this article!
Merombak UU Omnibuslaw,5 / 5 ( 1votes )
Tags: