Oligarki Parpol Perburuk Kualitas Demokrasi Indonesia

Foto Ilustrasi

Sistem oligarki masih terjadi dalam partai politik di Indonesia sehingga berdampak buruk bagi demokrasi yang sedang berjalan. Dampaknya sangat buruk bagi demokrasi Indonesia karena untuk membuat kebijakan ditentukan oleh segelintir orang.
Seharusnya penunjukan orang itu didasarkan pada sebuah “merit system” yang ketat atas dasar keahlian seorang menduduki jabatan tersebut. Namun, yang terjadi saat ini adalah politik transaksional sehingga pengisian jabatan politik atas dasar konsep “siapa dapat apa” dan mengesampingkan kualitas.
Itu jadi tren dan cenderung membahayakan bagi demokrasi karena demokrasi tidak akan menghasilkan apapun selain kepentingan elit.
Dari beberapa kajian akademik menyebutkan bahwa Indonesia menjalankan demokrasi yang iliberal, bukan demokrasi yang kuat dan asli namun bercampur dengan oligarki.
Indonesia memiliki karakteristik demokrasi yang unik karena antara demokrasi dan oligarki bisa berjalan bersama-sama.
Demokrasinya dengan pemilu berjalan secara berkelanjutan dan orang bebas berpartisipasi namun ketika itu ada, lalu ditelikung para pemilik modal yang eksis di parpol. Karena demokrasi biaya tinggi, bagaimana penuhi biaya politik maka perlu sponsor dan itu sarang oligarki yang tidak memberikan sesuatu secara cuma-cuma.
Salah satu solusi untuk mengatasinya adalah memperkuat parpol karena episentrumnya di parpol. Terutama saat ini, menurut dia, dalam situasi parpol mendapatkan legitimasi konstitusional bahwa semua jabatan publik harus melalui parpol.
Berdasarkan hasil penelitian dan perkembangan kondisi saat ini, proses konsolidasi demokrasi di Indonesia mengalami hambatan. Salah satunya di tingkat lembaga politik. Dari sisi penilaian masyarakat, tingkat kepercayaan terhadap parpol cenderung buruk dibandingkan lembaga lainnya.
Dari sisi kelembagaan, oligarki parpol sudah sedemikian akut yang terbukti dengan rekrutmen parpol yang sangat oligarkis, kaderisasi yang tidak berkesinambungan dan praktik mahar politik di setiap kompetisi politik.

Firman Noor
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Tags: