Pemberdayaan Konsumen

Konsumen dalam negeri belum menjadi “raja,” karena tidak suka komplain terhadap produk yang mengecewakan. Indeks Keberdayaan Kosumen (IKK) masih senilai 41,7, berpotensi menjadi sasaran empuk produsen dengan iklan menggiurkan. Terutama pada produk makanan suplemen, dan “alat bantu” kesehatan. Ke-enggan-an komplain bisa menyebabkan produsen tidak ketat mengontrol mutu, sehingga melemahkan daya saing pada pasar global.

“Pembeli adalah raja.” Begitu ajaran pepatah pada proses perdagangan. Namun masyarakat konsumen pengguna barang dan jasa masih belum memperoleh hak sebagai “raja.” Bahkan konsumen sering dijahati, dan terkuras hartanya pada saat menggunakan jasa dan membeli barang. Umumnya konsumen hanya mengerti produk barang (dan jasa) melalui per-iklan-an yang makin masif pada media masa. Saat ini bahkan masuk ke handphone secara individual melalui perdagangan unicorn.

Berdasar data BPKN (Badan Pemberdayaan Konsumen Nasional), posisi konsumen lokal sudah mampu membedakan produk yang baik. Terutama dengan melihat isi produk. Namun tak jarang isi produk tidak sesuai. Tetapi enggan komplain pada produk yang jelek. Terutama pada pembelian secara online, wujud barang tidak sesuai gambar. Pada harga produk di bawah Rp 100 ribu, konsumen lebih memilih pasrah.

Penyelesaian komplain sering tidak memuaskan. Konsumen selalu pada posisi kalah. Juga tidak terdapat pembelaan terhadap konsumen, yang memberi penerangan masyarakat. Padahal terdapat peraturan undang-undang (UU) yang lex specialist, yakni, berupa UU Nomor 8 TAHUN 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Juga didukung UU lain, diantaranya, UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

UU Perlindungan Konsumen pada pasal 4, menyebut hak-hak konsumen sebanyak 8 item. Pada urutan pertama (huruf a) disebut “hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.” Selanjutnya juga diberikan jaminan berupa aksi. Yakni, pasal 4 huruf e, dinyatakan: “hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.”

Selama lebih dari lima tahun terakhir konsumsi rumahtangga masih selalu merajai PDB (Produk Domestik Bruto). Lebih besar dibanding total hasil kinerja pemerintah (dan pemerintah daerah). Sekitar 56% PDB merupakan pengeluaran konsumsi masyarakat. Karena itu sangat penting untuk mewujudkan konsumen yang cerdas. Kecerdasan konsumen, sekaligus akan meningkatkan daya saing produk dalam negeri.

Konsumen lokal merupakan “pasar besar” barang dan jasa. Antaralain terbukti dari penggunaan telepon selular (barang), serta akses terhadap internet (jasa). Saat ini diperkirakan lebih dari 338,2 juta telpon selular dimiliki oleh rakyat Indonesia. Lebih banyak dibanding jumlah penduduk (272,1 juta jiwa). Serta sekitar 175,4 juta penduduk Indonesia meng-akses internet. Angka itu menjadi terbesar ketiga di dunia, setelah AS (Amerika Serikat), China dan India. Belanja pulsa masyarakat Indonesia ditaksir mencapai Rp 360 trilyun se-tahun!

Tetapi sebagai “pasar besar” belum memperoleh perlindungan memadai. Masih banyak kasus yang berpotensi merugikan konsumen. Yang paling sering terjadi adalah makanan kadaluarsa. Namu sebenarnya sektor perdagangan jasa, juga sangat banyak kasus yang sangat merugikan konsumen. Misalnya malapraktik pada sektor layanan kesehatan, keamanan dan kenyamanan transportasi pembobolan kartu kredit dalam transaksi e-commerce.

“Raja” pada pasar besar, sekaligus penyokong PDB nasional, patut memperoleh perlindungan. Serta advokasi hak-hak sebagai konsumen. Kementerian dan Lembaga Negara terkait (Perdagangan, Perindustrian, BPOM, dan Ombudsmen) dan organisasi konsumen perlu mendorong pemberdayaan konsumen. Tak terkecuali program layanan publik oleh pemerintah.

Perekonomian negara bisa runtuh manakala konsumsi rumahtangga merosot, karena trauma belanja. Diperlukan peng-giatan “kehadiran” negara untuk melindungi rakyatnya.

——— 000 ———

Rate this article!
Pemberdayaan Konsumen,5 / 5 ( 1votes )
Tags: