Narasi Politik Tuna Etika

Oleh:
Sugeng Winarno
Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang. 

Perang narasi pada masa kampanye politik saat ini sangat sengit. Masing-masing kubu memroduksi narasi politik yang bikin gaduh. Munculnya diksi sontoloyo, tampang Boyolali, dan politik genderuwo merupakan contoh narasi politik yang bernada negatif. Beberapa narasi politik yang muncul bisa mengindikasikan perilaku politik yang menihilkan etika.
Politik yang seharusnya damai dan membahagiakan ternyata sulit terwujud. Deklarasi dan kesepakatan guna mewujudkan kampanye damai tidak terbukti. Para kandidat dan tim sukses saling serang dengan cara-cara yang kurang etis. Praktik politik yang dipertontonkan para politisi tidak bisa dijadikan sebagai sarana pendidikan politik yang baik bagi masyarakat.
Sejumlah narasi politik, seperti narasi keagamaan sang petahana, narasi ekonomi dan power of emak-emak memang sukses bikin gaduh. Namun sayangnya dari narasi politik yang dibangun tidak konstruktif. Narasi muncul lebih destruktif karena lahirnya narasi lebih didasari oleh semangat untuk mencari kelemahan lawan dan menjadikan narasi politik tersebut sebagai alat menjatuhkan lawan politik.
Bila narasi politik dibangun dengan sikap kesantunan dan menjunjung etika maka tidak ada lagi narasi politik sampah. Narasi sampah hanya akan bikin ramai suasana namun tidak ada nilai edukasinya bagi masyarakat. Narasi politik yang berupa adu program dan gagasan akan jauh lebih bermakna daripada sekedar narasi politik yang saling jegal dan merasa kelompoknya yang paling benar sendiri.
Bila perilaku politik lebih mengedepankan seteru dan permusuhan tentu bisa berimbas pada menurunnya partisipasi politik masyarakat. Pada kadarnya yang akut, tidak menutup peluang masyarakat akan apatis pada politik. Sang politisi yang idealnya jadi panutan justru berperilaku tidak etis. Situasi ini bisa menciderai demokrasi karena politik berjalan tanpa kesantunan dan keadaban.
Situasi Biner
Kontestan dalam Pilpres 2019 hanya diikuti dua kandidat. Kenyataan ini menjadikan hanya dua kubu yang akan beradu. Kondisi ini yang menjadikan situasi biner. Kontestan akan terbelah menjadi dua saja, yakni kelompok lawan dan kawan. Situasi biner akan menciptakan situasi bahwa masing-masing kubu hanya mengakui dan memperjuangkan bahwa kelompoknyalah yang terbaik sementara kelompok lawan sebagai yang buruk.
Menurut Yasraf Amir Piliang (2003) dalam bukunya Hantu-Hantu Politik dan Matinya Sosial dinyatakan bahwa situasi dan cara berfikir oposisi biner akan melahirkan friend-unfriend, like-dislike, leave-join, on-off, follow-unfollow. Perilaku politik biner ini diperparah dengan adanya media sosial yang melahirkan pendukung masing-masing kubu dengan sebutan “Kecebong” versus “Kampret”. Kontestasi politik hanya dilihat dalam perspektif satu putih dan yang lain hitam.
Pada masa orde baru dulu situasi biner ini sengaja diciptakan untuk mempertahankan status quo kekuasaan. Narasi politik didesain seperti ada kubu yang sebagai pahlawan-pembangkang, pancasilais-anti pancasilais, komponen bangsa-perusuh, konstitusional-inkonstitusional, pendukung Orba-sisa sisa PKI, progresif-subversif, pemersatu-pemecah belah, aparat pemerintah-oknum tidak bertanggungjawab, dan beragam diksi baik-buruk lainnya.
Politik biner yang berkembang masa Orba dulu saat ini terulang. Pada masa kampanye sekarang, di masyarakat muncul situasi yang hanya melihat bahwa ketika yang satu diyakini sebagai putih, maka kelompok yang lain akan ditempatkan sebagai golongan hitam. Situasi ini menimbulkan kelompok simpatisan yang loyal pada kelompok tertentu tidak mampu berfikir jernih mengakui kehebatan lawan.
Situasi biner ini cukup berpengaruh terhadap logika dan cara pandang masyarakat pada politik. Situasi biner akan cenderung menjungkirbalikkan logika dan mengeyampingkan etika. Narasi politik terus diproduksi oleh masing-masing kubu dengan tujuan menonjolkan sifat keakuannya dan mengerdilkan kelompok lawan. Perang narasi politik berlangsung berat sebelah, tidak berimbang, dan tidak fairplay.
Tuna Etika
Banyak kalangan menyesalkan perilaku politik yang dimainkan para politisi yang jauh dari etika. Praktik politik berlangsung kasar. Ini seperti perilaku di negeri bar-bar yang mengedepankan okol dari pada akal. Otot lebih mendominasi daripada otak. Kampanye dengan saling olok dan serang hampir setiap hari muncul di pemberitaan media. Politik tidak lagi menyejukkan dan menimbulkan kedamaian karena perilaku politik tidak menjunjung etika (tuna etika).
Dalam pemahaman sederhana, politik bisa diartikan sebagai segala cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan. Berbagai cara yang dimaksud dalam praktiknya dimungkinkan dijalankan dengan cara-cara kasar, jauh dari kesantunan. Kalau cara-cara hitam yang ternyata banyak muncul itu artinya praktik politik dalam kualitas yang rendah. Praktik politik rendah ini berkorelasi pada kualitas demokrasi yang rendah pula.
Hanya melalui praktik politik beretika yang akan mengangkat politik menjadi berkualitas elegan, berwibawa, dan santun. Sementara praktik politik tuna etika hanya akan membuat masyarakat muak dengan politik. Ujung-ujungnya masyarakat akan tidak tertarik bahkan apatis pada politik. Sikap apolitis masyarakat tentu tidak dikehendaki dalam menumbuhkan kehidupan berdemokrasi yang ideal.
Para politisi idealnya menunjukkan cara berpolitik yang baik agar masyarakat mendapatkan pendidikan politik yang baik pula. Situasi biner politik hanya bisa diubah oleh perilaku politik yang mampu memberi keteladanan melalui praktik politik yang beretika. Negeri ini kekurangan politisi yang bisa jadi panutan yang mampu memberi contoh dan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat.
Pada sisa waktu masa kampanye ini hendaknya semua pihak bisa menciptakan narasi politik yang lebih substantif. Hindari memroduksi narasi politik yang bersifat menyindir kelompok tertentu dan bisa berujung dengan seteru. Beragam persoalan bangsa perlu penanganan serius dan rakyat menunggu berbagai ide dan gagasan dari para kandidat bagaimana konsep menyelesaikan permasalahan bangsa ke depan.
Para tim sukses dan sang kandidat hendaknya lebih bijak dalam membuat narasi politik. Narasi politik yang tidak etis justru akan jadi amunisi lawan untuk menyerang balik. Narasi politik yang santun dan beretika akan menciptakan sikap simpati masyarakat. Narasi politik dapat berkontribusi pada penciptaan situasi politik yang damai. Semua pihak harus mewujudkan cara berpolitik yang santun dan beretika.

———– *** ————-

Rate this article!
Narasi Politik Tuna Etika,5 / 5 ( 1votes )
Tags: