Minggu Pagi di Kebun Pisang

Oleh:
Azwim Zulliandri

Nadim yang baru saja pulang bekerja di gudang Koko Rio, berniat mengecas batrai HP-nya yang lemah. Hanya saja charger yang satu-satunya di rumah itu tengah melekat di smartphone adiknya, Ratu. Lantas ia memindahkan charger itu ke HP-nya. Namun, tak disangka, sebuah pesan tanpa sengaja terbuka dan terbaca oleh Nadim.
Tersirap darahnya melihat pesan di layar smartphone milik adiknya itu. Sebuah pesan melalui whattsapp membuat darahnya mendidih seketika. Jantungnya berdebar kencang tidak karuan. Pandangannya gelap gulita setelah melihat pesan-pesan itu. Bagai pedang samurai pesan itu menebas ulu hati Nadim. Sebuah pesan yang berisi gambar-gambar yang tak pantas untuk dilihatnya. Sebuah pesan dari pengirim yang tidak bernama namun berkode hati merah “Love”. Kuat dugaan Nadim, pengirim pesan adalah orang yang sangat dekat dengan adiknya.
“Aku tunggu di tempat biasa. Jika kau tak datang, jangan salahkan aku…,” bunyi akhir dari pesan.
Setelah membaca semua pesan itu, disekanya peluh dingin yang keluar dari pori-pori dahi. Nadim berusaha untuk tenang dan dingin. Ia mencoba agar Ratu, adik kesayangannya itu tidak mengetahui apa-apa tentang dirinya. Tentu Nadim akan membuat keputusan yang sangat berpihak kepada adiknya itu.
***
“Kau tak sekolah, Ratu? Jam segini kenapa masih tidur? Kau sakit?” tukas Nyami.
“Unch… ya, Mak, kepala Ratu agak pusing nih, Mak,” jawab Ratu seraya menggeliat dan mengurut dahinya.
“Hm… baiklah kalau begitu, kau baring saja dulu. Nanti biar abangmu yang ke sekolah memintakan izin pada gurumu, sambil mencarikan daun bunga raya untukmu” ucapnya pada anak gadisnya itu. Lantas, Nyami setengah berteriak pada Nadim, anak bujangnya, “Nadim, ke sini sebentar.”
Nadim yang mendengar teriakan emaknya dari halaman rumah, lantas segera menuju panggilan emaknya. “Ya, Mak, ada apa?” ucapnya.
“Sepertinya adikmu ini demam. Coba kau pergi ke sekolah untuk meminta izin kepada gurunya. Sepulang dari sana, kau ambilkan segenggam daun bunga raya depan halaman masjid. Biar adikmu ini diobati,” ucap Nyami.
Nadim menuruti ucapan emaknya. Sebelum bertolak keluar rumah, dipandangnya Ratu yang tengah berbaring memunggunginya itu. Ada keinginannya untuk berbicara pada Ratu. Tapi seolah lidahnya kelu, ditambah lagi ada emaknya. Takut nanti ucapannya akan melukai hati emak. Dalam hematnya, sakit yang dialami Ratu ada hubungannya dengan pesan yang dibaca tempo hari. Ah, pikirannya semakin melayang, apalagi mengingat pesan yang tak sengaja dibacanya itu. Aih, semkain mendidih darahnya.
Ratu, gadis berusia 16 tahun, saat ini tengah duduk di kelas 10 sebuah SMA Negeri satu-satunya yang ada di desanya. Ia merupakan anak bungsu dari 2 bersaudara. Saat ini, ia tinggal bersama ibu dan Nadim abangnya. Sementara, ayahnya, sejak Ratu duduk di kelas 1 SD sudah meninggal akibat kecelakaan kereta api. Semenjak ayahnya meninggal, maka ibu dan abangnyalah yang menjadi tulang punggung keluarga. Nyami, ibunya, hari-hari menghabiskan waktu di sawah orang sebagai buruh tanam. Semantara Nadim, abangnya hari-hari menghabiskan waktu di gudang Koko Rio-tuan tengkulak yang ada di desanya-sebagai tukang angkat.
Demi Ratu, Nadim merelakan sekolahnya. Ia harus putus sekolah di bangku SMP. Emaknya tidak mampu untuk menyekolahkan Nadim dan Ratu. Maka dari itu, biar Nadim yang mengalah dan ikut membantu perekonomian keluarga. Semenjak putus sekolah itulah, Nadim tidak hanya sebagai abang bagi Ratu, tetapi juga sebagai ayah. Selagi ia mampu, apa pun akan dilakukan Nadim untuk adiknya itu. Semua kebutuhan sekolah Ratu, mulai dari buku, jajan, bahkan sampai HP android dan laptop pun diusahakan oleh Nadim.
Melihat Ratu terbaring sakit hari ini, membuat pikirannya menjadi kacau. Bukan karena sakitnya, melainkan karena pesan yang dibacanya tempo hari. Sebagai seorang lelaki dan seorang abang bagi adik perempuannya, Nadim merasa harga dirinya diinjak-injak. Kau laki-laki Nadim, di mana letak harga dirimu ketika adik perempuanmu diperlakukan seperti itu? Bisik sebuah suara dalam pikiran Nadim. Maka, sepanjang jalan menuju ke sekolah adiknya itu, pikiran Nadim jauh melayang. Selain untuk memintakan izin adiknya, Nadim bertekad dalam hatinya, sesampainya di sekolah nanti, ia harus mengetahui siapa yang mengirim pesan itu.
Lebih kurang 10 menit Nadim bersepeda motor dengan menapaki jalanan kampung, sampailah ia di gerbang sekolah adiknya itu. Jarak rumah ke sekolah adiknya itu memang lumayan jauh. Ditambah lagi tidak ada kendaraan umum untuk menuju ke sana. Biasanya, Ratu selalu diantar Nadim dan pulangnya berjalan kaki bersama teman yang satu arah atau sesekali naik ojek kampung. Sesampai di sekolah yang cukup rindang itu, Namin langsung menuju meja piket, “Maaf, Bu, saya abangnya Ratu Purwatih kelas X IPS-3. Ratunya tidak bisa sekolah hari ini, Bu, karena sakit.”
“Oh iya, baik, Pak. Saya catat dulu namanya ya, Pak,” kata guru piket ramah kepada Nadim. Lantas bu guru mencatat nama Ratu di atas secarik kertas.
Selesai nama Ratu dicatat, Nadim pamit kepada bu guru, “Bu Guru, saya pamit dulu ya. Terima kasih, ya, Bu Guru.”
“Iya, Pak, iya… Cepat sembuh ya, Pak Ratunya,” bu guru memberikan senyum terbaik kepada Nadim. Senyum tulus tentunya.
Nadim bertolak dari meja piket. Ia menuju ke parkiran depan gerbang sekolah. Ia tak lantas pulang, masih mengamati sekolah yang cukup luas. Mumpung bel masuk belum berbunyi, Nadim mengamati para siswa yang masuk. Mana tahu ada beberapa orang atau teman Ratu yang dikenal, hanya untuk bertanya-tanya. Selang sejenak dua jenak, tiba-tiba ada seorang siswa menegur Nadim, “Bang Nadim? Mana Ratu, Bang?”
Nadim sempat bingung dengan orang yang menegurnya. Diingat lagi ingatannya beberapa tahun ke belakang. Lalu dia sadar, orang yang menyapanya adalah Aisyah, teman semasa SD Ratu, yang sempat merantau dibawa orang tuanya bekerja ke kota dan tahun ini balik lagi ke kampung.
Pucuk dicinta ulam tiba. Nadim tak menyia-nyiakan kesempatan. Pertemuan dia dengan Aisyah dimanfaatkan sebaik mungkin untuk menggali informasi tentang bagaimana Ratu di sekolah. “Aisyah, minta abang sedikit waktunya untuk ngobrol sebentar ya,” kata Nadim pada Aisyah, “Aisyah tahu, Ratu dekat dengan siapa akhir-akhir ini? lanjut Nadim bertanya.
“Pacar, Bang?” Aisyah balik bertanya.
“Ya… begitu kira-kira,”
“Setahu saya, Ratu lagi dekat dengan abang kelas. Kelas 12, Dudun namanya. Dan sepertinya mereka pacaran. Sering jalan dan pulang berduan akhir-akhir ini.”
“Aisyah kenal dengan Dudun? Di mana rumahnya?” tanya Nadim penasaran.
“Kenal, Bang. Dudun itu kan anaknya Bu Bidan Ida. Tinggalnya di belakang puskesmas, dan biasanya dia sering nongkrong di balai desa,” jawab Aisyah, “emangnya ada apa ya, Bang?” Aisyah balik bertanya.
-***
Desa Sukajadi bergemuruh. Hiruk-pikuk berkecamuk di dalam lidah masing-masing warga. Sebuah peristiwa menjadi bahan gunjingan di tengah masyarakat, bahkan sampai ke desa tetangga. Peristiwa yang diaktori oleh Nadim itu, menjadikan ia seketika menjadi buah bibir dan terkenal. Nadim sadar dan memahami konsekuensi yang harus diterimanya atas peristiwa yang ia ciptakan. Berani bermain api, maka berani terbakar. Biar tanduk berlumur lumpur, asalkan kehendak dapat di hati. Begitu tekadnya berapi-api.
Atas perbuatannyan itu, Nadim harus berurusan dengan polisi dan menjadikan ia sebagai pesakitan. Di ruang interogasi itu, ia dihantam beribu cercaan pertanyaan petugas. “Kau kenal dengan korban?” tanya petugas.
“Hanya sekadar tahu, Pak,”
“Sebatas apa kau tahu dengannya?”
“Namanya Dudun anak Bu Bidan Ida. Dan dia pacar adik saya, Ratu.” jawab Nadim dengan nada geram.
“Kau yakin dia pacar adikmu?” tanya petugas.
“Ya, Pak. Sangat yakin. Wajahnya persis dengan foto yang ia kirim ke HP adik saya,” jawab Nadim.
air mata yang merembes ke pipinya itu, ia lanjutkan ucapan tadi, “Lelaki brengsek itu merusak segala mimpi dan masa depan Ratu. Dia mengambil kegadisan adik saya… aaaggrrh…” lagi-lagi Nadim menangis, “saya tak terima, masa depan adik saya hancur. Saya tidak terimaa!! Maka dari itu, masa depannya juga saya hancurkan,” sambungnya sambil menyeka air mata.
“Jadi, apa yang kau lakukan terhadap korban?”
“Berhari-hari saya memantau Dudun, baik di sekolah maupun lingkungan permainannya di rumah sehari-hari. Dari pantauan saya, setiap Minggu pagi dia selalu pergi memancing di sebuah tebat dekat kebun pisang. Maka, pada minggu pagi itu saya ada kesempatan untuk membalas sakit hati ini,” cerita Nadim kepada petugas.
“Kamu berniat melakukan pembunuhan berencana?”
“Tidak. Saya tidak ingin membunuhnya. Saya hanya ingin mengahancurkan masa depannya,”
“Jadi…” petugas penasaran.
“Saat ia tengah asyik memancing itulah, secara tiba-tiba dari belakang saya huyungkan balok kayu ke kepalanya. Dudun seketika pingsan. Dalam pingsannya, saya buka celananya dan saya potong burungnya dengan pisau. Lantas, saya buang ke dalam tebat biar dimakan ikan sekalian. Setelah tubuh Dudun saya letakkan di kebun pisang, saya pergi meninggalkannya. Saya pun puas,” aku Nadim dengan penuh kebanggaan.
“Kau potong burungnya hingga putus?” tanya petugas tercengang.
“Ya, saya potong hingga putus.”
Sekupang, Februari 2020

Azwim Zulliandri
Lahir di Padang, 25 Mei 1991. Cerpen-cerpennya terbit di berbagai surat kabar, baik lokal maupun nasional. Saat ini, selain mengajar di SMP Negeri 3 Batam, ia juga aktif sebagai tutor di Universitas Terbuka dan Lembaga Pendidikan Future Education di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Lelaki yang akrab dipanggil Ari ini bisa disapa di instagram dengan alamat akun @a_zulliand. Nomor Rekening : Rek. Bank riaukepri 106-21-71268 a.n. Azwim Zulliandri

——————- *** ——————

Rate this article!
Minggu Pagi di Kebun Pisang,3.67 / 5 ( 3votes )
Tags: