Pembelajaran Daring di Masa Pandemi Covid -19

Oleh :
Khusrur Rony Djufri
Staf Pengajar di Yayasan Babul Ulum Jombang, Alumnus FT. IAIN Sunan Ampel Malang dan PPS Undar Jombang.

Sejak adanya kasus Covid 19 pertama di Indonesia pada pertengahan bulan maret 2020, saat itu pula pembelajaran tatap muka di Sekolah tidak boleh dilakukan. Sebagai gantinya pembelajaran dilakukan secara daring (online)

Kasus Covid 19 dalam perkembangannya, secara umum di Indonesia masih mengalami peningkatan hingga datangnya tahun Ajaran baru 2020/2021. Karenanya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengumumkan bahwa syarat dan mekanisme penyelenggaraan pembelajaran di masa pandemi Covid 19 bagi satuan pendidikan yang berada di zona kuning, orange, dan merah tidak boleh melakukan pembelajaran tatap muka.

Problematika pembelajaran Daring

Di saat pandemi covid 19, karena tidak boleh tatap muka, maka pembelajaran daring sebagai pilihan yang tepat. Hanya saja banyak problematikanya..

Pertama. Pembelajaran daring Tahun Ajaran Baru 2020/2021 akan terasa jauh lebih berat dibanding tahun Ajaran 2019/2020. Saat terjadi kasus pertama Covid 19 di Indonesia tahun ajaran 2019/2020 sudah berjalan sekitar delapan bulan. Di mana kelas satu Sekolah dasar paling tidak sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung (Calistung).

Hal ini tentu berbeda dengan pembelajaran daring di tahun Ajaran Baru 2020/2021, Dapatkah terutama murid yang baru masuk di kelas satu di tingkat dasar (SD/MI), yang pada umumnya belum bisa membaca, menulis dan berhitung (Calistung). Proses pembelajarannya dilakukan secara daring (online)?.

Kedua. Di masa pandemi Covid 19 secara umum kehidupan masyarakat terdampak semakin memprihatinkan, ada yang penghasilannya menurun, kehilangan pekerjaan karena Pemutusan hubungan kerja (PHK). Bahkan ada yang tidak mempunyai penghasilan sama sekali. Dengan pembelajaran daring (online). Tidak semua orangtua murid mempunyai HP androit, atau mampu membelikan anaknya. Selain itu, tidak sedikit mereka yang mempunyai cukup uang untuk membelikan kuota (paketan data) anaknya.

Ketiga. Melihat dunia pendidikan, tidak bisa secara parsial, hanya di kota-kota besar atau daerah pinggiran, tapi harus menyeluruh hingga pelosok pedesaan, dan di daerah terpencil di wilayah NKRI. Dengan pembelajaran secara daring (online), apakah di semua daerah tersebut sudah ada jaringan internet dan sudah cukup sinyal .

Keempat. Jumlah guru swasta yang tersebar di wilayah NKRI jumlahnya jauh lebih besar dari guru PNS, honor mereka banyak yang masih minim, terutama yang berada di pedesaan. Dengan pembelajaran daring (online) tentu akan menambah biaya pengeluaran tersendiri untuk membeli kuota. Sedangkan banyak sekolah/madrasah yang tidak berani menganggarkan dari BOS untuk pembelian kuota, karena juknisnya tidak jelas.

Kelima. Masih banyak guru yang gaptek, terutama yang masa purnanya kurang dari dua atau tiga tahun.. Dengan pembelajaran daring tentu mereka mengalami kesulitan. Mungkin mereka sudah malas belajar karena sebentar lagi sudah pensiun. Padahal sebenarnya sorang guru harus senantiasa ‘mengupgrade’ dirinya agar selalu bisa mengikuti perkembangan zaman

.Keenam. Latar belakang dan kondisi orangtua murid cukup beragam. Ada yang tidak mempunyai cukup waktu mendampingi belajar anaknya karena sibuk kerja atau sesuatu hal, selain itu banyak juga yang tidak mempunyai cukup kemampuan untuk mengajari belajar anaknya. Dengan keterbatasan tersebut banyak orang tua yang merasa pusing dengan adanya pembelajaran daring. Lebih-lebih merasa kesulitan mengendalikan anaknya yang keterusan dalam penggunaan HP.

Ketujuh. Belajar di rumah secara daring di masa pandemik Covid 19 sifatnya sementara harus dipahami sebagai kedaruratan Hal ini didasarkan pengalaman penulis, sebagai seorang guru, dengan pembelajaran tatap muka saja, seringkali murid baru paham jika sesudah diterangkan beberapa kali. Selain itu faktor keteladanan guru tidak bisa ditemukan. Sehingga secanggih apapun kemajuan sains dan tekhnologi faktor keteladanan guru inilah yang tidak bisa tergantikan dalam dunia pendidikan. Jadi hasil pembelajaran daring jauh dari apa yang diharapkan. Nah, jika.pembelajaran daring berlangsung cukup lama, dunia pendidikan akan mengalami masalah yang serius didalam menyiapkan SDM unggul.

Dilema Guru

Guru sebagai ujung tombak pendidikan, di saat pandemic Covid 19 dihadapkan pada suatu dilema. Satu sisi mereka harus melakukan pembelajaran tatap muka secara intensif agar apa yang menjadi tujuan pendidikan dalam kurikulum satuan pendidikan bisa tercapai. Namun di sisi lain pemerintah telah menetapkan bahwa Sekolah yang berada di daerah zona kuning, orange, dan merah tidak boleh melakukan pembelajaran tatap muka.

Dalam kondisi ini, ada sebagian guru yang berijtihad dengan melakukan pembelajaran di rumah wali murid dengan mengurangi jam belajar dan tidak memakai seragam. Ada juga yang melakukan model pembelajaran dengan menjadikan kelas menjadi beberapa kelompok belajar. Pembelajaran dilakukan di rumah-rumah wali murid dengan mengunjungi kelompok- kelompok belajar secara bergantian. Dan, yang lebih fenomenal, ada yang dengan berkunjung ke rumah-rumah muridnya satu persatu.

Ijtihad guru tersebut idealnya patut mendapatkan apresiasi setidaknya dari wali murid. Tetapi yang terjadi justrus sebaliknya. malah dilaporkan ke instansi terkait, oleh karena ketakutan dan rasa was-was orangtua terhadap anaknya.akibat ganasnya virus corona . Sehingga model-model ijtihad tersebut harus dihentikan karena tidak bisa memenuhi protokol kesehatan. Bila guru memaksakan melakukan pembelajaran model tersebut akan bertentangan dengan SKB empat menteri, dan tidak menutup kemungkinan terkena sanksi dari dinas terkait.

Jika problematikanya demikian, Pertanyaannya. Apakah pembelajaran daring dapat menciptakan SDM unggul, berkompeten, dan kompetitif di era industri 4.0 ?

Dalam kondisi sulit saat ini, semua pihak harus ikut mencari alternatife solusinya. Baik pemerintah, sekolah, maupun keluarga. Namun demikian sebelum ada solusi terbaik, setidaknya perlu adanya penyadaran dan penguatan kembali akan peran orangtua sebagai pendidik yang sesungguhnya. Sehubungan dengan hal ini Allah SWT berfirman : “Wahai orang orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluarganu dari api neraka yang bahan bakarnya manausia dan batu.” (Q.S. At Tahriim ayat 6). Memelihara berarti memberikan pendidikan pada semua anggota keluarga, terutama pada anak-anak. Lebih-lebih pendidikann agama yang kuat sebagai pondasi dan bekal dalam kehidupannya dimasa depan nanti.

Terkait dengan hal tersebut Rasulullah SAW bersanda : “Seorang bayi tidak dilahirkan (ke dunia) melainkan ia dalam keadaan suci (fitrah). Kemudian kedua orangtuanyalah yang akan membuatnya menjadiYahudi, Nasrani, ataupun Majusi.” (H.R. Muslim). Dari sini dapat dipahami bahwa peran kedua orangtua sangat besar dalam menentukan masa depan anaknya. Akhirnya, semoga Covid 19 segera diangkat oleh Allah SWT dari muka bumi , dan pembelajaran face to face bisa dilakukan kembali.

—————- *** ——————

Tags: