Paradigma Kritis Menyikapi Pilkada 2020

Oleh :
Farisi Aris
Mahasiswa HTN UIN Suka Jogjakarta.

Sebagaimana mafhum kita ketahui, 9 Desember 2020 kita kembali akan menggelar pesta demokrasi yang kita sebut-sebut dengan istilah Pilkada. Berdasarkan data dari KPU, Pilkada serentak tahun ini akan diikuti oleh 270 daerah yang meliputi 224 wilayah kabupaten, 37 kota dan 9 provinsi.

Sekonyong-konyongnya, Pilkada mengisyaratkan dua istrumen kebangsaan kepada kita sebagai warga demokrasi. Pertama, sebagai ajang rekruitmen politik. Kedua, sebagai alat berotasinya kekuasaan daerah. Sehingga, dengan hal itu kekuasaan daerah tidak hanya dipegang oleh satu orang atau kelompok saja.

Dalam negara demokrasi, Pilkada atau Pemilukad aadalah keniscayaan, sebab, hal itu tak dapat ditemukan dalam negara-negara bersistem monarki, misalnya. Secara normatif, dengan Pilkada sebenarnya negara hendak memberikan kesempatan pada kita semua untuk ikut serta memilih pemimpin daerah yang merakyat (pro-rakyat) untuk kebaikan bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Atau sebaliknya, kita yang mencalonkan diri untuk dipilih sebagai pemimpin daerah.

Bagi penulis, kedudukan Pilkada dalam kehidupan berdemokrasi sangatlah penting. Sebab, dengan adanya Pilkada, rakyat-di daerah khususnya-bisa secara langsung dan bebas berperan untuk memilih pemimpin ideal yang cocok dengan kebutuhan daerah itu sendiri. Berbeda dengan era Hindia-Belanda yang kepala daerah ditunjuk langsung oleh pemerintah kolonial.

Sebab itu, karena kedudukan Pilkada begitu penting untuk menunjang kehidupan bernegara ditingkat daerah yang demokratis, dalam hemat saya, rakyat harus secara kritis mengawal dan berperan pada Pilkada 2020 ini. Dalam artian, rakyat tidak hanya cukup menjadi “penonton dan pemilij yang baik” saja.Tetapi, lebih dari pada itu rakyat juga harus menjadi “social control yang kritis” atas pelaksanaan Pilkada 2020 ini demi tercapainya Pilkada yang demokratis dan sesuai dengan amanat konstitusi.

Dalam hemat saya, yang pertama yang harus dikritisi dan dikawal oleh rakyat terkait Pilkada 2020 ini adalah tentang keidealan para pasangan calon (paslon) itu sendiri. Dalam hal ini, rakyat harus berani mempertanyakan perihal pantas tidaknya paslon si A dan si B ikut serta meramaikan pesta demokrasi lima tahunan kita.

Hal ini, diharapkan agar rakyat tidak hanya sembarang coblos tanpa mengetahui rekam jejak dan orientasi kepemimpinan paslon itu sendiri. Dengan demikian, diharapan kepala daerah yang terpilih nantinya sebagai produk “sah” Pilkada 2020 benar-benar sesuai secara teoritis-filosofis dengan pemimpin daerah yang ideal.

Kedua, secara tegas rakyat juga harus berani bersikap untuk secara terang-terangan menolak permainan money politic para paslon. Sebab money polic sangat rawan membentuk pemerintahan yang korup. Sejauh ini, aroma politik uang dalam setiap perhelatan pesta demokrasi semacam Pilkada memang tidak banyak tercium ke permukaan. Tetapi, di lapangan, sesungguhnya politik semacam ini sangat mengakar kuat. Khususnya di Madura. Mengapa aroma money politic ini tidak banyak tercium ke permukaan?

Meminjam pendapat Purwodadi Joko Widodo dalam novelnya Opera Jelaga karena permainan politik uang dalam setiap perhelatan pesta demokrasi di negara kita hanya menjadi menjadi sorotan para akademisi dan pengamat politik saja. Dalam artian, tidak ada tindak lanjut yang lebih nyata dari para penegak hukum sebagai praktik politik yang menyalahi konstitusi. Sebab itu, pada titik ini rakyat harus menjadi penegak hukum sendiri untuk secara sadar menolak money politic. Tanpa harus menunggu aparat dan lembaga penegak hukum.

Ketiga, rakyat juga harus kritis mengawal segala bentuk permainan ‘politik identitas’ yang kerap kali memicu perpecahan di masyarakat. Bagaimanapun caranya, kita jangan sampai termakan oleh jenis politik yang doyan digunakan oleh presiden AS (Donald Trump) ini.

Salah satu caranya adalah dengan mematangkan literasi politik kita. Literasi politik, adalah kemampuan kita untuk membaca dan memahami situasi politik yang sedang terjadi dengan mengajukan berbagai macam solusi-solusi. Dengan hal ini, permainan politik identitas yang kerap kali mewarnai perpolitikan kita besar kemungkinan bisa kita baca dan kita tangkal.

Niscaya, dengan kritis kita mempertayakan identitas paslon, dan segala permainan politik kotor semacam money politic dan politik identitas akan tercapailah Pilkada yang demokratis dan sesuai dengan amanat konstitusi dan undang-undang; demokratis, jujur, dan adil.

————— *** —————–

Tags: