Pandemi, Momentum Transformasi Green Economy

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa.

Bencana yang hadir sebagai dampak perubahan iklim tidak main-main. Menurut Kementerian PPN/Bappenas, bahwa bila tanpa ada intervensi kebijakan, maka potensi kehilangan akibat perubahan iklim bisa mencapai Rp115T pada tahun 2024.
Lantaran itu, pemerintah telah memasukkan Pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim ke dalam RPJMN 2024-2029. Indonesia telah menetapkan tahun 2060 untuk mencapai net zero emissions. Untuk mencapai net zero emissions pada tahun 2060 tersebut Indonesia memerlukan investasi hingga 2060 sekitar Rp77 ribu triliun (5 kali PDB tahun 2060). Selain investasi, risiko stranded asset dalam transisi energi, butuh kesadaran masyarakat menggunakan produk ramah lingkungan dan persiapan SDM untuk migrasi ke green jobs. Program Energi Baru Terbaharukan (EBT) harus didampingi dengan program efisiensi energi yang ditingkatkan secara bertahap, disamping juga carbon tax bisa menjadi salah satu instrumen untuk mengendalikan emisi yang didukung secara simultan oleh skema insentif.
Strategi lainnya yang tengah dijalankan pemerintah adalah penanganan limbah dan ekonomi sirkular, pengembangan industri hijau, pembangunan energi berkelanjutan, rendah karbon laut dan pesisir dan pemulihan berkelanjutan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca 27,3% di tahun 2024. Namun target Indonesia untuk mencapai zero net emission tahun 2060 dipandang tertinggal dibandingkan negara-negara lain yang menetapkan tahun 2050. Afrika Selatan berani menetapkan tahun 2050. Jika ingin jadi leader di diplomacy perlu keberanian menetapkan target penurunan emisi.

Transformasi Green Economy
Situasi Pandemi Covid-19 yang tengah terjadi hari ini disadari atau tidak telah menciptakan tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi dunia. Krisis kesehatan sebagai episentrum awal secara cepat meluas menjadi krisis multidimensi dan menimbulkan disrupsi sosial-ekonomi. Berbagai indikator ekonomi makro global pun telah mencatatkan nilai ‘merah’ yang hingga kini tengah berusaha dilawan oleh pemerintah di berbagai negara melalui stimulus fiskal senilai puluhan triliun dollar.
Meski demikian, di tengah upaya pemulihan ekonomi tersebut, dunia sejatinya masih dihadapkan pada tantangan bencana (catastrophic) yang sama, yakni ancaman perubahan iklim (climate change).
Laporan World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa perubahan iklim menimbulkan lebih dari 150.000 korban jiwa setiap tahunnya. Bahkan, penelitian terkini membuktikan bahwa perubahan iklim memiliki korelasi dengan penyebaran pandemi Covid-19. Pada Januari 2021, studi yang dipublikasikan dalam jurnal Science of the Total Environment, mengungkapkan bukti pertama tentang mekanisme di mana perubahan iklim dapat memainkan peran langsung pada munculnya SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19. Di samping itu, para pakar juga menjelaskan bahwa Covid-19 bukan satu-satunya penyakit menular yang terkait dengan perubahan iklim. Selama bertahun-tahun, WHO telah menyoroti hubungan antara perubahan kondisi lingkungan dan penyakit epidemi.
Menyimak fenomena tersebut, perubahan iklim pun menjadi ancaman serius umat manusia di masa mendatang. Dunia perlu bertransformasi dari ‘black’ economy yang selama ini boros penggunaan bahan bakar fosil (fossil fuels) seperti minyak bumi dan batu bara, menjadi green economy yang mengutamakan penggunaan energi terbarukan untuk pertumbuhan berkelanjutan seperti tenaga matahari, tenaga angin dan tenaga air.
Green economy sendiri oleh UNEP (United Nations Environment Programme) didefinisikan sebagai suatu sistem yang menghasilkan peningkatan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial, sementara secara signifikan mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologis; rendah karbon, efisien sumber daya, dan inklusif secara sosial. Lalu, langkah apa yang perlu dilakukan dunia dalam mengimplementasikan green economy dan memitigasi dampak perubahan iklim?
Laporan UNEP mengenai kesenjangan emisi, di mana saat ini suhu bumi telah mengalami peningkatan yang sangat signifikan, dengan level pemanasan rata-rata selama lima puluh tahun terakhir hampir dua kali lipat dari rata-rata pemanasan seratus tahun terakhir. Indikator tersebut menjadi salah satu target pengendalian utama dalam perubahan iklim, termasuk yang telah diratifikasi oleh 187 negara dalam Paris Agreement 2016.

Prevensi Menghadapi Pandemi
Para pakar mengungkapkan bahwa ancaman pandemi di masa depan akan tetap ada seiring dengan memburuknya kualitas lingkungan hidup akibat perubahan iklim. Sebanyak 22 ilmuwan yang tergabung dalam Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) menjelaskan bahwa perubahan cara penggunaan lahan, perdagangan, produksi, dan konsumsi yang tidak berkelanjutan dapat mengganggu alam dan meningkatkan kontak antara satwa liar, patogen, dan manusia. Kontak inilah yang memungkinkan virus untuk menyeberang antar spesies dan menyebar lebih cepat ke seluruh dunia. Meski demikian, IPBES juga mengungkapkan bahwa future pandemics dapat dicegah jika dunia mengambil langkah untuk melindungi lingkungan dan memulihkan pertahanan alaminya.
Senada dengan hal itu, sikap prevensi perlu ditunjukkan melalui komitmen bersama dalam aspek pendanaan. Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal Science pada Desember 2020 berjudul Ecology and Economics for Pandemic Prevention, menyimpulkan bahwa biaya untuk mencegah wabah zoonosis di masa depan seperti Covid-19 membutuhkan USD 22 miliar per tahun, atau hanya 2% dari nilai total stimulus ekonomi penanganan pandemi Covid-19 yang diperkirakan mencapai USD 10-20 triliun. Studi tersebut menguraikan bagaimana dana stimulus harus digunakan untuk mengurangi risiko limpahan penyakit dari hewan ke manusia.
Kondisi tersebut tak ubahnya bak manusia yang perlu menjaga tubuhnya sendiri, yang akan lebih murah dengan berinvestasi pada kesehatan saat ini sebagai langkah preventif, alih-alih harus mengeluarkan biaya besar untuk mengobati penyakit kronis di masa mendatang.

Masa Depan Green Economy di Indonesia
Masyarakat internasional di berbagai negara sudah menunjukkan kepeduliannya terhadap aspek lingkungan hidup sebagai bagian penting dari keberadaan generasi manusia berikutnya yang akan hidup di bumi ini.
Dengan demikian, green economy mempunyai peran strategis dalam mendorong pertumbuhan ekonomi global yang berwawasan lingkungan. Pentingnya green economy itu pada akhirnya dijabarkan lebih konkret dalam beberapa isu turunan terkait dengan aspek environmental, social, and governance (ESG), yang saat ini menjadi isu hangat dan terkini di hampir semua negara.
Dalam paparan konsep, orang sering menganggap green economy sama dengan circular economy. Selintas keduanya memang memiliki persamaan, yaitu bagaimana memanfaatkan dan mengelola bumi beserta isinya untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, keduanya memiliki fokus berbeda dalam mencapai tujuannya.
Konsep green economy bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan mengharmonisasikan kesejahteraan masyarakat, dengan kelestarian SDA agar pembangunan ekonomi terus berkelanjutan, sedangkan konsep circular economy lebih mengedepankan pemanfaatan proses daur ulang sehingga barang-barang yang telah diproduksi tidak perlu dibuang, bisa diregenasikan kembali menjadi barang baru.
Perlunya green economy Melihat pentingnya menjaga kelangsungan lingkungan hidup untuk kesejahteraan umat manusia, baik untuk generasi sekarang maupun generasi berikutnya, kegiatan ekonomi yang memproduksi barang dan membuka lapangan kerja tidak boleh mengganggu kelestarian alam.
Kegiatan produksi di sektor ekonomi sedapat mungkin menggunakan sumber energi yang ramah lingkungan, mampu mencegah kerusakan ekosistem, dan mengurangi emisi karbon. Untuk itulah, green economy diperlukan dalam rangka mendukung kesejahteraan manusia maupun kulitas hidup yang lebih baik.
Kita berharap visi pembangunan nasional ke depan harus berbasis green economy, untuk menjaga keseimbangan, antara meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga kelestarian alam.
Melihat pentingnya peran green economy itu, sudah selayaknya pemerintah menjadikan isu ESG sebagai salah satu acuan pembangunan ekonomi nasional ke depan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia bukan hanya dicapai dengan mengeksplorasi dan mengeksploitasi SDA, melainkan juga harus menjaga keberlanjutan SDA yang tersedia.

———- *** ———-

Tags: