Mewujudkan Semua Sekolah “Favorit”

(PPDB Menghapus Diskriminasi Pendidikan)

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior Penggiat Dakwah Sosial Politik

Siapa tidak frustasi, anak tidak bisa masuk pada sekolah yang di-ingin-kan? Saat ini terjadi, ribuan orangtua murid sedang galau. Karena anaknya gagal masuk sekolah yang di-favorit-kan. Banyak orangtua murid mengeluarkan ongkos besar (jutaan rupiah), membiayai bimbingan belajar (bimbel) tambahan di luar sekolah. Semakin mahal biaya bimbel, semakin dikejar oleh orangtua yang berkecukupan. Bimbel, bagai suplemen khusus setiap murid.
Sejak SD kelas VI, SMP (kelas IX) sampai SMA (kelas XII) terbiasa mengikuti bimbel mahal. Hasilnya cespleng. Anak-anak bisa meraih nilai ujian sekolah (Usek) maupun Unas (ujian nasional) tinggi, dengan rata-rata di atas 8,5. Pengharapan masuk sekolah “favorit” telah dalam genggaman. Bahkan sampai masuk perguruan tinggi, bagai sudah ter-garansi.
Anak-anak keluarga ekonomi berkecukupan memiliki kesempatan kompetensi akademik lebih baik. Karena berbagai saran dan prasarana yang bisa dibayar. Sekaligus juga mendominasi sekolah “favorit.” Ketimpangan (ke-tidak adil-an) pendidikan terjadi selama beberapa dekade, sejak era tahun 1970-an. Sampai setahun lalu (2018), nilai Usek dan Unas tinggi, masih menjadi garansi sebagai “tiket masuk” sekolah negeri favorit. Terutama jenjang SMP Negeri, serta SMA Negeri.
Melalui sistem PPDB (Pendaftaran Peserta Didik Baru), pendidikan ber-keadilan coba ditegakkan pemerintah. Melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 51 tahun 2018, diberlakukan metode zonasi. Yakni, penerimaan murid (SD, SMTP, dan SMTA) dengan pilihan sekolah terdekat calon siswa. Kriterianya, tak lain, ukuran berdasar jarak meter, yang bisa di-aplikasi melalui google maps.
Harus diakui, sekolah negeri masih menjadi pilihan utama seluruh orangtua murid. Selain tanpa biaya, fasilitas yang dimiliki sekolah negeri selalu lebih baik dibanding sekolah swasta. Kecuali tenaga ke-pendidik-an (guru). Disebabkan sistem rekrutmen guru negeri (PNS, Pegawai Negeri Sipil) masih banyak kritisi. Rekrutmen PNS tidak menggunakan kompetensi yang ditunjukkan dengan nilai ijasah (ke-sarjana-an).
Rekrutmen calon guru negeri hanya diuji (seperti, Juga tidak mempertimbangkan akreditasi perguruan tinggi calon guru. Melainkan berbagai tes tulis, yang “digelayuti” kolusi dan nepotisme(titipan) antar pejabat. Sehingga guru, boleh jadi, bukan personel terbaik di depan kelas. Tetapi UU Nomor 20 tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) masih menjamin peningkatan kompetensi guru. UU Sisdiknas pada pasal 40 ayat (1) huruf c, menyatakan, bahwa guru berhak memperoleh pembinaan karir sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas.
Kebebalan Pemda
Padahal, tidak mudah menjadi guru. Lebih lagi mengikuti konsep Ki Hajar Dewantara, “ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Konsep itu, bukan sekadar jargon ke-guru-an. Melainkan menjadi sikap keseharian. Bahkan konsep Ki Hajar Dewantara, telah dikukuhkan dalam konstitusi. UUD pasal 31 ayat (2), menyatakan, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”
Pendidikan dasar yang dimaksud (berdasar UU Sisdiknas tahun 2003), adalah program wajib belajar selama 9 tahun. Yakni sekolah tingkat SD dan SMP (dan Madrasah Tsanawiyah, MTs). Berdasar UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, telah ditentukan bagi tugas antara pemerintah pusat, dan daerah. Pemerintah Kabupaten dan Kota, bertanggungjawab pelaksanaan pendidikan dasar. Sedangkan pemerintah propinsi bertanggungjawab pada jenjang SMTA.
Pembagian tugas kependidikan, berkorelasi dengan amanat konstitusi. UUD pasal 31 ayat (4), menyatakan, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”
Ironisnya, masih banyak daerah yang bebal, nyata-nyata menyimpangi konstitusi. Tidak meng-alokasikan anggaran pendidikan sebesar 20%. Dengan berbagai dalih, pimpinan daerah menghitung sepihak anggaran pendidikan. Maka dengan sistem PPDB metode zonasi, pemerintah daerah (kabupaten dan kota) dapat mengetahui kekurangannya. Antara lain jumlah sekolah SD Negeri, dan SMP Negeri yang memadai.
Ke-tidak patuh-an pemerintah daerah terhadap pagu anggaran pendidikan, menyebabkan penyelenggaraan sekolah tidak dapat optimal. Misalnya, banyak sekolah (tingkat SD, Sekolah Dasar) belum memiliki lahan. Masih menggunakan lahan milik masyarakat. Pemilik lahan dijanjikan diangkat menjadi penjaga sekolah berstatus ASN (Aparatur Sipil Negara). Kasus “ke-bebal-an” lain Pemda, adalah pem-biar-an gedung sekolah yang tidak layak. Atapnya bocor-bocor, sampai nyaris roboh.
Padahal layanan penyelenggaraan pendidikan oleh Pemda, merupakan kewajiban. Pada pasal 11 ayat (1) UU Sisdiknas, menyatakan, “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.” Begitu pula dana penyelenggaraan pendidikan, khususnya pendidikan dasar (SD dan SMP sederajat), tercantum pada ayat ke-2.
Minat memasuki sekolah negeri, seyogianya diantisipasi pemerintah daerah. Pemerintah propinsi bisa membangun SMK maupun SMA Negeri. Pada masa kini, pembanghunan SMTA Negeri bisa bekerjasama dengan berbagai pihak. Antara lain pondok pesantren. Sudah banyak SMK Negeri, dan MAN (Madrasah Aliyah Negeri) dibangun di dalam pesantren. Di Jawa Timur, kerjasama pembangunan SMTA sudah lazim. Hampir di setiap kabupaten dan kota, terutama di kota-kota kecil.
Transparansi Sekolah Swasta
Kelompok masyarakat sejak lama telah turut berpartisipasi mendirikan sekolah. Mulai tingkat PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) hingga perguruan tinggi. Bahkan secara kuantitas, lembaga pendidikan oleh masyarakat lebih banyak dibanding milik negara. Berdasarkan akreditasi kependidikan, sebagian lembaga pendidikan (formal) oleh masyarakat memiliki mutu lebih unggul dibanding negeri. Begitu pula beberapa program studi kampus swasta lebih unggul dibanding PTN (Perguruan Tinggi Negeri).
Tetapi sejak dekade tahun 1980-an, pendidikan mulai tumbuh bagai menjadi “ladang” usaha. Banyak perguruan tinggi didirikan, menumpang perkuliahan pada gedung SD. Namun banyak yang berguguran seiring kewajiban akreditasi. Sedangkan yang berhasil “lolos” bisa berkembang sampai membangun gedung milik yayasan. Suasana yang sama juga terjadi pada jenjang pendidikan SD, SMP, serta SMA dan SMK.
Bermunculan yayasan penyelenggara pendidikan dasar dan menengah. Seluruh sekolah swasta, lazim memungut uang pendidikan (SPP) cukup mahal. Untuk honor guru, dan tenaga administrasi. Ironisnya, hampir seluruhnya bergantung pada subsidi BOS yang bersumber dari APBN. Padahal BOS seharusnya diberikan kepada siswa. Sehingga seolah-olah yayasan pendidikan swasta memiliki dua sumber pendanaan. Yakni, SPP, dan BOS dari pemerintah.
Pengurus yayasan pendidikan kini juga memperoleh gaji. Fenomena ini berbalikan dengan suasana pendidikan sebelum era tahun 1980-an. Dulu, pengurus yayasan menjadi penyokong utama pendanaan pendidikan. Dulu, yayasan mensubsidi sekolah. Sekarang, pengurus yayasan bagai komisaris perusahaan jasa pendidikan. Memiliki standar gaji melebihi honor guru.
Lembaga pendidikan swasta, harus diakui, telah bergeser paradigma, menjadi mirip perusahaan yang menguntungkan secara ke-eknomi-an. Pergeseran visi upaya ke-pendidikan telah menyebabkan terjadinya konflik. Perseteruan antara yayasan dengan kepala sekolah, sering terjadi. Juga konflik internal yayasan, berebut “kue” BOS, subsidi pemerintah. Perseteruan makin memanas, manakala proposal pembangunan sekolah disetujui oleh pemerintah daerah (dan menerima bantuan).
Pergulatan sekolah swasta, niscaya berujung pada kenaikan standar SPP yang harus ditanggung oleh orangtua murid. SPP sekolah swasta makin mahal. Nyaris tidak terkontrol pemerintah daerah. Namun standar honor guru sangat rendah. Masih banyak honor guru (bergelar SPd, Sarjana Pendidikan) hanya sebesar Rp 600 ribu per-bulan, jauh dibawah upah buruh pabrik. Tidak terkecuali di kota-kota besar. Tunjangan sertifikasi hanya dinikmati guru-guru senior.
Maka seyogianya pemerintah daerah lebih aktif “membina” lembaga (yayasan) sekolah swasta. Karena seluruh calon peserta didik yang tidak lolos zonasi pada PPDB, akan “berlabuh” di sekolah swasta. PPDB harus berdasar pada pasal 82 ayat (1). Dinyatakan: “Penerimaan peserta didik pada satuan pendidikan menengah dilakukan secara objektif, transparan, dan akuntabel.” Wajib dihindari, kemungkinan murid baru, menjadi obyek pemerasan sekolah swasta.
——— *** ———

Tags: