Mimpi Buruk Kaum Nelayan

Oleh :
Ahmad Fatoni
Pemerhati Sosial dan Pengajar Universitas Muhammadiyah Malang 

MENJADI nelayan di negeri maritim seperti Indonesia tidak lantas dapat mendongkrak taraf kesejahteraan. Kawasan pesisir yang merupakan kampung-kampung nelayan masih menjadi kantung kemiskinan. Padahal potensi kelautan nasional merupakan “harta karun” bernilai tak terhingga (Tajuk Bhirawa, 10/07/2019).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah nelayan miskin di negeri ini pada tahun 2011 mencapai 7,87 juta orang atau 25,14 persen dari total penduduk miskin nasional yang mencapai 31,02 juta orang. Sebanyak 7,87 juta nelayan tersebut berasal dari sekitar 10.600 desa nelayan miskin yang terdapat di sejumlah kawasan pesisir Indonesia.
Kemiskinan seolah harga mati bagi masyarakat nelayan secara turun-temurun. Setidaknya bayang-bayang ketidakmenentuan hidup selalu menghantui kehidupan mereka. Mungkin suatu saat mereka mendapat penghasilan dalam jumlah melimpah, namun di saat yang lain sangat mungkin tidak memperoleh pendapatan sama sekali. Ketidakpastian itu bergantung pada cuaca yang terkadang tidak bersahabat.
Berdasar penjelasan BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika), hari-hari ini hampir seluruh perairan Indonesia dalam keadaan waspada. Terutama yang berada di selatan khatulistiwa. Gelombang laut mencapai ketinggian 1,25 meter hingga 6 meter dengan kecepatan angin 4 knot sampai 25 knot, sehingga para nelayan disarankan tidak melaut terlalu ke tengah.
Mata Rantai Kemiskinan
Fakta kemiskinan nelayan di negeri ini sesungguhnya sudah berlangsung lintas generasi dan seakan tidak pernah berhenti. Di antara penyebabnya, selain faktor cuaca yang tidak menentu, adalah struktur kuasa sosial-politik yang tidak berpihak kepada masyarakat nelayan miskin. Lebih tepatnya, kaum nelayan selama bertahun-tahun harus mengalami ‘pemiskinan struktural’ hingga menjadikan mereka dhuafa’ (orang-orang lemah), terutama secara ekonomi.
Keterpurukan nasib nelayan tersebut kemudian berdampak pada keterbatasan sarana dan rendahnya sumber daya manusia. Itu semua merupakan rangkaian permasalahan yang dihadapi kaum nelayan. Dengan minimnya peralatan penangkapan ikan yang dimiliki nelayan tradisional, tingkat produktivitasnya pun sangat terbatas.
Penderitaan kaum nelayan diperparah dengan harga BBM yang beberapa kali naik. Belum lagi anggapan pihak perbankan dan pengusaha bahwa nelayan tradisional dianggap kurang layak diberi bantuan permodalan sebab tidak akan mampu mengelola usahanya. Akibat sulit mendapatkan modal usaha, tidak sedikit keluarga nelayan yang akhirnya mencari tengkulak. Ujung-ujungnya bisa ditebak, mereka terbelit dalam mata rantai monopoli pemasaran yang dikuasai tengkulak.
Duka nelayan yang nyaris sempurna itu banyak dijumpai di beberapa pesisir pantai, yakni para nelayan yang meminjam modal kepada tengkulak, selain harus membayar pinjaman pokok dan bunga, tidak diperbolehkan menjual hasil tangkapan ikan ke tempat pelelangan ikan (TPI), tetapi harus kepada sang tengkulak dengan harga sangat rendah.
Demi memutus jerat permasalahan kaum nelayan, pemerintah daerah setempat perlu turun tangan untuk mengelola program jaminan sosial dengan memberikan bantuan pembinaan, penyuluhan, pembangunan fasilitas pelabuhan perikanan, dan berbagai kebjakan lain yang pro nelayan. Di sini diperlukan terobosan baru demi menjawab segala problem kehidupan masyarakat nelayan.
Sebagai negara maritim terbesar di Asia Tenggara dengan panjang lebih dari 80 ribu kilometer, Indonesia memiliki peluang besar menjadi produsen unggulan di bidang perikanan. Produksi perikanan tangkap Indonesia pada 2012 berkisar 5,81 juta ton yang menyumbang produk domestik bruto lebih dari 3%.
Kendati demikian, sumber daya laut Indonesia yang sangat berlimpah itu belum bisa mendongkrak taraf kehidupan sebagian besar nelayan. Padahal di hadapan mereka terbentang ‘lautan emas’ berupa melimpahnya potensi laut. Sebutan Benua Maritim bagi negeri ni akan semakin kuat dan lekat apabila masyarakat pesisirnya maju karena laut. Kenyataannya, nasib sebagian besar nelayan masih terpuruk hingga, misalnya, ada yang menggadaikan sarung dan piring untuk mengepulkan asap dapur.
Keluar dari Mimpi Buruk
Indonesia memang negeri impian-maksudnya mimpi buruk-sekaligus negeri ironi. Pasalnya, potensi kekayaan laut tidak bisa menghadirkan kemakmuran kecuali bagi para birokrat dan penguasa. Sementara bagi orang-orang dhuafa’ seperti nelayan, kesejahteraan hanyalah sebuah impian. Belenggu kemiskinan yang masih mendera kaum nelayan senyatanya menjadi prioritas perhatian pemerintah, sebab tanpa sentuhan program pemerintah dan kepedulian semua pihak, nasib nelayan tidak bisa terangkat sampai kapan pun.
Sudah saatnya pemerintah pusat melakukan langkah-langkah yang komprehensif dan menata kembali prospek kelautan Indonesia. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang berlatar belakang pelaku perikanan tentunya sudah memahami kenapa masyarakat nelayan hidup dalam kemiskinan. Kehadiran ibu Susi diharapkan dapat memberdayakan kaum nelayan sekaligus meningkatkan kesejahteraan mereka.
Pemerintah pusat juga seharusnya mendesak pemerintah daerah agar lebih memperhatikan pembangunan wilayah pesisir daerah. Pemerintah daerah mestinya membuka peluang kepada masyarakat nelayan untuk dapat meningkatkan perekonomiannya. Bantuan ini dapat berupa regulasi laut yang pro nelayan nasional, pelatihan dan subsidi kebutuhan produksi ikan, serta penyediaan fasilitas pendingin ikan yang dapat digunakan oleh komunitas nelayan.
Selain berharap pada keseriusan pemerintah pusat dan daerah, berbagai pihak termasuk para pemilik modal, politisi dan pengamat politik, kalangan akademisi, penggiat gerakan sosial dan lingkungan serta praktisi pendidikan agar berperan aktif dalam memetakan potensi masyarakat nelayan dan kawasan pesisir sebagai basis konseptual dalam merumuskan kebijakan penting tentang pembangunan bangsa masa depan.
———– *** ————

Rate this article!
Mimpi Buruk Kaum Nelayan,5 / 5 ( 1votes )
Tags: