Pemerintahan Baru Harus Atasi Kebocoran Sumber Daya Nasional

2-Mukhtasor-2Surabaya, Bhirawa   
Isu kebocoran yang mewarnai debat Capres-Cawapres membutuhkan pemahaman yang jelas dan penanganan yang tegas. Guru Besar ITS, Prof. Dr. Mukhtasor, M.Eng, Phd,  menegaskan pemerintahan baru hasil Pilpres 2014 harus mampu mengatasi kebocoran sumber daya nasional yang selam ini terjadi.
Profesor Mukhtasor menyebut  kebocoran adalah kebocoran modal pembangunan yang di dalamnya ada dua hal pertama akibat tindak pidana dan kedua adalah pembangunan yang tidak berpihak pada rakyat.
“Ada dua jenis kebocoran. Pertama, kebocoran modal pembangunan karena pencurian atau penyelundupan, seperti pengurasan ikan laut oleh pelaku asing yang bekerjasama dengan orang-orang dalam, atau penyelundupan kayu dan aneka sumberdaya alam dan energi. Kedua, kebocoran modal pembangunan karena pengelolaan yang tidak memihak kepentingan dalam negeri, sehingga pengurasan kekayaan alam tidak memperkuat basis perekonomian nasional.”, demikian dijelaskan pria yang juga Anggota Dewan Energi Nasional ini.
Lebih lanjut, menurut Mukhtasor, kebocoran yang diakibatkan pidana seperti pencurian dan penyelundupan mudah difahami namun sulit diberantas. Untuk itu, lanjutnya  membutuhkan penegakan hukum dan penguatan operasi pengamanan kekayaan negara.
Dalam hal ini , porfesor Teknik Industri ini  menyetakan dibutuhkan sistem keamanan yang tangguh untuk menanganai pidana yang menghabiskan sumber daya alam kita. Penjaga pantai, laut dan perbatasan yang efektif dan komando yang berwibawa dan kuat diperlukan  agar mampu mengalahkan praktek mafia penyelundupan dan juga kebobrokan kong-kalikong di dalam negeri.
Adapun kebocoran jenis kedua, lanjutnya , merupakan pengelolaan yang tidak memihak perekonomian dalam negeri ini membutuhkan perombakan kebijakan. Kebocoran ini sangat samar jika tidak diamati dengan cermat, karena itu Capres mendatang haruslah memahami betul hal ini dan kemudian berani dan konsisten menyelesaikannya.
Mukhtasor memberi contoh, awal tahun 2003, berdasarkan data BPS, nilai kekayaan alam Indonesia yang telah ditemukan untuk sembilan jenis bahan mentah minyak, gas, batubara, bauksit, timah, emas, perak, nikel dan hutan adalah Rp. 5.820 Trilyun. Dalam setahun, pengurangan kekayaan alam karena eksploitasi senilai Rp. 134,2 Trilyun. Sementara itu, ditemukan cadangan baru senilai Rp. 7,4 Trilyun.
“Kalau kita perhatikan, kita ekploitasi 134,2 T, kita temukan baru 7 T. Artinya modal alam kita lebih banyak diambil daripada ditambah. Kekayaan kita secara fisik menyusut. Kalau pengurangan atau deplesi senilai 134,2 T itu dibandingkan dengan volume kegiatan perekonomian, yaitu PDB yang 2.045,9 T, itu setara 6,56 persen.
Modal alam itu semestinya yang menjadi bahan baku perekonomian dalam negeri. Jika pertumbuhan ekonomi bagus, katakanlah 6-7 persen,  maka artinya pertumbuhan itu diperoleh dari penjualan modal alam kita. Lalu dimana peran kegiatan nilai tambah barang dan jasa lainnya seperti perindustrian, pariwisata, pertanian dan lain-lain? Kalau kegiatan produksi barang dan jasa normal, artinya kekayaan alam kita tidak dikelola secara tepat, misalnya dijual murah, dijual tanpa diolah untuk menyerap lapangan kerja dan menumbuhkan kegiatan ekonomi baru atau pajak, dan banyak pencurian atau penyelundupan”, demikian Mukhtasor.
Kalau sumberdaya alam tidak diolah didalam negeri, maka penyerapan tenaga kerja, kegiatan perekonomian ikutan, dan peningkatan nilai tambah tidak dapat diperoleh. Maka prinsip bahwa sumberdaya alam sebagai modal pembangunan itu menjadi tidak bermakna.
Untuk itu diperlukan pengolahan sumberdaya alam di dalam negeri, dan keberpihakan pada kepentingan dalam negeri. Dan hal itu hanya mungkin jika Pemimpin negeri ini cerdas dan berani mengambil resiko menghadapi tekanan lobi luar negeri, dan keculasan mafia di dalam negeri. [ma *]

Keterangan Foto : Prof. Dr. Mukhtasor, M.Eng, Phd

Tags: