Mulai Antisipasi Kemarau

Pergantian musim sudah dimulai, menuju musim kemarau. Sudah nampak tanda awal, tanah sawah merekah karena susutnya air dari saluran. Beberapa waduk dan embung juga turut mengering. Bahkan sumur di permukiman tidak berisi air. Walau merupakan siklus rutin, namun musim kemarau terasa semakin menimbulkan dampak. Disebabkan daya dukung lingkungan makin menyusut. Terasa lebih miris manakala diikuti kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Semusim lalu (tahun 2018) terjadi korban jiwa akibat karhutla di Sumatera Selatan dan Jawa Timur. Karhutla mulai cepat merambat pada areal kebun milik masyarakat. Di Jawa Timur, hot-spot (titik api) melalap raturan hektar lahan gunung Lawu (di Ponorogo), dan gunung Wilis (di Madiun). Api juga nampak terang di kawasan gunung Kumitir di Bondowoso. Diperlukan kesiagaan BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) propinsi, serta kabupaten dan kota.
Karhutla, diduga menjadi insiden “yang di-ingin-kan.” Tujuannya, kawasan hutan di-alih fungsi-kan menjadi ladang berkebun. Padahal, hutan yang gundul akan menjadi ancaman lingkungan, berupa bencana banjir dan tanah longsor. Berdasar kalkulasi lingkungan, kawasan terdampak kekeringan hampir selalu identik dengan kawasan rawan longsor. Penyebabnya, catchment area (resapan dan tangkapan air hujan) telah gundul, tiada berpohon.
Pada musim hujan, air tercurah bebas dari dataran tinggi, menyebabkan banjir dan longsor. Sedangkan pada musim kemarau, menyebabkan kekeringan parah, tanah tampak merekah. Di Jawa Timur, hampir dua pertiga pedesaan rawan terdampak kekeringan. Terutama daerah “langganan” kekeringan (wilayah tapal kuda, Pasuruan sampai Banyuwangi dan Madura). Sekedar untuk konsumsi saja (memasak dan minum) harus berjalan hingga beberapa kilometer.
Kawasan yang telah dilanda tanah longsor, patut ekstra waspada. Bagai dua sisi mata uang yang sama. Karena titik longsor biasanya juga akan mengalami dampak kekeringan lebih fatal. Wilayah selatan Jawa Timur, mulai dari kawasan Muncar (di Banyuwangi) sampai pantai Klayar (di Pacitan) akan mengalami kemarau kering lebih panjang. Terdapat 24 kabupaten dan kota terdampak kekeringan.
Di Magetan (barat Jawa Timur) sudah terjadi kekeringan parah. Hamparan sawah seluas 557 hektar ladang padi tak memeroleh air. Seluas 167 hektar (bisa menghasilkan 1.336 ton padi) sudah dinyatakan puso, gagal panen. Pengalaman semusim lalu, Jawa Timur mengalami dampak kekeringan domestik cukup parah. Melanda 541 desa. Jumlah sawah yang terdampak seluas 33 ribu hektar lebih, sepertiganya sawah ber-irigasi teknis. Yang benar-benar puso, tidak panen seluas 564 hektar.
Ketersediaan air di Jawa Timur, tergolong minimalis, hanya sebanyak 19,3 milyar meter-kubik. Sedangkan kebutuhan air mencapai 22,2 milyar meter-kubik. Sehingga defisit (kekurangan) sebanyak 2,9 milyar meter-kubik (sekitar 13%). Begitu pula volume tampungan air (antaralain berupa embung, dan waduk) hanya sebesar 0,80 juta meter-kubik, yang digunakan untuk sekitar 934 ribu hektar sawah irigasi. Pada musim kemarau, ketersediaan air makin menyusut. harus dilakukan gilir aliran.
Musim kemarau, bukan hanya mempersempit penyediaan air untuk pertanian. Melainkan juga menyusutkan air kebutuhan sanitasi dan konsumsi. Juga berimplikasi pada kehidupan hewan. Penyakit pada hewan ternak (misalnya cacing hati, serta penyakit pada kuku dan mulut) biasanya juga sering berjangkit pada musim kemarau. Disebabkan faktor kekurangan makanan. Dampak sertaan ini dapat mengancam perekonomian tingkat grass-root.
Kesiapan meng-antisipasi kekeringan, seyogianya dikoordinasi lintas sektoral Toh setiap OPD memiliki program aksi ke-bencana-an. Penanggulangan dampak bencana karhutla dan kekeringan, tak cukup hanya mensuplai kebutuhan air bersih. Namun harus lebih sistemik, terutama memperbaiki hutan sebagai resapan air.

——— 000 ———

Rate this article!
Mulai Antisipasi Kemarau,5 / 5 ( 1votes )
Tags: