Oscar, Inspirasi dan Emosi

12-years-a-slave-quad.jpg (1)Di luar konteks komersialisasi hiburan, film membutuhkan sentuhan yang bisa membangkitkan emosi dan menginspirasi. Mesti ada pesan kemanusiaan yang perlu disuarakan dan diperjuangkan.
Pekerja film yang meraih banyak piala Oscar (Academy Awards) terbanyak telah membuktikan tentang “keharusan” adanya unsur budaya, terutama corak etnik. Film “12 Years a Slave,” nyata-nyata memakai artis berkulit hitam legam sebagai budak (walau banyak kulit putih yang diperbudak).
Penganugerahan piala Oscar ke-86 tahun ini, agaknya mengecoh banyak pengamat film. Beberapa prediksi meleset. Termasuk dugaan oleh The New York Times (terbitan 27 Pebruari), yang menjagokan “The Act of Killing,” sebagai film nominator terkuat untuk kategori film dokumenter. “The Act of Killing,” merupakan film yang merekam pembantaian Gestapu 1965 di Indonesia. Ternyata, yang menerima Oscar film dokumenter adalah “20 Feet from Stardom.”
Penerima penghargaan sebagai film terbaik, adalah “12 Years a Slave.” Bercerita tentang perbudakan di Amerika. Ini seolah-olah dendam kalangan budayawan terhadap Amerika kulit putih (yang hijrah dari daratan Eropa). Sisi lain negeri Paman Sam itu, selain bermasalah dengan pengusiran bangsa Indian, juga kental dengan perbudakan.
Seperti disampaikan oleh Jared Leto (dalam sambutan penerimaan piala Oscar sebagai Pemeran Pembantu Pria terbaik, dalam “Dallas Buyers Club”). Sampai kini perbudakan (dengan segala bentuk dan motifnya) masih terjadi di berbagai belahan dunia. Perbudakan sesama bangsa se-negara, juga ada perbudakan oleh suatu bangsa terhadap negara lain. Leto, walau terkesan politis, mensinyalir situasi di Venezuela dan Ukraina. Padahal perbudakan oleh tentara Sekutu, lebih masif terjadi di Timur Tengah dan Afrika.
Film “12 Years a Slave,” merupakan kisah nyata yang diangkat dari memoar Solomon Northup. Sutradaranya, Steve McQueen seorang Amerika kulit hitam legam), juga merasakan perbedaan perlakuan sosial. Ia sedikit beruntung karena namanya sama dengan nama aktor aktor kesohor dekade 1970-1980-an yang berkulit putih. Dengan kembaran nama itu pula ia menerima olok-olok. Maka, ketika menggarap film “12 Years a Slave,” ia seolah-olah menumpahkan emosinya.
Dalam durasi 134 menit, sutradara Steve memampatkan pengalaman 12 tahun Solomon (diperankan oleh Chiwetel Ejiofor) sebagai budak. Dibutuhkan saputangan untuk menonton film ini. Ada perilaku kejam nan sadis ras kulis putih kepada kaum kulit hitam, tak beda dengan cerita kemalangan TKW (Tenaga Kerja Wanita) yang bekerja di Hongkong atau di jazirah Arab. Bentuk-bentuk siksaan yang diperlihatkan cukup eksplisit, mengeksploitasi fisik dengan brutal sampai penelanjangan.
Sang budak, Solomon Northup, seorang kaum kulit hitam, sebenarnya bukan sembarang budak. Ia memiliki talenta dalam bermusik, ini menyebut dirinya free-man. Suatu hari dia diculik lalu di-jual beli-kan sebagai budak. Seorang pemilik perkebunan yang baik bernama Ford (Benedict Cumberbacth) pun membelinya. Namun justru kepintarannya itu membawa masalah. Karena negro tidak boleh memiliki potensi apapun.
Khawatir sesuatu terjadi pada Solomon, dia pun dijual lagi kepada Edwin Epps (Michael Fassbender), seorang yang kejam memperlakukan budaknya. Maka perjuangan hidup-mati Solomon pun dimulai. Pada perjuangannya memperoleh keadilan, terdapat kata-katanya yang sangat terkenal, yakni:  “I don’t want to survive. I want to live.”  Manusia memang tak hanya ingin bertahan, tetapi berhak atas kehidupannya sendiri.
Dengan kemenangan “12 Years a Slave,” berarti sudah dua tahun berturut-turut, sutradara bule keok. Tahun lalu (Academy Awards ke-85), sutradara asal Taiwan, Ang Lee (kelahiran tahun 1954) juga berkibar memenangi film terbaik. Filmnya, “Life of Pi,” mengalahkan film garapan Steven Spielberg (“Lincoln”). “Life of Pi,” meng-inspirasi spiritualitas penonton. Tak bisakah kita menghasilkan film walau hanya selevel nominasi Oscar?

000

Rate this article!
Tags: