Pembusukan Demokrasi

Anhar-Putra-IswantoOleh :
Anhar Putra Iswanto
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang; Asal Leong Tengah, Tanjung-KLU.
Setelah 16 tahun masa reformasi berjalan sejak 1998, tantangan demokrasi Indonesia selanjutnya adalah pelembagaan demokrasi ke dalam kehidupan politik bangsa. Demokrasi memerlukan budaya politik yang baik. Karena itu, reformasi menunut adanya akuntabilitas politik untuk mencapai keadilan, kesejahteraan, sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945.
Setelah empat kali melaksanakan pemilu pasca reformasi (1999,2004,2009, plus pileg 2014), demokrasi Indonesia tidak saja tampil sebagai mekanisme penyelenggaraan negara yang bebas dari otoritarianisme. Namun demokrasi tampil sebagai pesta yang riuh, ribut, dan gaduh oleh artifisial belaka. Meminjam istilah Yasraf Amir Piliang (Kompas, 17/2/14), demokrasi Indonesia adalah “demokrasi kerumunan” yang diisi oleh perayaan pesta, gaduh dengan euforia, simbol-simbol, dan atribut kampanye politik.
Dalam setiap perayaan pesta demokrasi (baca: pemilu), ruang publik kita, sudut kota, dan lorong-lorong jalan berubah menjadi ruang penampakan wajah para artis politik, calon presiden dan wakil presiden. Di sisi lain, media massa yang seharusnya memberikan  pendidikan politik dengan menyuguhkan keseimbangan informasi, berubah menjadi ruang kampanye politik masing-masing kandidat.
Menyambut pemilu 2014, sebuah pertanyaan yang patut kita dijawab adalah, apakah pemilu 2014 akan membawa perubahan bagi kehidupan bangsa Indonesia, atau justru sebaliknya?
Demokrasi yang baik ditopang pula oleh budaya politik yang baik. Cara kerja politik dalam ruang demokrasi tidak saja mengatur ranah “politik” seperti terselenggaranya pemilu sebagai sarana pergantian kekuasaan secara berkala. Melainkan juga membangun “yang poltik”, yaitu terpeliharanya sportifitas, sensibiitas, terjaganya kebenaran dan keindahan, serta tercipta kebersamaan untuk membangun bangsa. “Politik” tidak hanya mengatur  “aku, kamu, dan kami”, tetapi “yang politik” menghimpunnya menjadi “kita”.
Meluruskan Demokrasi
Demokrasi secara substansial adalah terwujudnya kedaulatan rakyat melalui perwakilan-perwakilannya. Tidak mungkin setiap warga negara akan mengambil bagian secara lansung dalam kebijakan politik. Karena itu, demokrasi menjadikan “wakil” sebagai bagian integral dari kedaulatan rakyat.
Demokrasi juga tidak sekedar berbicara langsung atau tidak lansungnya mekanisme pemilihan umum, atau demokrasi diukur oleh tinggi besarnya partisipasi warga dalam pemilihan umum. Yang paling utama  adalah bagimana individu-individu yang diberi wewenang untuk mewakili rakyat itu menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, menempatkan rakyat sebagai obyek yang harus dihormati, bukan untuk dikerdilkan dan diskriminasi melalui kebijakan politik yang merugikan rakyat.
Demokrasi yang meninggalkan kadaulatan rakyat sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945 merupakan buah dari kesalahan pemaknaan demokrasi yang diadopsi dari Barat. Demokrasi selalu dikumandangkan sebagai pemikiran genius yang berasal dari konstruksi pemikiran Barat. Karena itu, kita harus mengikuti apapun yang menjadi pemikiran demokrasi Barat.
Seorang pakar politik dan sejarah demokrasi dari University of Westminster (Inggris) John Keane melakukan kritik atas sejarah demokrasi yang disebut berasal dari kostruksi sosial masyarakat Barat dalam The Life of Death of Democracy (2009). Menurut Keane, praktek demokrasi dengan sistem “permusyawaratan-perwakilan” bukanlah berasal dari Yunani. Tradisi majlis dalam pemerintahan justru berasal dari kawasan Timur Tengah (Irak, Iran, Suriah), yang dulu disebut dengan kebudayaan Sumeria dan Babilonia sekitar 2500 SM. Dari sana, tradisi ini menyebar hingga benua India sekitar 1500 SM. Tardisi ini baru sampai ke Barat (Yunani), pertama kali oleh Funisia (10-7 SM), dan akhirnya masuk ke Athena (sekitar abad ke-5 SM), (Yudi Latif, dalam Gatra, 16/4/14).
Keane ingin meluruskan bahwa demokrasi tidak harus dicocokkan dengan konteks kehidupan politik Barat. Sebab demokrasi dari tradisi majlis permusyawaratan rakyat dapat ditemukan diberbagai belahan dunia dan memiliki basis sosial yang berbeda. Termasuk di negara Timur Tengah yang sering disebut tidak demokratis oleh rezim Barat. Maka, dalam konteks Indonesia, demokrasi juga harus berlandaskan karakter budaya dan karakter bangsa Indonesia sendiri.
Demokrasi bukanlah model tunggal yang harus dicaplok dari contoh kehidupan negara lain. Suatu demokrasi dapat diterapkan disuatu masyarakat tertentu, namun belum tentu bisa ditiru sepenuhnya oleh masyarakat lain.  Dalam konteks Indonesia, demokrasi  dimaknai tidak lebih dari sekedar legitimasi kelompok tertentu untuk melanggengkan kekuasaannya. Demokrasi direduksi menjadi wacana, simbol, dan jualan politik belaka.
Demokrasi kita mengalami depolitisasi. Sehingga jauh dari nilai-nilai ideal yang hendak dicapai. Akibatnya demokrasi tidak dapat berjalan tanpa uang, konflik politik dimana-mana, dan politik dibangun atas prinsip transaksional. Ruang publik politik dan media juga hanya dikuasi oleh kelompok yang memiliki modal tinggi. Sementara yang lain tereliminasi karena demokrasi tidak lagi bertumpu pada kebebasan dan persamaan, melainkan demokrasi padat modal yang mementingkan kuasa uang semata. Karena itu, untuk menjawab pertanyaan apakah pesta demokrasi 2014 membawa harapan lebih baik atau sebaliknya bagi kehidupan bangsa, kita perlu memperhatikan beberapa faktor.
Pertama, demokrasi tidak saja memberikan ruang bagi kompetisi politik politik, tetapi demokrasi juga mensyaratkan terciptanya kompetisi politik yang bermartabat. Berbagai isu kampanye hitam (black campaign) menjelang pilpres 2014 akan menjadi batu sandungan terjaganya komeptisi politik yang baik itu.
Kedua, demokrasi memerlukan proses pelembagaan kepada seluruh elemen vital masyarakat: politik yang berbudaya, penegakan hukum yang memdai, pemberantasan korupsi, dan pertumbuhan ekonomi yang positif. Sebagaiman disebut Lipset (1963), semakin baik pertumbuhan ekonomi suatau negara, maka semakin baik pula pertumbuhan demokrasinya.
Ketiga, kelemahan-kelemahan demokrasi tidak saja datang dari lemahnya “sisi permintaan” atau keterlibatan warga dalam politik (demand side), tetapi juga datang dari lemahnya penawaran-penawaran (supply  side)dari elit-elit politik dan anggota DPR sebagai wakil rakyat. Ini juga terjadinya kerena ketidakmampuan politisi membangun trust masyarakat kepada politik (Yudi Latif, dalam Gatra, 16/4/14).
Demokrasi merupakan konsep dinamis yang terus mengalami perubahan. Ketika demokrasi mulai bersemai di Athena yang menjadi asal-muasal demokrasi Barat, yang disebut “rakyat” bukanlah kaum perempuan, kaum budak, dan masyarakat di luar kota (polis). Sementara itu, dalam demokrasi Amerika Serikat, kaum perempuan baru memiliki hak politik setelah Perang Dunia II. Baru setelah revolsui Prancis, rakyat secara substansial dapat memiliki haknya dalam politik termasuk keterlibatannya dalam pemilu.
Pemilu 2014 akan menjadi pertaruhan bagi Indonesia dalam rangka mewujudkan konsolidasi demokrasi untuk mewujudkan ketertiban politik, budaya politik, dan terselenggarnya keadilan dan kesejahteraan rakyat, sebagaimana yang termaktub dalam Pancasila sila keempat dan Undang-Undang Dasar 1945. Pemilu 2014 sekaligus menjadi “kesempatan terakhir” bagi Indonsia dalam mewujudkan cita-cita reformasi yang masih belum tercapai. Jika kita gagal melakukannya konsolidasi demokrasi, maka kita akan mengalami fase pembusukan demokrasi (frozen democracies), yaitu, demokrasi lemah dan tidak meningkatkan kemakmuran rakyat.

—————- *** —————–

Rate this article!
Pembusukan Demokrasi,5 / 5 ( 1votes )
Tags: