Penutupan Sementara PT Tanjung Odi Dinilai Cacat Prosedur

Foto pintu depan PT Tanjung Odi. [samsul/bhirawa]

Sumenep, Bhirawa
Penutupan sementara aktivitas produksi PT Tanjung Odi dinilai cacat prosedur dan tidak berlandaskan pada regulasi atau norma hukum yang jelas. Sebab, penutupan sementara pabrik yang mengacu pada surat Bupati Sumenep tanggal 22 Juni 2020 itu sekadar menyebut hasil rapat Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) sebagai dasar pengambilan keputusan.

Pemerhati masalah perburuhan, Herman Wahyudi mengatakan, pertimbangan lain hanya menyebutkan didasarkan pada argumentasi pencegahan laju penularan Virus Corona atau Covid 19.

‘’Hal tersebut yang kami nilai salah prosedur,’’ kata Herman Wahyudi dalam keterangan tertulis, Minggu (28/6).

Herman merasa perlu mengkritisi soal hal itu, karena dampak dari kebijakan publik yang hanya didasarkan pada hasil rembukan yang sifatnya sepihak dan subjektif itu rentan memicu dampak yang berpotensi merugikan pekerja Tanjung Odi, baik secara langsung maupun tak langsung. Belum lagi dampak lain di bidang ekonomi terkait dengan tidak bergulirnya kegiatan yang berhubungan dengan pabrik rokok itu.

‘’Persoalan yang perlu dijelaskan adalah kenapa keputusan penutupan sementara itu tak melibatkan perusahaan dan serikat pekerja,’’ ujarnya.

Ia membandingkan dengan kejadian serupa di beberapa daerah seperti Pemprov DKI Jakarta maupun Pemkot Surabaya. Pemprov DKI sejak jauh hari telah menyiapkan seperangkat regulasi untuk setiap sektor, termasuk operasional perusahaan di masa Pandemi Covid 19. Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 33 Tahun 2020 telah mengatur mekanisme penutupan perusahaan selama 14 hari, setelah ada pekerjanya menjadi pasien corona.

“Begitu juga dengan kasus dua pekerja pabrik rokok PT Sampoerna Surabaya, yang dikonfirmasi positif Virus Corona. Pemkot Surabaya tidak gegabah melakukan penutupan pabrik itu secara sepihak.Penghentian aktivitas PT Sampoerna justru dilakukan oleh pihak manajemennya sendiri,’’ terangnya.

Herman Wahyuditak memungkiri, tujuan penutupan sementara Tanjung Odi dapat dipahami. Yakni, melindungi keselamatan pekerja dari bahaya Virus Corona. Masalahnya, tujuan mulia tersebut tidak dibarengi dengan cara yang benar. Penutupan pabrik itu telah menyimpang dari asas – asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik.

‘’Sebab, ada asas kepastian hukum yang dilanggar. Artinya, tindakan penutupan itu tidak didasarkan padaperaturan hukum yang tertulis,’’ jelasnya.

Selain potensi dampak terhadap pekerja, Herman juga menyoal status PT Tanjung Odi pasca penutupan. Apakah pabrik tersebut ditutup untuk dikarantina atau ditutup untuk mengisolasi pekerja saja? Ini tidak jelas kebijakannya.

‘’Kondisi ini, lagi – lagi, dapat memicu prasangka publik.Apakah Satgas Corona Sumenep tidak menetapkan prosedur penutupan perusahaan di masa Pandemi,’’ ucapnya.

Ia lalu menunjuk Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 Tahun 2020 tentang perlindungan pekerja/buruh dan kelangsungan usaha dalam rangka pencegahan dan penanggulangan Covid 19, yang isinya antara lain membatasi kebijakan pemerintah di daerah dalam bentuk pembatasan kegiatan usaha. Secara substansi, lanjut Herman, SE Menaker itu berkepentingan untuk melindungi pekerja dan keberlangsungan usaha sebagai salah satu penggerak ekonomi di tengah pandemi.

‘’Jangan sampai kebijakan pemerintah di daerah memicu terjadinya resesi ekonomi akibat kebijakan yang diambil secara salah dan gegabah,’’ tegasnya.

Herman juga melihat, Pemkab Sumenep sejauh ini terkesan gagap dan gugup menghadapi pandemi. Untuk mengatasi persoalan ini, ia mengusulkan agar Bupati Sumenep mengevaluasi kinerja Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang kurang memahami regulasi, sehingga memberikan informasi yang rentan mis-interpretasi. [sul.adv]

Tags: