Millenial Berjiwa Sumpah Pemuda

Oleh:
Lia Istifhama
Pengurus PW Pagar Nusa NU Jatim
Ketua III STAI Taruna Surabaya

Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

Tiga bait tersebut menjadi identitas abadi momen sumpah pemuda. Selain tercetusnya ikrar sumpah pemuda, Kongres Pemuda II yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia pada 27 – 28 Oktober 1928 juga menetapkan lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan. Nah pertanyaannya sekarang, apakah tiga baris ikrar tersebut masih melekat di kalangan pemuda Indonesia?
Pemuda dan Millenial, Apa Bedanya?
Pemuda jika kita lihat sebagai generasi produktif dan kematangan berpikir, maka tepat sekali jika pada kekinian disebut sebagai generasi Y atau millenial (kelahiran tahun 1981-1994). Terlepas kita berada pada revolusi indsutri yang kental dengan digitalisasi, millenial seharusnya tetap sama saja dengan pemuda pra kemerdekaan. Kesamaan dalam hal ini adalah semangat membangun diri sebagai manusia progresif yang berpikiran maju, dan berpikir positf dalam segala hal demi masa depan generasi muda setelahnya, yaitu “adik-adik” generasi Z (kelahiran tahun 1995 – 2010).
Sumpah Pemuda, Masih Kuatkah di Benak Kita?
Kita sebagai warga negara sampai sekarang masih mengenal 28 Oktober sebagai peringatan Sumpah Pemuda. Tapi apakah momen tersebut masih membawa semangat kecintaan pada tanah air bagi para generasi millenial saat ini?
Mari kita melihat sejarah. Mengapa dan bagaimana 28 Oktober menjadi momen yang harus dikenang.
Soegondo Djojopoespito, ketua PPPI, memimpin 71 pemuda lainnya melakukan ikrar Sumpah Pemuda. Naskah Ikrar yang ditulih oleh Muhammad Yamin menjadi pengikat kesatuan pemuda sebagai satu persepsi sama, yaitu anak bangsa yang masing-masing mewakili perkumpulan yang saling berbeda. Perbedaan wilayah, perbedaan agama, maupun perbedaan persepsi nyatanya bersatu menjadi kesatuan untuk membangkitkan jiwa-jiwa pemuda Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia saat itu.
Perbedaan satu sama lain antar pemuda Indonesia saat itu, seharusnya lebih pelik ketimbang sekarang. Seharusnya lebih sulit menyatukan kesamaan sebagai satu anak bangsa, terlebih menyatukannya kembali sebagai semangat memperjuangkan kemerdekaan yang tidak mudah dicapai. Namun mereka ternyata bisa.
Apalagi pemuda millenial sekarang, bukan?
Millenial yang kini hidup dalam nuansa kemerdekaan dengan segala akses komunikasi yang sangat mudah dengan sesamanya. Tapi yang terjadi, kemudahan akses juga menjadi kemudahan penyebaran ungkapan kebencian sesama anak bangsa. Kemudahan perbedaan identitas diri bahkan bermunculan pengkultusan yang hanya menunjukkan perbedaan sesama anak bangsa. Jika dulu istilah priboemi muncul sebagai alasan agar rakyat menyadari bahwa mereka adalah pemilik tanah kelahiran Indonesia dan wajib melepaskan jeratan penjajah, sekarang istilah pribumi dan non pribumi kadangkala dimunculkan tanpa alasan yang kuat. Kenapa begitu? Karena sekarang kita bukan lagi dalam posisi membumikan semangat memiliki bangsa demi melepas jeratan penjajah. Siapa yang telah terlahir di bumi pertiwi dan telah menyandang Warga Negara Indonesia, seyogyanya tidak pantas menyandang gelar non pribumi lagi.
Rasa memiliki sebagai bagian suatu bangsa, suatu negara, telah dikaji oleh Ibnu Khaldu>n dalam kitab Muqaddimah. Sejarawan dan sosiolog muslim yang wafat dalam era dinasti Mamluk, telah menulis tentang sub bahasan berjudul “When the natural (tendencies) of the royal authority to claim all glory for itself and to obtain luxury and tranquility have been firmly established, the dynasty approaches senility” pada abad 14 Masehi. Dalam sub bahasan tersebut, dijelaskan beberapa tahap situasi sosial masyarakat yang terjadi dalam dinasti-dinasti Arab dan Turki. Situasi ini merupakan dampak kemakmuran dan kemewahan terhadap perubahan situasi sosial masyarakat, yaitu bagaimana sikap sosial mereka pada pemerintahan. Situasi sosial yang pertama yaitu masyarakat dengan segala kesederhanaan dan solidaritas yang tulus tunduk di bawah otoritas kekuasaan yang didukungnya. Kedua, masyarakat yang karena diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan, menjadi tidak peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan negara. Ketiga, masyarakat yang tidak lagi memiliki hubungan emosional dengan negara sehingga melakukan apa saja yang mereka sukai tanpa memperdulikan nasib negara.
Untuk menghindari kerusakan negara seperti yang tertulis di atas, Ibnu Khaldu>n menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi bukan hanya secara fisik, tapi juga non fisik, yaitu pembangunan sumber daya manusia, karena tanpa kebersamaan dan saling tolong menolong antar masyarakat, maka usaha meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara tidak akan berhasil. Kebersamaan memang sangat penting dan menjadi aspek utama dalam relasi hubungan sosial karena mampu mendorong semangat kerjasama dan memotivasi kegiatan usaha produktif yang mendatangkan keuntungan sesamanya. Itu sebabnya, jika suatu bangsa ingin menjadi bangsa kaya, bangsa maju, bangsa yang tidak mau terjebak dalam kerusakan, maka tidak ada alasan lagi untuk menunda penguatan persatuan sebagai satu anak bangsa.
Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia
Tapi apa yang terjadi dengan sekolah “mahal” yang menggunakan bahasa asing?
Sebutan istilah sekolah “mahal” kiranya cukup tepat disematkan karena sekolah yang memang mematok tarif pendidikan tinggi, yang hanya mampu diemban oleh orang tua dengan penghasilan bulanan 8 digit, memang bukti “mahalnya” pendidikan telah diterapkan mereka. Dann mereka juga menerapkan “mahal” dalam berbahasa Indonesia dengan menjadikan bahasa asing sebagai bahasa penghubung dalam pengajarannya.
Ada yang salahkah dengan bahasa Indonesia?
Maka inilah yang seharusnya dipahami lebih dalam, lebih kuat lagi arti sumpah pemuda. Para pemuda, para millenial yang kemudian berprofesi sebagai guru, sebagai tenaga pendidik, sebagai dosen, apakah harus ikhlas melupakan pentingnya bahasa Indonesia disebarkan sebagai bahasa persatuan bagi murid-muridnya?
Tapi entah kenapa, para orang tua yang kini pemuda Bangsa, juga menunjukkan kebanggaan jika menggunakan bahasa asing dalam berkomunikasi.
Inilah yang menjadi PR, tugas bersama semua pihak, terutama anak bangsa yang kini masih menyandang status “pemuda”. Sebelum tua pada saatnya, sebelum berstatus “lansia”, alangkah mulianya jika merasa mencintai ikrar sumpah pemuda dan merasa perlu bahkan wajib untuk melakukan internalisasi makna ikrar sumpah pemuda pada calon pemuda mendatang. Caranya mudah, cintai tiga baris ikrar sumpah pemuda sebagai alasan bahwa persatuan dan kesatuan penting demi terwujudnya perdamaian Indonesia kini, dan masa mendatang ketika kita tidak lagi menjadi “generasi millenial”.

—————-*** —————-

Rate this article!
Tags: