Mobil Nasional, Kapan Terealisasi?

Demeiati

Demeiati

Oleh :
Demeiati Nur Kusumaningrum
Staf Peneliti Center for Intermestic Studies (CIS), Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Malang

Seperti yang kita ketahui bersama, putra-putri Indonesia telah menorehkan kebanggaan di ajang Shell Eco-Marathon (SEM) Asia 2014 di Manila, Filipina. Indonesia berhasil meraih 7 juara pada kompetisi mobil teririt se-Asia ini. Terdapat 15 negara di Asia dan Timur Tengah yang mengikuti kompetisi tersebut. Dari 124 tim yang bertanding secara internasional, tim Indonesia mendapat juara terbanyak. Dua kategori yang dilombakan dalam SEM 2014, yaitu Prototype dan Urban Concept. Diharapkan tercipta kendaraan yang mampu menggunakan satu liter BBM atau sumber tenaga dengan jarak tempuh paling jauh. Adapun jenis energi sebagai bahan bakar yang diperbolehkan dalam kompetisi ini adalah bensin, solar, bensin alternatif (etanol 100), diesel alternatif (Shell Gas-to-Liquid atau fatty acid methyl ester), baterai elektrik dan hydrogen fuel cell (detikNews 2014).
Pada kompetisi seperti itu, kita bisa menyaksikan kemampuan generasi muda Indonesia yang luar biasa dalam menciptakan kendaraan alternatif masa depan yang hemat energi dan menjadi pilihan bagi pengembangan industri otomotif nasional. Dengan kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang unggul seperti sekarang, apakah Indonesia mampu membangun industri mobil nasional? Tulisan ini akan membahas prospek dan tantangan Indonesia membangun industri otomotif nasional di tengah pro dan kontra kebijakan pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekspor melalui kebijakan mobil hemat energi dan murah.
Ketersediaan SDM dalam Membangun Kemandirian Industri Otomotif Nasional
Pemuda-pemudi kreatif Indonesia yang berkompetisi dalam SEM 2014 terdiri dari 18 tim. Adapun 2 tim berasal dari Universitas Indonesia (UI), 2 tim dari Universitas Sumatera Utara (USU), 2 tim dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), 2 tim dari Institut Teknologi Bandung (ITB), 2 tim dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS),  2 tim dari Politeknik Negeri Pontianak, 2 tim dari Politeknik Negeri Jakarta dan masing-masing 1 tim dari Universitas Sebelas Maret, Universitas Brawijaya, Universitas Negeri Surabaya, Politeknik Technical Education Development Center Bandung dan Institut Sains & Teknologi AKPRIND (Shell 2014). Kompetisi internasional ini bukan yang kali pertama diikuti oleh mahasiswa-mahasiswi Indonesia. Beberapa tahun sebelumnya, Indonesia sering keluar sebagai juara pada kompetisi yang sama.
Tidak jauh berbeda dengan kondisi di dalam negeri, dimana sebagian besar perguruan tinggi di Indonesia setiap tahunnya mengadakan kompetisi inovasi mobil listrik atau kendaraan hemat energi. Sehingga, setiap tahunnya kita bisa mengukur bertambahnya jumlah sumber daya manusia yang sebetulnya siap untuk dimobilisasi dalam membangun industri otomotif nasional. Dibantu oleh para pakar dan hasil-hasil riset teknologi dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia, kita tentunya semakin percaya diri untuk memasuki pasar domestik maupun internasional.
Para ahli menyatakan bahwa pemerintah agaknya kurang mendukung realisasi industri otomotif nasional. Padahal banyak bukti dimana generasi muda Indonesia berprestasi setiap tahunnya dalam kompetisi di dalam maupun luar negeri. Kapasitas SDM dalam inovasi kendaraan hemat energi atau mobil listrik tidak perlu diragukan lagi. Bahkan beberapa tahun yang lalu, kita pernah menyaksikan kemampuan pelajar SMK yang mampu membuat mobil dan didukung oleh Walikota sebagai kendaraan dinasnya. Berita ini cukup mengemuka dan membuka wawasan publik, dimana sesungguhnya Indonesia berpeluang untuk menciptakan kemandirian bangsa dalam industri otomotif. Tentu saja, pada aspek pendukung seperti ketersediaan bahan baku dan holding company perlu difasilitasi oleh pemerintah. Akan tetapi, hingga saat ini prospek membangun industri otomotif nasional tampaknya masih banyak kendala.
Dilema Pemerintah menghadapi Pasar Bebas ASEAN
Peraturan Pemerintah No.41 tahun 2013 dan Peraturan Menteri Perindustrian No.33/M-IND/PER/7/2013 nyatanya telah menuai pro dan kontra. Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 2013 tersebut mengatur tentang Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Sementara, mobil murah dan ramah lingkungan atau low cost green car (LCGC) tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian No. 33/M-IND/PER/7/2013 tentang Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat yang Hemat Energi dan Harga Terjangkau. Peraturan Menteri Perindustrian tersebut menetapkan harga untuk mobil murah ramah lingkungan sebesar Rp 95 juta per unit. Pemerintah menyampaikan bahwa latar belakang dikeluarkannya kebijakan terkait kendaraan bermotor hemat energi dan harga terjangkau diperuntukkan bagi pertumbuhan ekspor Indonesia dalam menghadapi pasar bebas ASEAN.
Sesungguhnya, keputusan ini menjadi keberlanjutan dari Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional. Pemerintah merencanakan, pada 2018 sekitar 80 persen komponen lokal dapat dimanfaatkan untuk penggerak mesin, transmisi, dan beberapa peranti mobil murah lainnya. Selain itu, payung hukum tentang kendaraan hemat energi dan murah ini sejalan dengan upaya menurunkan emisi gas rumah kaca sehingga bisa mengurangi biaya eksternalitas lingkungan (Jurnal Parlemen 2013). Pemerintah menyampaikan bahwa negara-negara lain dalam kesepakatan perdagangan bebas seperti Thailand, Malaysia, China, Jepang dan Korea juga telah memproduksi kendaraan sejenis. Jika kebutuhan dalam negeri tidak dipenuhi dari produksi nasional, maka ditakutkan akan terjadi banjir impor kendaraan ke pasar Indonesia (Republika 2013). Dengan demikian, kebijakan kendaraan hemat energi dan murah ini diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekspor Indonesia dan berkontribusi terhadap produktifitas nasional sebagai alternatif menghadapi persaingan pasar bebas.
Namun beberapa ahli menyesalkan kebijakan pemerintah ini yang cenderung menguntungkan perusahaan otomotif negara-negara maju dan meningkatkan kemacetan perkotaan. Sebagian besar industri kendaraan bermotor saat ini masih didominasi oleh perusahaan multinasional dengan target pasar Indonesia yang dianugrahi populasi yang sangat besar. Tentu saja, walaupun pengembangan industri kendaraan bermotor mampu menyerap tenaga kerja dan membuka lapangan pekerjaan baru namun basis industri mobil nasional yang memuat 100% buatan anak negeri seolah tidak mendapat peluang.
Masyarakat berharap pemerintah memberikan fasilitas dalam mengembangkan teknologi dan infrastruktur yang dapat mendorong dibangunnya industri mobil nasional. Tampaknya kebijakan kendaraan hemat energi dan murah belum merefleksikan kepentingan nasional dan memicu ketidakpuasan masyarakat. Kebijakan ini dipandang memberikan peluang bagi PMA yang telah mapan untuk mengeluarkan produk-produk mobil murahnya, sehingga saat ini hampir semua masyarakat kelas menengah memiliki kendaraan pribadi. Jika pemerintah ingin mengurangi biaya eksternalitas lingkungan, kebijakan ini justru menyumbang kemacetan dan mendorong pemerintah mengeluarkan biaya ekstra untuk pembangunan jalan raya.
Daripada masyarakat difasilitasi untuk meningkatkan konsumsi mobil pribadi yang memperburuk kemacetan lalu lintas, akan lebih bijak jika pemerintah berfokus untuk mengembangkan transportasi publik yang layak, tertata, terintegrasi, dan terjangkau. Sehingga, masyarakat tidak terlalu terbebani dengan kenaikan harga BBM dan perawatan kendaraan pribadi serta diharapkan hal ini mampu membantu mengatasi masalah kemacetan dan krisis udara bersih di perkotaan. Tampaknya kita pun masih harus berjuang lebih keras untuk mewujudkan kemandirian industri mobil nasional.

Rate this article!
Tags: