Pemkot Surabaya Batasi Investasi Pengembangan Industri

Pemkot Surabaya, Bhirawa
Pemkot Surabaya berencana melakukan pembatasan investasi pengembangan industri di Surabaya. Rencana ini untuk mencegah potensi dampak lingkungan seperti banjir dan kemacetan.
Menurut Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini Pemkot Surabaya lima tahun terakhir ini hingga beberapa tahun mendatang bakal fokus pada sektor layanan jasa dan perdagangan. Sementara untuk bidang industri bakal lebih diberikan kepada daerah-daerah di luar kota Surabaya.
Alasan Risma, bila pengembangkan sektor industri masih tetap dilaksanakan, maka Surabaya dipastikan mengalami persoalan kota yang serius seperti Jakarta, yakni banjir dan kemacetan lalu lintas yang parah.
“Jadi kalau kita tidak membatasi industri di Surabaya, maka semua akan tumplek blek disini. Untuk itu kita tidak mau mengambil semua seperti jasa, perdagangan dan industri. Justru nanti  bisa seperti Jakarta, macet dan banjir,” terang wali kota ketika dalam kegiatan Binlat Konstruksi bagi Anggota Gapensi Surabaya pekan lalu.
Saat ini, industri di Surabaya sudah dilokalisir di kawasan Rungkut. Yakni Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER). Diketahui  SIER ini dikelola oleh PT SIER Persero dan menempati lahan seluas 245 hektare serta sudah ditempati oleh hampir 300 perusahaan yang menampung puluhan ribu pekerja.
Sementara itu, beberapa daerah di luar Surabaya juga sudah mulai mengembangkan kawasan industri. Diantaranya, Sidoarjo Industrial Estate Berbek (SIEB) yang berdiri di atas lahan seluas 87 hektar dan telah menampung lebih dari 9.000 tenaga kerja.
SIEB ini berbatasan dengan SIER. Selain Sidoarjo, Pasuruan juga mulai mengembangkan kawasan industri yakni Pasuruan Industrial Estate Rembang (PIER) dengan luas lahan 500 hektare.
Di sisi lain, Pemkot Surabaya mulai mengembangkan kawasan pergudangan. Seperti di kawasan Margomulyo. Tiap tahun, jumlah luasan lahan yang menampung peti kemas dari pelabuhan Tanjung Perak terus bertambah. Bahkan, di SIER sendiri ada beberapa pabrik yang kini sudah mulai difungsikan sebagai tempat pergudangan saja.
Sedangkan untuk operasional pabriknya sendiri pindah ke daerah lain, tapi masih berada di wilayah tidak jauh dari Surabaya. “Kalau gudangnya disini (Surabaya) masih tidak apa-apa. Kalau Surabaya untuk industri, saya katakan tidak,” tandas alumnus Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya ini.
Sedangkan Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Surabaya, Jamhadi menilai, meski  Surabaya mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibanding daerah lain di Jatim, namun prosentasenya masih kecil.
Sehingga, investasi harus lebih digenjot lagi. Sebelum tahun 2010, partumbuhan investasi di Surabaya sebesar 5,11 persen, lalu tahun 2011 naik menjadi 7,35 persen.
Di 2012 kembali meningkat menjadi 7,64 persen. “Pertumbuhan investasi ini masih cukup rendah, yakni di kisaran 2,5 persen. Sebenarnya ini masih bisa ditingkatkan lebih tinggi lagi,” ujarnya.
Menurutnya, ada beberapa hal untuk mendorong investasi di kota Pahlawan ini. Diantaranya, Pemkot Surabaya harus membangun komunikasi yang baik dengan pelaku usaha. Lalu, Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Surabaya harus disahkan. Sistem pelayanan, khususnya soal perijinan juga harus terus diperbaiki.
“Kalau ada komunikasi yang terbuka antara pelaku usaha dengan pemerintah, nantinya akan bisa diketahui, apa sebenarnya yang dikehendaki oleh kedua belah pihak. Jadi ada solusi yang dirumuskan bersama,” tandasnya. [dre]