Pengendalian Produk Tembakau, Solusi Tiada Akhir

image_71_oryzOleh :
Oryz Setiawan
Alumnus Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya
Berbicara masalah produk tembakau hingga kini belum menemukan solusi konkrit untuk menekan jumlah pengguna yang kian ‘menggila’ di republik ini. Sebagai salah satu kiblat perokok aktif terbesar di dunia, tak berlebihan bila Indonesia merupakan surga ahli hisap (baca:perokok). Tak dapat dipungkiri kebiasaan merokok adalah perilaku yang sudah mendarah daging yang jika ditelusuri lebih lanjut bermuara pada budaya masyarakat yang melekat erat didalamnya. Nyaris tak ada pesta tanpa keberadaan rokok dan perokok baik acara rakyat tradisional Jawa khususnya (kenduri, sunatan, selamatan, cangkrukan hingga ‘marung’) sebagai bumbu penyedap setiap obrolan. Ironisnya kebiasaan merokok sudah menyusup (infiltrasi) dengan sekat nuansa nan berbalut keagamaan dimana didalamnya ada tokoh panutan yang turut melegimitasi aktivitas merokok tanpa peduli dengan bahaya kesehatan dapat mengdzolimi sesamanya. Di sisi lain, bisnis produk tembakau kian masif dan berkembangan begitu dahsyat meski berbagai aturan terus menekan pergerakkan industri rokok khususnya.
Pada tataran regulasi di tingkat internasional bagaimana dalam kesepakatan dunia melalui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang mengatur tentang perlindungan dari paparan asap rokok orang lain, peraturan kandungan produksi tembakau, pengemasan produk, iklan, penjualan dan pajak tembakau. Dengan kata lain FCTC merupakan bentuk komitmen negara-negara di dunia untuk mengatasi dan meminimalisir dampak rokok yang telah disepakati oleh 172 negara. Indonesia adalah satu-satunya negara Asia Tenggara yang belum meratifikasi sehingga tak pelak kita disebut sebagai negeri para smoker. Bisnis produk tembakau kian tak tersentuh bila melihat laporan bahwa sampai degan Pebruari 2014 proyeksi dan target produksi rokok sebesar 361,4 miliar batang dengan kompensasi setoran ke kas negara sebesar 116.,28 trilyun rupiah. Kondisi ini meningkat tajam bila dibandingkan dengan tahun 2013 yakni 341,9 miliar batang dengan setoran 108,46 trilyun dan tahun 2012 mencapai 326,8 miliar batang dengan setoran 95,02 trilyun rupiah (Sumber : Ditjen Bea dan Cukai).
Wow sesuatu yang amat fantastis sehingga wajar bila bisnis asap tersebut tumbuh subur serta menjadi andalan pemasukan negara sekaligus turut mengerek peringkat daftar orang terkaya di dunia yang didominasi oleh pemilik kerajaan bisnis rokok. Fenomena inilah yang menjadi alasan mengapa problematika rokok di Indonesia tak pernah ada solusi konkrit terutama dikaitkan dengan beban biaya kesehatan yang juga terus melambung yang disebabkan oleh paparan asap rokok. Pemerintah seakan tak bernyali, aturan pengendalian tembakau bagai macan kertas bila dihadapkan faka bahwa jumlah perokok aktif kian menjangkau anak-anak dan usia remaja yang notabene adalah generasi muda. Pada masa tersebut merupakan masa transisi dimana aspek coba-coba, ketagihan, menjadi kebiasaan dan pada akhirnya menjadi sebuah atribut perilaku. Berdasarkan hasil penelitian, kini jumlah perokok di Indonesia mencapai 33,4 persen proporsi jumlah seluruh penduduk di Indonesia, suatu jumlah yang teramat besar bagi negara yang notabene memiliki penduduk terbesar kelima dunia.
Secara statistik, konsumsi rokok di Indonesia mencapai lebih dari 450.000 batang per menit. Asumsi harga per batang rokok 1.000 rupiah maka diperoleh 450 juta per menit, sungguh ironis memang dikala masyarakat tengah kesulitan ekonomi justru dihamburkan untuk keperluan yang sia-sia dan tak jarang disertai permasalahan penyakit yang menyertai tentu akan sangat memperburuk kondisi kelangsungan kehidupan masyarakat itu sendiri. Dalam konteks lain bahwa jika seseorang merokok per hari sebungkus dengan asumsi sebungkus rokok seharga sepuluh ribu rupiah maka setahun diperoleh (10.000 x 365 hari menjadi 3.650.000 rupiah). Jika dikonsumsi selama 10 tahun maka diperoleh 36.500.000 rupiah. Angka yang fantastis tersebut setara dengan biaya menunaikan ibadah haji sehingga dapat dibayangkan bahwa uang akan ‘terbakar’ sia-sia, terlebih jika dibandingkan dengan kewajiban menunaikan ibadah haji.
Counter Campaign
Dalam kaidah sosiologis menyatakan bahwa gerakan atau kampanye untuk sebuah isu publik harus dilawan dengan kampanye yang bersifat anti atau melawan. Anti atau melawan dalam konteks ini bukan melawan atau menyerang balik secara frontal namun lebih mendorong melalui serangkaian kegiatan atau program yang bersifat produktif, edukatif, argumentatif, mencerahkan dan memahamkan publik makna dan substansi bahan yang dikampanyekan dalam rangka kepentingan publik bukan berpihak pada kelompok, industri atau kepentingan sesaat yang justu akan menjerumuskan masyarakat dan umat manusia dalam kerugian, bahaya, berpotensi menimbulkan kehancuran masa depan bangsa terutama generasi muda. Dalam iklan rokok memang amat lihai mencari celah agar produk mereka dapat ‘diterima’ oleh masyarakat walaupun dengan berbagai dalil atau argumen yang meyakinkan seperti kesan gagah, jantan atau yang berkonotasi lelaki sejati meski dibalik itu tak jarang menyesatkan yang pada ujungnya masyarakatlah yang menanggung resiko kerugian (sakit, kebutuhan tak terpenuhi, biaya sekolah tak terbayar dan lain-lain).
Di pihak lain pemerintah telah mencoba mendesain bagaimana menurunkan jumlah perokok melalui kenaikan harga rokok, cukai yang melesat dan pesan-pesan dalam kemasan rokok yang bersifat peringatan bahkan ancaman bila konsumsinya seperti “rokok mengandung lebih dari 4.000 zat kimia berbahaya serta lebih dari 43 zat penyebab kanker, “”merokok membunuhmu”. Selain itu juga melalui iklan di media penyiaran yang hanya dapat ditayangkan setelah pukul 21.30 hingga pukul 05.00 waktu setempat. Namun ternyata peringatan tersebut tidaklah banyak bermakna mengingat jumlah perokok amat melambung dibandingkan dengan yang berhenti merokok. Saatnya negara harus memilih, jika tidak ancaman pemiskinan, kebodohaan, kompleksitas penyakit, kematian dan hilangnya produktivitas serta kian membumbungnya biaya kesehatan cepat atau lambat pasti terjadi.

————- *** ————-

Tags: