Paket “Payung” Ekonomi

Pemerintah telah menyusun paket kebijakan “kenyamanan,” sebagai respons tekanan perekonomian global yang terus berkelanjutan. “Kenyamanan” berupa insentif pajak (tax holiday), termasuk insentif hasil ekspor. Serta pembukaan investasi yang semula telah tertutup. Diharapkan bakal terbuka kesempatan usaha (dan bekerja) lebih luas. Namun setiap kebijakan ekonomi, niscaya memerlukan pengawalan ketat. Terutama sistem birokrasi, dan prosedur penjaminan bank.
Rezim terdahulu pernah terperosok dalam “jebakan” paket kebijakan ekonomi, patut menjadi pencermatan seksama. Ujung-ujungnya, negara malah menanggung kerugian sampai Rp 700 trilyun (tahun 1998). Ironisnya, hal itu terulang pada tahun 2008 dengan kerugiah sekitar Rp 7,6 trilyun. Kedua “jebakan” tersembul menjadi “senjata makan tuan.” Sama-sama disebabkan kebijakan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia).
Paket kebijakan perekonomian (yang ke-16), seluruhnya akan membuka lapangan kerja. Misalnya, insentif (pengurangan, dan kemudahan) pajak pada industri perintis, akan menjadi pendorong investasi langsung (tidak melalui pasar modal maupun bursa saham). Serta berperan sebagai multi-plier effect terbentuknya industri-industri sertaan. Misalnya, industri alat-alat elektronika, industri telepon seluler, dan industri kendaraan bermotor.
Begitu pula pembukaan investasi yang semula telah tertutup (masuk Daftar Negatif Investasi, DNI). Terutama pada sektor yang selama ini tidak diminati pengusaha dalam negeri. Sehingga investasi asing bisa masuk. Sedangkan sektor UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) dan koperasi juga didorong memasuki DNI yang dibuka lagi. Antaralain sektor ke-energi-an, ke-pertani-an, serta ke-laut-an (dan budidaya perikanan).
Dua paket kebijakan ekonomi (terbaru) masih memerlukan konsekuensi penerbitan berbagai peraturan. Termasuk mencabut peraturan lama (setingkat Peraturan Menteri) yang “membelenggu” investasi. Namun berbagai paket kebijakan, memerlukan aksi nyata pemerintah, khususnya berbagai “kemudahan.” Terutama pada birokrasi perizinan, serta murahnya bunga kredit sektor UMKM.
Pemerintah (dan daerah) juga masih perlu menggenjot percepatan serapan anggaran. Kenyataannya, realisasi APBN dan APBD (propinsi serta kabupaten dan kota) masih sangat rendah. beberapa proyek masih terkendala birokrasi sistem tender. Serapan anggaran berbagai Kementerian sangat minimalis, sekitar 30-an persen. Bahkan biasanya realisasi APBN dan APBD baru dilaksanakan pada bulan Juni. Serta baru di-geber pada bulan Oktober.
Sehingga praktis, perekonomian mulai menerima anggaran stimulan APBN pada bulan Juli dan November. Bahkan beberapa proyek masih terkendala birokrasi sistem tender. Akibatnya, anggaran tidak terserap maksimal. Selalu memberi Silpa (sisa lebih perhitungan tahun anggaran). Walau hasil kinerja fisik (dan administrasi) selalu dilaporkan melebihi target. Ironisnya, Silpa digagas untuk membayar gaji pegawai (ASN maupun honorer). Karena APBN maupun APBD belum cair.
Serapan anggaran rendah juga terjadi di daerah (APBD propinsi serta APBD kabupaten dan kota). Sampai akhir Oktober rata-rata kinerja anggaran masih sekitar 40-an persen. Tahun lalu, presiden sampai memanggil Gubernur se-Indonesia, agar segera menggelontor APBD. Terdapat alokasi dana sekitar Rp 730 trilyun, bagai terlelap di bank. APBN dan APBD lazim menjadi stimulus percepatan pertumbuhan ekonomi, biasanya sampai 16%.
Perlambatan ekonomi global juga menyebabkan tekanan kuat terhadap rupiah. Walau naiknya nilai kurs dolar Amerika tidak membebani APBN. Bahkan menguntungkan, karena naiknya harga minyak sawit. Tetapi naiknya nilai dolar cukup merisaukan “martabat” rupiah. Lebih lagi nilai impor lebih besar. Maka wajar pemerintah me-syarat-kan devisa hasil ekspor (DHE) komoditas sumber daya alam wajib masuk ke Indonesia. Harus ditarik dari bank-bank di luar negeri, dan akan diberi insentif pajak pula.
Paket kebijakan ke-16, tergolong kewenangan mutlak pemerintah. Namun tidak mudah karena menuntut kesiapan daerah ber-inovasi memajukan investasi.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: