Pancasila (Tetap) Sakti

foto ilustrasi

Seluruh rakyat Indonesia mendukung Pancasila sebagai dasar ideologi (filosofi) negara. Walau harus diakui sebagian (sekelumit) minoritas radikal masih berupaya mengganti Pancasila. Tak terkecuali kalangan PNS (Pegawai Negeri Sipil), dan intelektual masih ada yang “berkomplot” mengubah dasar negara. Sekaligus menafsirkan Sila Pancasila secara sepihak, menyimpangi pemahaman umum. Tetapi “musuh” Pancasila bukan harus dibasmi, melainkan wajib dibina.

Musuh Pancasila memang biasa plin-plan, membonceng asas demokrasi (kerakyatan) yang dijamin Pancasila. Juga ingin mengubah konstitusi (UUD, Undang-Undang Dasar) dengan berlindung di balik UUD pasal 28E ayat (3). Namun karena tidak sesuai Pancasila pula, setiap gerakan radikalisme (ekstremitas “kiri” dan “kanan”) selalu berakhir kegagalan. Tidak terkecuali kelompok yang memperoleh kekuatan politik cukup besar. Serta memiliki jaringan trans-nasional.

Radikalisme “kanan” maupun ekstremitas “kiri” akan selalu memperoleh perlawanan sengit mayoritas rakyat. Dua kali Pancasila mengalami percobaan pergantian dengan idiologi lain. Pertama, pada 18 September 1948, PKI mendirikan Republik Soviet Indonesia. Itu bukan sekadar kudeta, melainkan juga teror kerusuhan sosial. Banyak tokoh masyarkat diculik dan dibunuh, termasuk kyai di kampung-kampung.

Ironisnya, tentara masih sibuk (gerilya) menghadapi penjajah, sehingga hanya terdapat cadangan 2 brigade Siliwangi. Maka perlawanan rakyat menjadi kekuatan utama melawan ekstrem “kiri,” yang nyata-nyata anti agama-agama. Tidak sepakat dengan sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Tokoh-tokoh agama bangkit melawan PKI. Kekuatan rakyat berhasil meredakan pemberontakan PKI tahun 1948.

Namun karena pertimbangan suasana revolusi, (salahnya), negara tidak membubarkan PKI. Sehingga makin t tumbuh sebagai partai kader, dengan sayap ke-pemuda-an, perempuan, dan sayap seni budaya. Melalui Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), dipentaskan seni tradisional. Lakon drama paling terkenal bertema “Matine Gusti Allah,” yang mengolok-olok agama Islam. Serta lakon “Pernikahan Paus,” yang menista ajaran Nasrani. Kedua lakon dipentaskan melalui seni kethoprak (di Yogya), serta ludruk di Jawa Timur.

Penistaan agama melalui pentas seni budaya oleh PKI, bukan isapan jempol. Melainkan diabadikan oleh pelaku sejarah “perang” budaya pada masanya. Misalnya, Taufik Ismail, mengabadikannya dalam “Tirani dan Banteng: Dua Kumpulan Puisi” (yayasan Ananda, 1993). Puisinya yang berjudul “Catatan Tahun 1965,” menulis, “… genjer-genjer jadi nyanyian // … Matine Gusti Allah dipentaskan … .”

Dokumentasi olok-olok penistaan agama juga dinyatakan oleh Profesor RM Soedarsono (guru besar Ilmu Budaya UGM). Dalam buku berjudul “Teater Tradisional Indonesia: Indonesia Indah Jilid 6,” ditulis, lakon penistaan ajaran agama dipentaskan di Gunung Kidul (DIY) pada 14 Juli 1964 oleh Lekra. Menurut Profesor Soedarsono, dua lakon tersebut bersifat agitatif, dan provokatif menebar kebencian. Andai dipentaskan saat ini, pasti juga akan ditangkap Polisi.

Begitu pula sastrawan Ajip Rosidi, men-dokumentasi-kan dalam bukunya “Anak Tanah Air, Secercah Kisah” (1985). Dinyatakan, bahwa lakon yang menistakan agama dipentaskan oleh kelompok ludruk di Jawa Timur. Di beberapa daerah, pementasan ludruk dengan lakon penistaan agama berhasil dibubarkan oleh kelompok pemuda NU (Nahdlatul Ulama), GP Ansor. Disertai tawur sosial sengit kedua kelompok, dengan korban jiwa sangat banyak.

Tanggal 1 Oktober 1965, dinyatakan sebagai hari “kesaktian” Pancasila. Larangan ajaran komunisme di Indonesia (dan pembubaran PKI), ditetapkan berdasar TAP MPRS Nomor XXV tahun 1966. Serta dikuatkan dengan TAP MPR Nomor I Tahun 2003. Tetapi kesaktian Pancasila, bukan hanya sukses pada ujian percobaan penggantian dasar negara. Melanikan juga wajib menjadi peta jalan rekonstruksi nasional. Serta me-realisasi arah usaha menuju cita-cita proklamasi.

——— 000 ———

Rate this article!
Pancasila (Tetap) Sakti,5 / 5 ( 1votes )
Tags: